Orkestrasi kebijakan pangan di negeri ini belum berjalan secara harmonis. Di tengah program swasembada pangan, masih ada penentu kebijakan pangan yang mengabaikan pentingnya kemandirian dan kedaulatan pangan.
Oleh
TOTO SUBANDRIYO
·6 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Sangat menarik mengikuti Rapat Kerja Menteri Pertanian dengan Komisi IV DPR, Senin, 11 April 2022. Dari jawaban Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo atas berbagai pertanyaan yang diajukan beberapa anggota Komisi IV DPR terkesan bahwa orkestrasi kebijakan pangan di negeri ini tidak berjalan secara harmonis.
Dalam rapat tersebut mengemuka isu tentang pentingnya kedaulatan pangan. Beberapa anggota Komisi IV DPR menegaskan agar Menteri Pertanian bisa meyakinkan menteri-menteri yang suka dagang, juga mempertanyakan tentang pengelolaan dana pada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) terkait gonjang-ganjing minyak goreng saat ini. Jawaban Menteri Pertanian terkesan sumir dan ewuh pakewuh. Di antaranya tecermin dari ungkapan-ungkapan ”...enggak bisa kemukakan karena sesama bus kota enggak enak”..., serta ”enggak semudah yang kita pikirkan...”.
Bicara tentang disharmoni orkestrasi kebijakan pangan negeri ini sepertinya bukan menjadi rahasia umum lagi. Masih hangat dalam ingatan kita, menjelang panen padi musim rendeng 2021 para pemangku kepentingan kebijakan pangan negeri ini terlibat polemik terbuka terkait dengan rencana impor 1 juta ton beras yang dilontarkan salah satu menteri. Polemik baru mereda setelah Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa hingga Juni 2021 pemerintah tidak akan mengimpor beras.
Terakhir, polemik tata kelola crude palm oil (CPO) yang menyebabkan gonjang-ganjing minyak goreng di masyarakat hingga kini tak kunjung teratasi. Kondisi krisis minyak goreng di Indonesia bahkan sempat menjadi sorotan dunia. Pada 2 April 2022 harian The Economist menurunkan berita berjudul ”Out of the frying pan: Indonesia, the world’s biggest producer, has a palm-oil crisis”. Berita tersebut disertai sebuah foto antrean panjang emak-emak yang dilakukan sejak pukul 04.00 untuk membeli minyak goreng.
Paradok produktivitas
Jika kita menelisik secara saksama kebijakan pangan selama beberapa tahun terakhir, kita melihat ada dua kubu yang saling berhadapan. Di satu sisi ada kubu yang bekerja keras memeras keringat agar bisa panen di sawah untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Di sisi lain, ada kubu yang cenderung pragmatis, tidak mau mengeluarkan keringat, maunya panen di pelabuhan (baca: impor).
Saat ini masih banyak penentu kebijakan pangan yang belum sembuh dari penyakit myopic, memandang peran pangan dalam horizon pendek dan domain sempit. Mengabaikan pentingnya kemandirian dan kedaulatan pangan karena akses impor yang sangat mudah dilakukan serta keuntungan yang sangat menjanjikan. Kegiatan impor pangan menjadi ajang perburuan rente (rent seeking activities).
AHMAD ARIF
Sumber: Tejo Wahyu Jatmiko (2020), diolah dari BPS.
Penulis masih ingat penuturan mantan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo, belasan tahun lalu. Imbalan yang diterima dalam aktivitas impor beras mencapai Rp 300 per kilogram. Hitung-hitungan sederhana, jika kontrak impor beras sebesar 1 juta ton, artinya dalam satu transaksi tersebut pemburu rente dapat memetik keuntungan sebesar Rp 300 miliar.
Sejatinya, pada era globalisasi perdagangan, impor pangan bukan merupakan hal yang haram dilakukan. Namun keputusan untuk melakukan impor harus didasarkan kepada pertimbangan yang terukur dan transparan. Selama ini Badan Pusat Statistik (BPS) telah menyediakan data dalam bentuk angka ramalan produksi pangan. Angka tersebut berfungsi sebagai early warning system tentang perlu atau tidak dilakukan impor, berapa volumenya, serta kapan sebaiknya impor dilakukan agar tidak mengganggu panen petani.
Keputusan untuk melakukan impor harus didasarkan kepada pertimbangan yang terukur dan transparan.
Untuk mencapai swasembada pangan, Kementerian Pertanian telah banyak melaksanakan kegiatan dalam program swasembada beras, jagung, kedelai, gula, bawang putih, serta daging sapi/kerbau. Program swasembada garam juga telah dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Namun semua program tersebut berjalan stagnan karena dalam pencapaian program terjadi disharmoni di antara pemangku kepentingan.
Semua program dan kegiatan tersebut berhasil meningkatkan produksi dan produktivitas komoditas pangan. Namun karena terjadi disharmoni kebijakan pangan membuat peningkatan produksi dan produktivitas hanya menuai kondisi paradoks. Tingginya kuota impor yang dipatok pemerintah membuat produktivitas yang tinggi tidak mendapat insentif nilai jual yang memadai karena membanjirnya produk impor sejenis.
“Lip service”
Kebijakan impor bawang putih, gula, serta garam menjadi contoh yang bisa menjelaskan kondisi disharmoni tersebut. Pemerintah gencar melakukan peningkatan produksi dan perbaikan mutu bawang putih. Salah satu penyebab konsumen kurang menyukai bawang putih lokal karena umbinya kurang besar. Permasalahan tersebut terjawab dengan penerapan teknologi double chromosome yang diinovasi IPB University. Melalui inovasi teknologi tersebut produktivitas serta performance umbi berhasil ditingkatkan.
Namun peningkatan produktivitas dan perbaikan mutu yang diupayakan susah payah tersebut tidak didukung kebijakan yang pro-petani. Pemerintah mudah menerbitkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) kepada para importir serta penetapan kuota impor bawang putih yang sangat besar sehingga mematikan pasar bawang putih lokal.
Untuk diketahui, tahun 2022 ini kuota impor yang ditetapkan pemerintah mencapai 500.000 ton. Walhasil, dua tahun terakhir bawang putih produksi petani tidak laku dijual. Akibat lebih jauh, para petani di sentra produksi mengalami demotivasi, tidak mau lagi menanam bawang putih.
Nasib petani gula rakyat juga tak kalah ironis. Menurut survei yang dilakukan Kementerian Pertanian pada Maret 2018, harga pokok petani (HPP) gula kristal mencapai Rp 10.500 per kg. Ironisnya, Surat Edaran Menteri Perdagangan Nomor 885/M-DAG/SD/8/2017 menetapkan HPP gula hanya Rp 9.700 per kg.
Meski pemerintah akan menaikkan HPP gula petani setelah lebih dari enam tahun di angka Rp 9.700 per kg menjadi Rp 10.500 per kg , namun menurut hemat penulis tidak akan banyak dirasakan oleh petani tanpa pembenahan regulasi. Dalam hal ini utamanya Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 3/2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Gula dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional. Pasal 3 ayat (1) peraturan ini membolehkan industri gula berbasis tebu mengimpor gula mentah (raw sugar) untuk memproduksi gula konsumsi.
Meski pemerintah akan menaikkan HPP gula petani setelah lebih dari enam tahun di angka Rp 9.700 per kg menjadi Rp 10.500 per kg, namun menurut hemat penulis tidak akan banyak dirasakan oleh petani tanpa pembenahan regulasi.
Ditambah lagi rekomendasi izin impor gula rafinasi yang dikeluarkan pemerintah masih sangat tinggi, tahun 2022 mencapai 3,4 juta ton. Kondisi ini akan membuat industri gula berbasis tebu rakyat sulit bangkit dari keterpurukan. Tiadanya insentif yang memadai membuat petani tebu mengalami demotivasi budidaya tebu. Otoritas pemerintah di bidang perkebunan di daerah sangat kesulitan mencari lahan budidaya tebu rakyat. Dampak lebih jauh terjadi penurunan secara signifikan pasokan tebu ke pabrik gula sehingga banyak pabrik gula milik pemerintah gulung tikar.
Nasib petambak garam juga setali tiga uang. Beberapa tahun terakhir, di tengah melimpahnya produksi karena cuaca sangat mendukung, harga jual garam rakyat terpuruk hingga titik terendah. Satu kilogram harganya sempat menyentuh Rp 300. Penyebab utama karena maraknya garam impor yang bocor dan merembes ke pasar lokal. Pada tahun 2022 ini petambak garam harus bersaing dengan garam impor yang direncanakan jumlahnya mencapai 2,9 juta ton.
Sebenarnya komitmen Presiden Jokowi untuk lebih mengutamakan produk dalam negeri sudah sangat tegas. Hal itu tecermin dari pernyataan yang beberapa kali disampaikan. Namun komitmen yang sangat heroik tersebut dimentahkan oleh para pembantu-pembantunya. Apalagi masalah impor pangan ini juga sangat kental dengan aroma politik.
Sejarawan Prof Onghokham pernah menemukan bukti lonjakan volume impor pangan yang sangat besar menjelang pemilu pertama 1955. Oleh karena itu jangan sampai kedaulatan pangan dan swasembada pangan hanya menjadi lip service menjelang digelarnya pemilihan umum.
Ekspektasi masyarakat sangat tinggi saat Presiden Jokowi melantik Kepala Badan Pangan Nasional belum lama ini. Mestinya lembaga super body di bidang pangan yang langsung berada di bawah dan bertanggungjawab kepada presiden itu mampu segera membangun harmoni kebijakan pangan serta memecahkan masalah pangan yang selalu hadir dari musim ke musim, dari Lebaran yang satu ke Lebaran berikutnya.
Toto Subandriyo, Peneliti pada Lembaga Pengkajian Pangan Pertanian dan Lingkungan (LP3L)