Menuju Transisi Hijau
Manusia harus mengadakan pembaruan yang radikal dan komprehensif untuk mengatasi krisis iklim. Krisis ini menyangkut bidang ekologi yang bersinggungan dengan sosial-politik dan moral.
Seruan, gerakan, dan praktik menuju transisi hijau semakin menggelegar. Memang harus demikian tanpa menunggu dan menunda waktu lagi. Mengingat, praktik hidup manusia di bumi dan Indonesia sudah jauh dari sifat ekologis, hijau, dan adil.
Dengan nada tegas, Prof Dr Emil Salim (ekonom senior dan tokoh lingkungan hidup) menyampaikan ide yang senada dalam Kompas Talks bersama Greenpeace Indonesia dengan tajuk ”Pentingnya Transisi Hijau untuk Mengatasi Krisis Iklim” (2/3/2022).
Sebagai narasumber kunci, beliau menegaskan urgensi menuju transisi hijau. Sebab, setelah sekian abad, manusia memutuskan ”relasi hijau” (green relationship) dengan alam. Dengan demikian, alam dibiarkan mengalami kerusakan di sana-sini sehingga memberikan dampak global terhadap hidup manusia dan semua makhluk lainnya.
Salah satu dampak yang dirasakan dunia saat ini adalah perubahan iklim dan kenaikan suhu di muka bumi. Lantas, apa yang dapat dipetik masyarakat Indonesia atas peristiwa ini? Apa yang dapat dilakukan ke depan agar transisi menuju hidup hijau semakin optimal?
Baca juga: Transisi Ekonomi Hijau Adil dan Terjangkau
Efek revolusi
Pertama sekali, kita harus menganalisis opini ilmiah Prof Dr Emil Salim yang sungguh kuat mengkritisi—bukan mempersalahkan—perkembangan teknologi industri pada abad XVIII. Perkembangan tersebut menjadi gerbang transisi pola pikir baru dan sistem pekerjaan manusia yang di satu sisi semakin efektif, tetapi di sisi lain semakin merusak alam.
Revolusi industri—yang diawali dengan penemuan mesin uap oleh James Watt—patut diapresiasi karena hadir untuk membantu manusia dalam bekerja sehingga banyak hal yang dapat dikerjakan dengan tenaga mesin. Selain itu, di satu sisi perkembangan industri menandakan kecerdasan manusia berkembang.
Beriringan dengan keadaan tersebut, muncul sikap dualisme yang cukup mendalam antara manusia dan alam. Manusia memandang diri sebagai subyek aktif, sementara alam dipandang sebagai obyek pasif. Sumber daya alam dimanfaatkan hanya sebatas sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
Muncul beberapa efek. Pertama, kemajuan dalam bidang teknologi (industri) menguatkan sisi ”kemahakuasaan” manusia atas alam, lingkungan hidup, dan sesama manusia. Kuasa tersebut menuntun manusia pada paradigma sebagai realitas mutlak. Tidak hanya dalam skop ekologis, tetapi juga sosial-politik dan moralitas.
Kedua, seperti yang diungkapkan William Lovit dalam The Question Concerning Technology and Other Essays (1977), manusia memaksa alam memproduksi kekayaannya (bringing-forth). Hal ini sungguh berputar terbalik dari kondisi penggunaan teknologi kuno dimana manusia dilihat sebagai subyek (causa efficiens) yang berperan dalam mengelola alam tanpa paksaan.
Kemajuan dalam bidang teknologi (industri) menguatkan sisi ”kemahakuasaan ” manusia atas alam, lingkungan hidup, dan sesama manusia.
Ketiga, teknologi modern tidak saja memberikan ruang kepada manusia sebagai subyek yang mendominasi dan mengeksploitasi alam, tetapi juga telah menempatkan manusia sebagai ”obyek atau hambanya”. Akibatnya, manusia membuang sisa/limbah hasil industri kembali ke alam. Ini dilakukan dengan perasaan tanpa salah atau dosa. Sementara, alam tidak dapat mengurai atau mengelola limbah dengan cepat karena mengandung racun yang berbahaya dan mematikan.
Dari kenyataan tersebut, manusia telah berada dalam—selama ratusan tahun pasca revolusi—zona nyaman (safe zone) yang tidak peduli dalam mengatasi produksi limbah industri. Atau setidaknya, manusia belum optimal berjuang untuk mengurai limbah industri yang ramah lingkungan.
Efeknya adalah alam kewalahan mengatasi limbah. Terjadi kerusakan di sana-sini. Terjadi krisis yang parah, seperti krisis iklim (climate change) dan perubahan suhu di muka bumi secara global sehingga hidup manusia dan makhluk hidup lainnya terganggu. Kalau tidak diatasi dengan segera, akan timbul dampak yang ngeri di kemudian hari.
Pembaruan hidup
Mau tak mau, manusia harus mengadakan pembaruan yang radikal dan komprehensif. Sebab, krisis global menyangkut bidang ekologi yang bersinggungan dengan sosial-politik dan moral. Kondisi tersebut menjadi alas dan tonggak pemulihan menuju transisi hijau.
Terence R Anderson dalam Environmental Ethics (1993) menguraikan beberapa hal yang perlu dalam pembaruan hidup. Pertama, manusia harus mengubah cara pandang yang antroposentris menuju biosentris dan ekosentris; hanya memandang masa sekarang dan tidak mempedulikan efek di masa dan bagi generasi mendatang.
Baca juga: Spiritualitas Peka Lingkungan Hidup
Kedua, perlu memperlebar dan memperluas komunitas moral. Maksudnya, manusia harus mengusahakan skop pertimbangan moral dalam bertindak pada seluruh bagian jagat raya. Karena, jagat raya dipandang sebagai organisme tunggal seperti yang dipahami kaum holists. Mereka memberi perhatian pada keseluruhan jagat daripada bagian-bagian.
Ketiga, pemerintah kiranya segera menerapkan Undang-Undang Lingkungan Hidup secara konsisten dan bertanggung jawab serta berlaku untuk umum, tanpa sikap korupsi, kolusi, dan nepotisme. Juga, pemerintah harus memperhatikan kepentingan umum dan menyentuh ”akar rumput”.
Paradigma baru
Selain membutuhkan pembaruan hidup, manusia zaman sekarang tampaknya harus memiliki paradigma baru agar mampu mengoptimalkan gerakan transisi hijau. Paradigma pertama adalah mengadopsi filosofi deep ecology dan shallow ecology yang ditawarkan oleh Arne Naes, filsuf Norwegia (1973).
Di dalam deep ecology, manusia akan diantar kepada pandangan bahwa manusia bukan penguasa dan pusat tunggal di alam semesta. Sebab, setiap ciptaan memiliki nilai intrinsik dan hak hidup dalam cara beradanya.
Selain membutuhkan pembaruan hidup, manusia zaman sekarang tampaknya harus memiliki paradigma baru agar mampu mengoptimalkan gerakan transisi hijau.
Sementara itu, di dalam shallow ecology, manusia diajak agar secara bersama-sama mengatasi krisis lingkungan hidup dengan melakukan pendekatan dan pemecahan masalah. Meskipun, metode ini tidak sampai pada akar permasalahan seperti deep ecology.
Manusia akan mengalami transformasi rohani menuju penghijauan diri. Manusia juga akan ditarik dari kesadaran diri yang disalahgunakan dan kesadaran diri yang terpisah dari dunia sehingga sampai pada pengembangan spiritualitas nondualistis.
Paradigma lama terkait kemajuan teknologi modern pun harus dibarui. Manusia telah lama terperangkap dalam buaian teknologi. Seperti yang dikatakan Martin Heidegger dalam The Question Concerning Technology (1993), manusia telah berhasil ditaklukkan oleh dan menjadi hamba teknologi (gestell).
Alih-alih menjadi pengontrol teknologi, manusia malah terperangkap dalam struktur teknologi yang memeras, memanipulasi, mengeksploitasi, dan mengeruk sumber daya alam demi kepuasan produksi. Manusia telah kehilangan intervensi dan interpretasinya akan teknologi modern. Manusia juga telah kehilangan daya mengelola teknologi dalam batas-batas ekologis dan ramah lingkungan.
Maka, agar keluar dari perhambaan teknologi tersebut, manusia harus bertransisi menuju paradigma gelassenheit. Paradigma ini merupakan antidot dari gestell.
Manusia juga telah kehilangan daya mengelola teknologi dalam batas-batas ekologis dan ramah lingkungan.
Ada tiga tendensi dari paradigma ini. Pertama, membebaskan manusia dari pengaruh teknologis untuk berkuasa (the will to power), bersikap egois, dan eksklusif. Manusia harus mengejawantahkan nilai-nilai ekologi serta praktik hidup berkelanjutan. Buah dari poin ini adalah manusia membiarkan hutan, satwa, flora, dan fauna hidup dengan bebas tanpa usikan.
Kedua, paradigma tersebut hendak menyadarkan manusia untuk membiarkan alam dan isinya menunjukkan diri kepada (to) bukan untuk (for) manusia. Manusia harus hati-hati dalam mengutamakan cara hidup yang seimbang dan sehat. Agar, manusia mampu mengonter kerangka teknologis yang begitu menggoda dalam aspek ekonomi, sosial-politik, budaya, dan moral.
Yang terakhir adalah manusia ditantang untuk mencari dan menciptakan teknologi-teknologi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, diperlukan satu usaha masif untuk mengurangi limbah industri yang mengandung zat atau gas berbahaya. Salah satu cara yang ditilik oleh banyak bangsa, termasuk Indonesia, adalah dengan net zero emissions.
Usaha untuk mengoptimalkan transisi hijau yang ekologis dan ramah lingkungan telah ada dalam agenda Presidensi G20 oleh Indonesia. Juga, Indonesia telah menaruh komitmen yang sama pada COP 26 di Glasgow, terlebih mengatasi krisis iklim.
Tugas dan tanggung jawab untuk itu tidak hanya dikendalikan oleh pemerintah. Seluruh elemen masyarakat, pemangku kepentingan perekonomian, dan bahkan media warta berita harus mau dan mampu bekerja sama menyebarluaskan perubahan menuju hidup hijau.
Indonesia harus menjadi pionir sekaligus penggerak utama pengoptimalan transisi hijau yang berkelanjutan. Pembangunan dan perkembangan akan selalu ada. Akan tetapi, bangsa Indonesia harus tetap jeli memberlakukan batasan dalam ranah teknologi dan organisasi sosial dalam kaitannya dengan lingkungan (ekologis) demi kebutuhan saat ini dan masa mendatang. Agar, generasi bangsa mampu menikmati kekayaan alam Indonesia yang asri, indah, hijau, dan berkualitas.
Baca juga: Transisi Energi yang Berkeadilan
Krisis iklim yang tak menentu dan kenaikan suhu di permukaan bumi adalah bahasa dari alam kepada manusia untuk menyampaikan pesan pembaruan dan transisi energi. Sehebat-hebatnya manusia dalam sejarah, tidak akan pernah bisa berpaling dari alam dan ciptaan lainnya.
Meski peradaban manusia sudah sangat tinggi, manusia tetaplah makhluk bumi. Manusia bisa hidup karena bumi dan ciptaan lain. Seperti yang dituliskan oleh Prof Dr William Chang OFMCap dalam Jiwa Kosmis Fransiskus dari Assisi (1989), manusia perlu belajar dari Fransiskus Assisi (1182-1226) menghayati alam sebagai tempat tinggal, bukan untuk dirusak dan diporak-porandakan.
Manusia harus berusaha melestarikan ”kehijauan” alam semesta dan serta-merta memperbaiki kerusakan yang telah lama terjadi dengan cinta persaudaraan. Sic fiat!
Agustian Ganda Putra Sihombing, Anggota Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Kapusin Medan - Divisi Keutuhan Ciptaan dan Biarawan Ordo Kapusin Provinsi Medan (OKPM)