Cerpen karya Umar Kayam, Hamsad Rangkuti, dan Raudal Tanjung Banua yang mengangkat tema Ramadhan memberi arah akan pencapaian katarsis. Mereka mengangkat realitas ekonomi, sosial, dan agama.
Oleh
S PRASETYO UTOMO
·5 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Sebagian cerpen Indonesia mutakhir dicipta sastrawan dengan latar Ramadhan. Krisis ekonomi, konflik sosial, bahkan konflik religiositas bisa disajikan dengan latar Ramadhan. Tak banyak cerpen berlatar Ramadhan terdokumentasikan dalam buku-buku antologi sastra. Setidaknya kita dapat menemukan tiga cerpen yang ditulis sastrawan Indonesia mutakhir berlatar Ramadhan, seperti karya Umar Kayam, Hamsad Rangkuti, dan Raudal Tanjung Banua. Mereka mengambil latar Ramadhan untuk mengemas berbagai persoalan: krisis ekonomi, konflik sosial, dan otoritas beragama.
Dengan latar Ramadhan, Umar Kayam menulis cerpen ”Menjelang Lebaran”, termuat dalam Derabat: Cerpen Pilihan Kompas 1999. Hamsad Rangkuti mencipta cerpen ”Santan Durian”, termuat dalam Dua Tengkorak Kepala: Cerpen Pilihan Kompas 2000. Raudal Tanjung Banua menyingkap latar Ramadhan dengan cerpen ”Aroma Doa Bilal Jawad”, termuat dalam Doa yang Terapung: Cerpen Pilihan Kompas 2018.
Mereka memanfaatkan peristiwa Ramadhan sebagai motif, struktur narasi untuk mencapai keutuhan kisah. Obsesi mereka tidak fokus pada persoalan religiostitas. Umar Kayam mengusung persoalan krisis ekonomi yang pernah menenggelamkan sejumlah kelas sosial di Indonesia dalam struktur narasinya. Hamsad Rangkuti mengemas konflik sosial yang menajam antartetangga. Raudal Tanjung Banua mengangkat konflik puritanisme beragama.
Katarsis yang tercipta pada ketiga cerpen tersebut merujuk pada upaya ”penyucian diri”. Terjadilah pembaruan rohani, pelepasan diri dari ketegangan dan segala aktivitas duniawi yang menyulitkan. Dengan kekuatan struktur narasi masing-masing, ketiga cerpen itu mencapai katarsis pada akhir cerita. Katarsis itu direnungkan, disusun kembali dalam benak pembaca, sesuai dengan tingkat pemahaman dan penafsiran mereka.
Persoalan humanisme
Kita mengenal Umar Kayam sebagai seorang sastrawan yang piawai mengangkat kisah-kisah sosial-politik ke dalam teks sastra yang memikat untuk dibaca seperti Sri Sumarah. Ia sangat mahir merangkai struktur narasi, dengan menghidupkan karakter tokoh, menyusun dialog, dan mengemas konflik. Dalam cerpen ”Menjelang Lebaran”, ia menghidupkan tokoh Sri yang menghadapi situasi Ramadhan, sementara suaminya berhenti bekerja karena perusahaan bangkrut, dan kebutuhan hidup semakin meningkat.
Struktur narasi mengalir untuk mencapai katarsis. Membaca cerpen itu, kita dihadapkan pada persoalan-persoalan humanisme, menyentuh empati, untuk mencapai kearifan. Umar Kayam memiliki kekuatan style untuk menyingkap kesadaran kemanusiaan saat hidup mencapai tahap kegelapan. Ia melihat celah-celah peristiwa krisis ekonomi dari sudut pandang humanis yang luput dari obsesi para sastrawan, untuk dihadirkan pada pembaca sebagai kisah yang menyentuh hati.
Membaca cerpen itu, kita dihadapkan pada persoalan-persoalan humanisme, menyentuh empati, untuk mencapai kearifan.
Tema besar krisis ekonomi telah diangkat Umar Kayam menjadi narasi yang menghadirkan renungan-renungan baru akan nilai, norma, dan hakikat hidup dalam kebersamaan. Ia tidak menyusupkan kritik yang banal, apalagi vulgar. Ia tetaplah seorang pencerita yang cerdas, jenaka, dan memberi kesadaran untuk bangkit dari keterpurukan nasib. Ia telah menghadirkan narasi sebagai ”hamparan ambiguitas yang mengimplikasikan relativitas, bahkan kontradiksi kebenaran”, sebagaimana ditulis Ahmad Sahal dalam pengantar Derabat: Cerpen Pilihan Kompas 1999.
Cerpen Hamsad Rangkuti, ”Santan Durian”, mengangkat realitas sosial dalam kerukunan bertetangga dan tradisi Ramadhan di perkampungan Melayu Sumatera Timur. Ia memang selalu menulis cerpen dengan realitas sosial yang menjadi obsesi penciptaan. Ia mengangkat konflik antartokoh karena pohon durian yang dahan-dahannya memasuki ladang tetangga. Buah durian yang jatuh ke ladang tetangga disangka telah dicuri. Kebencian, dendam, dan amarah menjadi obsesi Hamsad Rangkuti dalam cerpennya. Ia mengakhiri cerpen dengan arif: memaafkan tetangga yang menyulut konflik dan dendam.
Hamsad Rangkuti menyajikan cerpen dengan ambiguitas sikap tokoh-tokoh yang berhadap-hadapan dalam konflik. Tokoh ibu dalam cerpen ini meminta maaf kepada musuh, dan menghindarkan diri dari konflik yang meruncing, meskipun dalam posisi yang benar dan terkena fitnah. Kalau saya memanfaatkan kriteria Ahmad Sahal dalam penciptaan teks sastra, Hamsad Rangkuti berusaha mencapai ”hamparan ambiguitas yang mengimplikasikan relativitas, bahkan kontradisi kebenaran”. Ia merangkai konflik antartokoh sebagai ekspresi daya cipta yang membangkitkan berbagai tafsir dan fantasi pembaca.
Kehadiran Raudal Tanjung Banua dengan cerpen ”Aroma Doa Bilal Jawad” terasa lebih lembut mengantarkan pembaca pada ”hamparan ambiguitas yang mengimplikasikan relativitas, bahkan kontradiksi kebenaran”. Ia mengalirkan napas profetik dalam cerpennya, dengan kesadaran akan terusiknya kearifan lokal. Saat menjelang Ramadhan, tokoh Bilal Jawad dipercaya penduduk desa untuk melantunkan doa dengan membakar kemenyan. Akan tetapi, kearifan lokal Bilal Jawad ini dicegah Ustaz Baihaqi yang diangkat sebagai imam-khatib di kampung. Bilal Jawad pun tersisih dari tradisi kampung.
Terasa benar bahwa Raudal Tanjung Banua mengalirkan narasi dengan empati religiositas yang tersusupi kultur. Konflik meruncing karena sikap puritanisme kaum ulama yang mencipta otoritas beragama. Ia menyentak kesadaran kita akan relativitas beragama dan kontradiksi kebenaran yang mengalir dalam struktur narasi.
Ia mengantarkan konflik religiositas dengan sudut pandang tokoh yang kehilangan kearifan lokal, dan caranya bertutur tidak meratap, tidak dengan dendam, tetapi dengan mengalirkan empati. Ia mencipta struktur narasi yang memberikan kesadaran bahwa telah berkembang upaya untuk menyisihkan kaum ulama yang menghidupkan kearifan lokal dalam religiositas.
Memberi arah
Ketiga cerpen yang mengangkat tema Ramadhan dalam perkembangan sastra Indonesia mutakhir ini memberi arah akan pencapaian katarsis. Mereka mengangkat realitas ekonomi, sosial, dan agama. Umar Kayam dengan krisis moneter, Hamsad Rangkuti dengan konflik sosial, dan Raudal Tanjung Banua mengangkat konflik otoritas beragama.
Mereka memiliki kelebihan karena mengalirkan struktur narasi yang melibatkan empati pembaca. Umar Kayam memanfaatkan kekuatan dialog, Hamsad Rangkuti mengeksplorasi narasi yang menyentak kesadaran, Raudal Tanjung Banua memaksimalkan deskripsi yang melibatkan penghayatan pembaca. Masing-masing memiliki kekuatan estetika yang menghadirkan cerpen-cerpen itu untuk terus dinikmati pembaca sampai hari ini.
Bukan narasi besar yang dihadirkan ketiga cerpenis itu. Mereka menghadirkan tokoh-tokoh narasi kecil, manusia yang terpinggirkan, tersisihkan, dan terkalahkan. Akan tetapi, ketiga cerpenis memberi sugesti akan daya hidup. Mereka mencipta narasi fiksi untuk menyingkap hakikat kebenaran yang kini semakin terselubung kedok kepalsuan duniawi.
S Prasetyo Utomo, Sastrawan; Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes