Sungguh Hidup jika RI Punya Menteri Kebudayaan
Menuju Indonesia Emas 2045 harus direncanakan, didesain, dan dibangun oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Peran Menteri Kebudayaan sangat dibutuhkan, untuk membangun kesadaran bangsa guna menyongsong Indonesia Emas.
Sebelum masuk ke inti persoalan tulisan ini, marilah kita simak beberapa cuplikan berita sebagai berikut.
Pertama, seorang pemuda yang pernah kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta menendang sesaji di puncak Gunung Semeru. Heboh. Rektor UIN lalu meminta masyarakat memaafkan pemuda itu, mungkin karena ketidaktahuan atau kekhilafannya. Namun, sang rektor tidak menjelaskan bahwa aliran-aliran keyakinan di Indonesia itu banyak yang menggunakan sesaji dalam ritual keagamaan mereka.
Kedua, ada kecenderungan kuat maraknya berbagai singkatan. Misalnya pad masa pandemi Covid-19 ini muncul singkatan PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat), PSBB (pembatasan sosial berskala besar), isoman (isolasi mandiri), nakes (tenaga kesehatan), prokes (protokol kesehatan), OTG (orang tanpa gejala), dan seterusnya. Nama jalan-jalan yang menggunakan nama pahlawan juga disingkat seperti Otista (Otto Iskandardinata), Basura (Basuki Rahmat), dan bahkan Soeta (Soekarno-Hatta) untuk menyebut nama bandara di Jakarta. Dan terlebih adanya singkatan dalam singkatan, seperti AMD (ABRI Masuk Desa).
Struktur dan diksi kalimat juga seperti terpengaruh oleh gaya bahasa yang digunakan dalam pemberitaan media sosial. Ada semacam ”kelemahan” bahasa, dan dibutuhkan pakar-pakar linguistik untuk turun tangan membenahinya.
Baca juga: Banjir Singkatan Kala Pandemi
Ketiga, ada kebutuhan untuk melakukan literasi media digital. Ini penting karena era digital telah tiba, tetapi masyarakat harus disiapkan untuk menggunakan teknologi tinggi itu tidak secara sembarangan. Sebagian besar teknologi informasi tinggi itu berasal dari luar sehingga kita hanya sebagai pengguna. Ekses yang terasa adalah kesibukan memerangi berita-berita bohong atau hoaks.
Keempat, ibu kota negara secara resmi telah disahkan untuk pindah dari Jakarta ke Kalimantan Timur dengan nama Nusantara. Kata Nusantara ini konon muncul dalam Kitab Negarakertagama pada zaman Kerajaan Majapahit, yaitu antara abad ke-12 hingga abad ke-14. Muncul reaksi-reaksi positif terhadap pemindahan ibu kota negara tersebut, tetapi juga hadir riuh rendah yang mempertanyakan rencana yang dimotori oleh Presiden Jokowi ini. Mengapa ibu kota harus pindah secara tergesa-gesa dan dinamai Nusantara?
Menurut Akademi Jakarta, kemampuan berpikir kritis melemah karena itu ada sejumlah rekomendasi untuk mengalahkan kemampuan berpikir kritis masyarakat.
Kelima, lembaga yang terdiri dari para seniman dan budayawan yang bernama Akademi Jakarta telah membuat suatu rekomendasi dengan topik Cegah Penghancuran Nalar Publik. Menurut Akademi Jakarta, kemampuan berpikir kritis melemah karena itu ada sejumlah rekomendasi untuk mengalahkan kemampuan berpikir kritis masyarakat.
Ada lima rekomendasi dari Akademi Jakarta, meliputi bidang pendidikan, lingkungan hidup, sosial, politik, dan ekonomi. Di bidang pendidikan direkomendasikan agar pendidikan yang menajamkan kesadaran kritis, kecerdasan inovatif, dan pemanfaatan sumber daya budaya diberlakukan untuk mencegah masalah lokal hingga global.
Cuplikan-cuplikan berita itu tampaknya semakin hari semakin meluas, mendalam, dan mengarah kepada kenyataan bahwa Republik Indonesia membutuhkan seorang menteri kebudayaan. Di dalam sejarah perkembangan kemerdekaan RI hingga kini, belum pernah ada Kementerian Kebudayaan secara tersendiri. Yang paling sering soal kebudayaan disatukan dengan bidang pendidikan menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ki Hajar Dewantara merumuskan kebudayaan sebagai buah budi manusia yang merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam. Hal itu merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
Seperti diketahui, Ki Hajar Dewantara yang lahir pada 2 Mei 1889 itu pada tahun 1922 telah mendirikan perguruan tinggi nasional Taman Siswa yang berpusat di Yogyakarta. Rumusan Ki Hajar tersebut sejalan dengan definisi kebudayaan yang dari abad ke-17 dan ke-18 diperluas maknanya, yaitu kebudayaan juga dipakai untuk mengartikan eksistensi alam dan zaman.
Baca juga: Menyemai Benih Kebangsaan Pendidikan Tamansiswa
Pada tahun 1935 muncul peristiwa Polemik Kebudayaan, yaitu pergulatan pemikiran terbesar dalam sejarah kebangsaan Indonesia, yaitu mencari pembanding bagaimana seharusnya kebudayaan dibangun agar Indonesia bisa menjadi negara maju.
Polemik Kebudayaan tersebut melibatkan tokoh sentral Sutan Takdir Alisjahbana dan para penyanggahnya. Ki Hajar ikut bergabung dalam polemik dan mencoba memberikan pesan kepada polemik yang sunggu seru itu. Antara lain pesannya, sifat, wujud alam, dan zaman di situ terletak juga sifat wujudnya hidup khalayak, di situ terletak pula rupa dan warna adab dan budaya kita; di situ juga terletak sifat hidup kita manusia masing-masing.
Kelak Ki Hajar Dewantara menjadi Menteri Pengajaran, yaitu di awal revolusi di bawah pimpinan Presiden Soekarno. Sementara Polemik Kebudayaan belum pernah terjadi lagi. Yang masih terdengar dilakukan adalah kongres-kongres kebudayaan meski tidak selalu berkesinambungan, dan implementasi program-programnya kurang di evaluasi dan dimonitor.
Tahun Emas 2045
Di tahun 2045, Indonesia akan berusia satu abad dan itu diharapkan sebagai momentum pencapaian-pencapaian besar bagi kemajuan bangsa. Ada agenda-agenda tahun emas yang sudah diwacanakan dari sekarang. Pertanyaannya, apakah untuk menuju tahun emas itu rencana strategisnya telah disusun sedemikian rupa?
Sebagai ilustrasi, negeri yang sudah maju seperti Prancis pun, memiliki seorang Menteri Kebudayaan Perancis dan yang tersohor bernama Jack Lang (periode 1981-1986 dan periode 1988-1993). Selanjutnya Jack Lang menjadi Menteri Pendidikan. Luar biasa. Ia terus mengupayakan bagaimana kebudayaan itu mengintegrasikan kemajuan bangsa melalui mata pencaharian bahasa, agama, kesenian, teknologi, dan pendidikan. Dengan demikian seluruh potensi masyarakat Prancis diharapkan ikut serta dalam derap kemajuan.
Ia terus mengupayakan bagaimana kebudayaan itu mengintegrasikan kemajuan bangsa.
Di akhir pemerintahan Presiden Jokowi Jilid 1, beliau mengundang sejumlah seniman dan budayawan ke Istana Negara di Jakarta. Tebetik berita bahwa salah satu soal yang dibicarakan adalah pentingnya RI memiliki menteri kebudayaan. Namun, cita-cita itu masih jauh dari realisasi.
Satu cerita menarik dari Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 1970-an dikabarkan menunggu-nunggu pengumuman kabinet baru Presiden Jokowi jilid pertama. Ternyata Presiden Jokowi memisahkan antara Kemendikbud dengan Kemenristekdikti.
Daoed Joesoef mengungkapkan kekesalannya di media daring sebagai berikut: “Kini pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memecah belah keutuhan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Yang dibenarkan masih ”berbudaya” adalah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, sedangkan sempalannya, pendidikan tinggi, digabung ke Kementerian Riset dan Teknologi, tanpa kebudayaan. Kebijakan ini sungguh merisaukan karena kekeliruan kecil bisa berakibat besar yang tak terelakkan, suatu bahaya fatal yang dahulu sudah diingatkan oleh Aristoteles."
Baca juga: Daoed Joesoef: Saya Siap Tidak Populer
“Betapa tidak. Pendidikan adalah satu keseluruhan walaupun dibuat berjenjang, secara formal sejak TK hingga S-3. Pendidikan (education) beda dengan persekolahan (schooling). Persekolahan mengurus (memikirkan) semua bahan pelajaran yang diperlukan oleh anak didik untuk mampu survive dalam menempuh kehidupan. Pendidikan bertanggung jawab atas perkembangan keseluruhan pribadi anak—the development of the whole child. Maka, penting sekali bahwa pendidikan formal anak bangsa ditetapkan di bawah tanggung jawab satu orang menteri, siapa pun dia.”
Daoed Joesoef wafat pada 2018 di masa pemerintahaan Jokowi jilid ke-2 yang akhirnya menyatukan kembali pendidikan dasar dan pendidikan tinggi yang sebagaimana dikritik Daoed Joesoef. Sungguh pun di sisi lain, beban Kemendikbudristek yang dipimpin Menteri Nadiem Makarim semakin berat.
Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Maka tugas kebudayaan itu sedemikian kompleks dan jika hal itu disatukan dengan pendidikan, maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu sungguh berat bebannya. Oleh karena itu di tahun 2017 lahir Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan. Hanya saja, langkah-langkah untuk mengimplementasikan undang-undang itu tidak semudah dan secepat yang diangankan, karena Indonesia begitu majemuk masyarakatnya dan ada campur antara unsur-unsur kebudayaan yang dimilikinya, sehingga peran Menteri Kebudayaan kian dibutuhkan.
Tulisan ini sebenarnya merupakan surat terbuka kepada Presiden Jokowi, karena untuk menuju Indonesia Emas harus direncanakan, didesain dan dibangun pada akhir pemerintahannya di tahun 2024. Masih ada kesempatan untuk menunjuk seseorang menjadi menjadi Menteri Kebudayaan. Jika harus dikatakan, maka seorang Menteri Kebudayaan adalah yang memiliki kompetensi membangun kesadaran bagi bangsa Indonesia, untuk sungguh-sungguh bersatu dalam impian yang sama, yakni Indonesia Emas 2045.
Baca juga: Tantangan Menuju Indonesia Emas 2045
Spiritualitas kesatuan adalah Gerakan Focolare, didirikan oleh Chiara Lubich pada tahun 1943 di Italia, yang merupakan gerakan gerejani yang bertujuan memberikan sumbangan kepada gereja dalam mewujudkan wasiat Tuhan: ”Semoga mereka semua menjadi satu”. Namun, dengan meminjam istilah itu, spiritualitas kesatuan dapat diartikan bersama-sama memajukan bangsa. Menteri Kebudayaan juga akan menjadi penggerak dan memiliki kemampuan dalam meningkatkan masyarakat yang kritis dalam menyongsong Indonesia Emas 2045.
Cuplikan-cuplikan di awal tulisan ini mengindikasikan adanya rintangan-rintangan kebudayaan. Lebih serius lagi, apakah karena bangsa Indonesia mulai kehilangan arah dalam memandang konsep berkebudayaan? Maka diperlukan Menteri Kebudayaan yang mumpuni (setingkat empu) yang dapat menjadi penggerak kebudayaan bangsa.
Marselli Sumarno, Pengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ)