Resonansi Pendidikan Nasionalisme dan Pudarnya Ligatur Sosial
Sudah saatnya pendidikan perlu merumuskan kembali kurikulum yang moderat dan responsif terhadap isu-isu kontemporer. Memungkinkan bagi para guru dan peserta didik menemukan momentum saling menghormati keanekaragaman.
Pudarnya sikap toleran, saling menghormati dan menyayangi di tengah masyarakat majemuk, serta adanya sebagian masyarakat yang mulai terpesona dengan ideologi transnasional, harus menjadi keprihatinan bersama.
Semua pihak, tanpa kecuali, harus segera menyalakan alarm kebangkitan ideologi radikalisme konservatif yang mengancam eksistensi NKRI. Apalagi telah begitu nyata menyeret sebagian masyarakat pada pusaran intoleransi, trust-claim, prejudice, suka menarasikan kebencian, menyebar hoaks, dan perilaku ekstrem.
Langkah penting yang harus segera dipikirkan untuk memperkuat imunitas nasionalisme dan menumbuhkan karakter toleran bagi masyarakat serta memompa semangat persatuan dan kesatuan NKRI adalah pendidikan. Sebab, pendidikan punya peran menentukan bagi perkembangan dan perwujudan individu. Pendidikan mempunyai korelasi tinggi dengan stratifikasi sosial. Pendidikan juga sangat strategis dalam mewujudkan pembangunan. Membentuk masyarakat berkebudayaan dan berperadaban tinggi.
Melihat berbagai persoalan masyarakat akhir-akhir ini, sebenarnya, bisa diselesaikan melalui pendidikan
Melihat berbagai persoalan masyarakat akhir-akhir ini, sebenarnya, bisa diselesaikan melalui pendidikan. Baik itu persoalan demoralisasi, ketimpangan, kesejahteraan, maupun kekerasan. Maka, melalui pintu pendidikan adalah jawabannya.
Ibn Khaldun dalam kitab Al-Muqaddimah menyatakan, pendidikan merupakan faktor penting bagi pembentukan kebudayaan yang tinggi. ”Orang yang berbudaya, berperadaban, dan berilmu akan mempunyai kemampuan lebih dalam melangsungkan kehidupannya.” (Khaldun, 1377: 344).
Sementara Mimar Turkkahraman dalam tulisan Education, Teaching and School as A Social Organization (2014) menyatakan, kontribusi terpenting pendidikan tak hanya meningkatkan standar hidup warga, tetapi juga memungkinkan mereka menjadi warga negara yang lebih baik.
Baca juga: Guru dan Deradikalisasi
Harus diakui, semangat reformasi total di setiap lini kehidupan telah memberikan semangat baru reformasi pendidikan nasional. Sayang, belum berdaya mengantarkan menjadi bangsa yang mandiri, kreatif, berdaya saing tinggi, berkarakter, dan bermartabat. Pendidikan belum mampu menjadi human investment yang membawa masyarakat dengan kemampuan berpikir tinggi (higher order thinking skills).
Alih-alih, pendidikan masih berkutat pada persoalan internal, mikro, dan senantiasa gelisah mencari sistem yang dianggap efektif untuk diterapkan. Budaya mencangkok sistem pendidikan dari luar atau terkenal dengan sebutan lending dan borrowing masih jadi tren dari setiap pejabat baru. Padahal, laksana tanaman bunga, setiap sistem pendidikan akan bisa mekar dan berkembang biak jika sesuai kondisi geografisnya. Jika tidak, pasti akan layu dan tak berdaya.
Sistem pendidikan tak boleh jalan di tempat, harus bersifat dinamis dan progresif.
Pendidikan nasionalisme
Demi keberhasilan pendidikan yang mampu menyemaikan karakter positif bagi anak-anak bangsa, perlu keberanian mereformulasi seluruh konsep pendidikan yang memungkinkan membawa peserta didik memiliki wawasan inklusif serta bisa menerima kenyataan keanekaragaman dan cinta Tanah Air.
Terdapat beberapa langkah yang perlu diperhatikan dalam kerangka membangun pendidikan nasionalisme. Langkah itu di antaranya pendidikan harus merumuskan sebuah tujuan dan visi pendidikan yang jelas, dan tanggap/compatible terhadap masalah-masalah bangsa.
Sistem pendidikan tak boleh jalan di tempat, harus bersifat dinamis dan progresif. Setiap perubahan yang terjadi di luar pendidikan juga harus diadopsi dan diadaptasi secara cerdas oleh lembaga pendidikan.
Relevan dengan persoalan ini, pendidikan harus mampu menjawab tuntutan untuk menyejahterakan masyarakat dan kemajuan bangsa. Pendidikan di samping berorientasi pasar, responsif terhadap perkembangan teknologi pengetahuan, juga harus berorientasi spiritualistik, humanistik, dan berwawasan kearifan lokal.
Visi dan tujuan pendidikan tersebut harus berorientasi melahirkan generasi yang holistik. Generasi cerdas, berkarakter religius, dan mampu memanusiakan manusia (humanisasi). Untuk kepentingan ini, pendidikan harus mendesain kultur yang mampu menjunjung hak-hak peserta didik dalam memperoleh informasi pengetahuan, berusaha mewujudkan nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat. Di samping jiwa nasionalisme, mewujudkan masyarakat madani, dan demokratis (Djamas, 2009).
Selain itu, pendidikan harus mencoba menawarkan secara khusus sebuah lingkungan pendidikan yang memungkinkan bisa menjauhkan kepicikan dan eksklusivitas. Selain itu, bisa mengembangkan kesadaran atas tanggung jawab terhadap kelanjutan hidupnya, masyarakat, dan negara serta seluruh umat manusia dengan damai dan saling ”menyapa” serta menghormati satu sama lain.
Islam dan nasionalisme
Resonansi pendidikan nasionalisme tersebut harus segera diimplementasikan dalam dunia pendidikan sekaligus sebagai usaha sekuat tenaga menuju masyarakat demokratis.
Langkah ini penting karena masyarakat demokratis sebagai pilar peradaban dan selalu menjadi perhatian kemanusiaan sejagat. Tidak ada satu kelompok atau bangsa pun yang menolaknya sejauh demokrasi diartikan sebagai usaha mewujudkan kedaulatan rakyat secara penuh. Termasuk di Indonesia, gagasan demokrasi dan demokratisasi terus menggulir seiring dinamika politik.
Tidak ada satu kelompok atau bangsa pun yang menolaknya sejauh demokrasi diartikan sebagai usaha mewujudkan kedaulatan rakyat secara penuh.
Menurut Nurcholish Madjid, kita memiliki demokrasi sebagai ideologi, tidak hanya karena pertimbangan-pertimbangan prinsipiil—yaitu karena nilai-nilai demokrasi itu dibenarkan dan didukung semangat ajaran Islam—tetapi juga karena fungsinya sebagai aturan permainan politik yang terbuka.
Lebih-lebih, dalam realitasnya, terdapat sinkronisasi antara nasionalisme, demokrasi, dan Islam. Terutama dalam hal ini bisa dilacak kontribusi para tokoh Islam di awal-awal pembentukan Negara Kesatuan RI.
Sekaligus membuktikan bahwa nasionalisme, demokrasi, dan Islam memiliki eksistensi yang tidak boleh dianggap remeh sebagai fondasi menjadi pribadi yang berkualitas dan siap hidup bermasyarakat untuk mencapai keharmonisan, perdamaian, dan persatuan dengan prinsip cinta sesama.
Nasionalisme telah menjadi faktor penentu yang mengikat semangat serta loyalitas untuk menciptakan cita-cita negara. Sementara tumbuh dan berkembangnya nasionalisme telah melahirkan banyak negara merdeka di seluruh dunia. Hal ini disebabkan nasionalisme telah memainkan perannya yang sangat penting dan positif di dalam menopang persatuan, kesatuan, demokrasi yang oleh karena itu negara yang bersangkutan dapat melaksanakan pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan kemakmuran dan peningkatan kualitas pendidikan (Purwoko, 2001).
Strategi
Sementara pendekatan yang bisa dilakukan dalam pendidikan nasionalisme adalah lebih menitikberatkan pada pendekatan yang lebih dialogis, komunikatif, dan transformatif. Strategi pendidikan harus mampu menggeser ke titik tengah antara dua pendulum peradaban Barat dan Timur.
Strategi pendidikan perlu menekankan pada interpretasi sosial secara kritis, eklektis, dan berbasis kearifan lokal sehingga memungkinkan mencairkan kebuntuan cara pandang masyarakat, menjadi lebih elastis, moderat, dan humanis.
Strategi yang bisa menyadarkan seseorang agar tak terjebak pada romantisisme masa lampau yang kadang membawa dampak serius, seperti memunculkan kelompok revivalisme, fundamentalisme, dan ultrakanan. Sekaligus menarik kembali, pada roh pemikiran Islam progresif, terutama bagi mereka yang terpesona dengan peradaban Barat, sehingga tidak terseret pada pusaran liberalisme.
Tak kalah penting sistem dan model pendidikan perlu mengadopsi sistem pendidikan yang dipopulerkan para kiai pesantren. Pendidikan perlu memperkenalkan konsep-konsep dan kearifan lokal yang diajarkan para kiai. Sebut saja Kiai Hasyim Asy’ari, dalam kitab Adabu al-’alim wa al-muta’allim, mensyaratkan pendekatan dalam proses belajar-mengajar dengan penekanan pada etika dan moralitas.
Seorang guru harus mencintai muridnya, begitu pula murid harus menghormati/memuliakan guru sehingga tak akan ditemukan kekerasan dalam dunia pendidikan. Seandainya seorang guru menemukan peserta didik nakal, ia harus menasihatinya penuh kelembutan: binashhin wa talaththufin, la bita’fifin wa ta’assufin (menasihati dengan cara lembut, bukan dengan cara keras dan menyakiti) (Asy’ari, tt, hlm 84). Pendekatan ini perlu digunakan agar peserta didik dapat berperilaku dan berperangai baik.
Sudah saatnya pendidikan perlu merumuskan kembali kurikulum yang moderat dan responsif terhadap isu-isu kontemporer.
Sudah saatnya pendidikan perlu merumuskan kembali kurikulum yang moderat dan responsif terhadap isu-isu kontemporer. Memungkinkan bagi para guru dan peserta didik menemukan momentum untuk saling mengenal dan menghormati keanekaragaman budaya dan agama. Jangan ada lagi, muatan-muatan kurikulum yang mendukung atau memicu radikalisme agama.
Seperti kesalahan memaknai ajaran jihad yang selalu bermakna qital (berperang) dan membunuh orang-orang tak berdosa. Melainkan, memaknai jihad dengan sesungguhnya, yang memiliki konotasi kesungguhan dalam merealisasikan segala sesuatu yang dicita-citakan, sebuah simbol kehormatan dan pengorbanan kepada orang lain dan melawan setiap bentuk ketidakadilan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sebab, jihad secara lughowi berasal dari kata jahada yang berarti ’mencurahkan kemampuan’ (Asfar, 2003).
Sayyid Qutub juga mendefinisikan jihad sebagai perjuangan melawan penindasan di mana pun berada. Jihad tidak boleh dipakai untuk memaksa orang memeluk Islam, tapi untuk membebaskan semua bentuk penindasan di muka Bumi ini tanpa memandang agama apa pun (Ruslani, 2001).
Semua langkah ini bisa segera diterapkan di semua lembaga pendidikan agar bisa membentengi semua sivitas dari paparan ajaran kelompok yang tidak selaras dengan ideologi Pancasila.
Selain faktor-faktor di atas, sangat penting pula dukungan para guru berwawasan luas. Mereka, di samping dituntut mempunyai kompetensi ilmu pengetahuan yang luas, juga diharapkan berwawasan kebangsaan dan kearifan lokal. Sebab, sesungguhnya guru dalam pendidikan memegang kunci (key person). Semua ini perlu dilakukan demi terciptanya harmonisasi dan kehidupan yang ramah, saling menyapa, dan berinteraksi satu sama lain.
Semua langkah ini bisa segera diterapkan di semua lembaga pendidikan agar bisa membentengi semua sivitas dari paparan ajaran kelompok yang tidak selaras dengan ideologi Pancasila. Sudah saatnya pendidikan mengajarkan dan mempraktikkan nilai-nilai kearifan lokal serta wejangan para leluhur yang notabene sangat selaras dengan ajaran agama yang rahmatan lil’alamin.
Syamsul Ma’arifGuru Besar dan Dekan FPK UIN Walisongo