Delik Perkosaan dalam UU TPKS
Adanya keterbatasan rumusan perkosaan dalam KUHP/RKUHP ataupun proses hukum yang bias mendorong kelompok perempuan mengupayakan pengaturan norma perkosaan yang lebih luas sekaligus perbaikan hukum acaranya di RUU TPKS.
Seorang gadis muda yang alami perkosaan dari tetangganya, yang juga merupakan mantan pacarnya, alami depresi berat dan pernah ingin bunuh diri.
Korban yang saat itu tengah hamil empat bulan sempat didampingi keluarganya ke pusat layanan terpadu milik pemerintah untuk meminta pendampingan psikologis, namun tidak direspons saat itu, dengan alasan SDM psikolog terbatas. Hanya ada dua tenaga psikolog yang menyisihkkan waktu di antara jadwal mengajarnya yang padat di sebuah kampus.
Sudah dua kali melapor ke kantor polisi setempat, namun laporan tak diterima. Bahkan setelah didampingi pendamping hukum untuk kembali melaporkan ke unit perlindungan perempuan dan anak polres setempat, tetap gagal meyakinkan kepolisian untuk menerbitkan surat laporan polisi.
Keterangan korban tidak dipercaya penyidik. Pertanyaan-pertanyaan seperti ”kok mau dibawa pelaku”, ”korban kan sudah dewasa”, ”maaf tidak ada pasalnya”, ”ini sulit dibuktikan ada paksaannya”, dan seterusnya. Saat korban pada akhirnya mengalami kelahiran prematur dan ingin melakukan tes DNA, meskipun ada anggaran untuk tes DNA yang disediakan provinsi, layanan itu gagal diakses karena korban tidak berhasil mendapat surat pengantar dari kepolisian.
Sudah dua kali melapor ke kantor polisi setempat, namun laporan tak diterima.
Fenomena di atas mewakili kebanyakan kasus perkosaan yang dialami perempuan—dengan pelaku orang dekat atau dikenal korban, seperti pacarnya, mantan pacar, atau teman sebaya—yang tak mudah diproses laporannya, karena sejak awal keterangan korban sudah diragukan. Pengalaman perempuan korban perkosaan tidak di-recognize oleh aparat hukum, bahwa ketika korban jalan dengan pelaku bukan berarti ia mau berhubungan seksual, bahkan ketika korban setuju dengan satu atau lebih bentuk keintiman tertentu.
Begitu pun sikap dan pandangan yang dibangun masih cenderung menoleransi pelaku ketimbang korban perkosaan. Dalam proses pelaporan, sikap yang ditampilkan penyidik alih-alih empati terhadap korban, justru lebih kental kecurigaan, seolah korban ”bukanlah perempuan baik-baik”.
Apabila ditelusuri dari aturan perkosaan dalam Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), disyaratkan adanya unsur paksaan dengan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan, hal mana sudah membatasi pengalaman korban sejak awal (pelaporan).
Baca juga : Terobosan Hukum Cegah Kekerasan Seksual
Meskipun Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) sudah memperluas cakupan definisi perkosaan, tetap dibatasi oleh unsur yang sama (Pasal 479 (1) RKUHP). Faktanya, perkosaan yang dialami perempuan tak selalu melibatkan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan, seperti dilakukan dengan tipu muslihat, membuat korban tak berdaya, ancaman/tekanan psikis, dan bentuk-bentuk lain yang biasanya dilakukan oleh orang yang dikenal atau memiliki hubungan dekat dengan korban.
Dalam konteks perkosaan, korban mungkin saja setuju terhadap beberapa bentuk keintiman, tetapi tidak untuk melakukan hubungan seksual; atau setuju untuk melakukan hubungan seksual, tetapi kemudian memutuskan menghentikan atau menolak untuk melanjutkan, tetapi pelaku tetap memaksakan kehendaknya.
Praktik hukum yang terjadi selama ini justru cenderung menyalahkan korban (blaming the victim), dan enggan memproses laporannya. Adanya keterbatasan rumusan perkosaan dalam KUHP/RKUHP ataupun proses hukum yang bias mendorong kelompok perempuan mengupayakan pengaturan norma perkosaan yang lebih luas sekaligus perbaikan hukum acaranya di RUU TPKS.
Terobosan hukum dalam UU TPKS
UU TPKS diapresiasi karena berhasil mengatur sembilan bentuk kekerasan seksual, antara lain pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, kekerasan seksual berbasis elektronik, pemaksaan perkawinan, dan perbudakan seksual. Adapun perkosaan tak secara eksplisit diatur dalam UU TPKS karena dianggap sudah diatur di KUHP/RKUHP.
Meskipun demikian, sebenarnya delik perkosaan tetap diatur melalui Pasal 4 (2) yang dikenal sebagai ”pasal jembatan”, yang telah menegaskan bahwa perkosaan adalah tindak pidana kekerasan seksual.
Adapun perkosaan tak secara eksplisit diatur dalam UU TPKS karena dianggap sudah diatur di KUHP/RKUHP.
Sehingga semua hal yang diatur di UU TPKS juga berlaku bagi korban perkosaan, khususnya hukum acara, di mana UU TPKS memberikan sejumlah terobosan penting meliputi cakupan alat bukti seperti barang bukti jadi alat bukti, informasi/dokumen elektronik, dan surat keterangan psikolog klinis/psikiater/spesialis dokter jiwa sebagai alat bukti surat (Pasal 24).
Selain itu juga memprioritaskan keterangan korban sebagai alat bukti utama (Pasal 25) dan mengakui peran pendamping dalam proses penyidikan. Terutama dalam hal korban mengalami trauma berat, penyidik dapat menyampaikan pertanyaan melalui pendamping (Pasal 54 (3)).
Pasal 54 (3) merupakan usulan tambahan dari koalisi masyarakat sipil yang sebelumnya tidak ada dalam DIM pemerintah ataupun DPR, untuk menjembatani antara kepentingan penegakan hukum dan kepentingan pemulihan yang selama ini belum terintegrasi dalam layanan terpadu.
Aspek ini juga diperkuat dengan ketentuan yang memungkinkan penyidik melakukan pemeriksaan saksi dan/atau korban melalui perekaman elektronik baik secara langsung maupun jarak jauh (Pasal 49).
Baca juga : Ketika Soal Pemerkosaan Masih Menyisakan Pertanyaan
Selain itu, aparat penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana kekerasan seksual harus memiliki integritas dan kompetensi tentang penanganan perkara yang berperspektif HAM dan korban, dan tak boleh ”melakukan viktimisasi atas cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau yang menimbulkan trauma bagi Korban…” (Pasal 21-22).
UU TPKS juga telah mengatur hak-hak korban, keluarga korban, dan saksi di bab tersendiri. Di antaranya, hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual; hak atas informasi dan dokumen terhadap seluruh proses penanganan dan pemulihan; hak atas penghapusan konten bermuatan seksual; layanan dan fasilitas sesuai kebutuhan khusus korban (Pasal 65-70).
Tantangan operasionalisasi
Selain terobosan hukum di atas, juga terdapat kemajuan lain di UU TPKS dalam aspek pencegahan, peran serta masyarakat dan keluarga, serta koordinasi dan pemantauan. UU TPKS dapat dikatakan cukup komprehensif karena telah memuat enam elemen kunci: pencegahan, pengaturan tindak pidana, pemidanaan termasuk rehabilitasi pelaku, hukum acara, pemulihan, serta pemantauan.
Namun, operasionalisasi UU TPKS ini masih membutuhkan berbagai kebijakan turunan (10 peraturan pemerintah/peraturan presiden), pengalokasian anggaran, serta penyediaan kapasitas SDM dengan memperhatikan kondisi geografis serta kesulitan akses layanan korban di sejumlah daerah.
Terkait penyelenggaraan layanan terpadu, idealnya bisa dilakukan dalam satu atap dengan mekanisme layanan yang terintegrasi sehingga semua layanan bisa menjangkau korban di satu tempat. Jika pun tak dimungkinkan, alternatifnya dengan memperbaiki mekanisme yang memungkinkan korban tak lagi dirujuk berkali-kali, dan mencegah penggalian informasi yang sama sehingga korban tidak mengalami trauma berulang.
Dari berbagai terobosan tersebut, terlihat jelas perubahan dalam politik hukum pemerintah dan DPR yang menggunakan data berbasis bukti dan keberpihakan terhadap korban.
Ratna Batara Munti, Kooordinator Advokasi Kebijakan Nasional Asosiasi LBH APIK Indonesia; Anggota Tim Eksekutif JKP3 dan Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual