Hari Raya Keagamaan dan Inspirasi Kemanusiaan
Agama harus menjadi inspirasi kemanusiaan universal sebagai tolok ukur konkret dari penghayatan hidup keagamaan. Kemanusiaanlah yang menjadi identitas bahwa kita adalah orang beriman, bukan sekadar orang beragama.
Hari raya keagamaan yang diperingati di tengah-tengah rutinitas kehidupan seolah memaksa kita untuk berhenti sejenak. Perhentian itu merupakan momen jeda untuk merenung lebih menukik dengan memberi porsi lebih kepada realitas batin (inner space) lantaran hidup harian kita disibukkan oleh berbagai aktivitas, kompetisi, keringat jerih lelah yang meluaskan ruang luar kehidupan (outer space).
Hari raya keagamaan menjadi semacam pembebasan diri dari waktu profan yang bersifat historis dan eksistensial, dan orang dengan semangat khusyuk melangkah memasuki suatu waktu kudus dan daerah sakral. Maka, hari raya keagamaan adalah ajakan kepada semua orang untuk menimba inspirasi spiritual agar memberi napas baru bagi ruang batin.
Beberapa waktu lalu dua agama besar dunia merayakan hari raya keagamaan. Umat Hindu merayakan Hari Raya Nyepi dan umat Katolik memperingati Rabu Abu.
Nyepi berasal dari kata sepi. Momentum bagi manusia untuk melakukan perenungan diri. Selama Nyepi, umat Hindu melakukan catur brata penyepian atau renungan selama 24 jam untuk mengevaluasi diri dengan suasana hening. Mereka melakukan amati geni atau tidak menyalakan api, amati karya atau tidak bekerja, amati lelungan atau tidak bepergian, dan amati lelanguan atau tidak bersenang-senang.
Baca juga: Nyepi dan Kompleksitas Manusia
Nyepi merupakan jalan spiritual untuk mengendalikan diri terhadap beragam godaan duniawi dan rayuan kenikmatan fana, Umat Hindu memusatkan diri pada Tuhan sebagai titian menyucikan diri dan memurnikan kembali relasi antara Buana Alit (manusia) dengan Buana Agung (alam dan seluruh isinya).
Rabu Abu menandai dimulainya retret agung masa tobat (Prapaskah) yang berlangsung selama 40 hari. Angka 40 mengingatkan umat Katolik akan perjalanan bangsa Israel di padang gurun selama 40 tahun dan puasa Yesus selama 40 hari.
Pada Rabu Abu, pastor atau imam akan menggoreskan abu pada dahi umat sebagai tanda kerapuhan manusia yang mudah jatuh dalam kelemahan dosa sekaligus tanda pertobatan. Abu yang dioleskan di dahi bertujuan membantu umat untuk mengenali kembali ke area spiritual. Dahi dan kepala adalah tempat pikiran dan akal budi bekerja.
Abu yang digunakan tersebut terbuat dari hasil pembakaran daun palma yang sudah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya. Dalam tradisi umat Katolik, daun palma mengandung makna kemenangan. Maka masa tobat selama 40 hari itu mesti menjadi momen kemenangan pengendalian diri sehingga hidup berjalan dengan murni dan tulus.
Menyegarkan kesalehan sosial
Nyepi dan Rabu Abu menghadirkan makna yang melampaui sekat kedua agama besar itu. Umat Hindu dan Katolik tidak sekadar mengejar kesalehan privat: terpusat pada diri dan agamanya, tetapi mesti keluar dari kungkungan ekslusivitas agama dan menjelma menjadi sebuah kesalehan sosial: hidup yang dipersembahkan bagi bangsa dan dunia.
Inspirasi peringatan Nyepi dan Rabu Abu mesti menghadirkan semangat baru untuk berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan sosial yang lebih bermartabat kemanusiaan. Agama harus menjadi inspirasi kemanusiaan universal sebagai tolok ukur konkret dari penghayatan hidup keagamaan. Praktik hidup nyata melalui tindakan kasih tanpa pamrih, betapa pun kecil dan sederhana, di tengah bangsa dan dunia yang dilanda perang, ketidakpastian, disrupsi, dan aneka tantangan lain merupakan kabar gembira yang menuntut semua orang agar tetap berjalan dalam terang menuju sebuah kehidupan yang lebih baik dan benar.
Inspirasi peringatan Nyepi dan Rabu Abu mesti menghadirkan semangat baru untuk berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan sosial yang lebih bermartabat kemanusiaan.
Nilai kasih dan kemanusiaan yang kita mulai dari keluarga, tetangga sekitar, dan lingkungan yang lebih luas sesungguhnya menjadi penanda nyata bahwa orang tidak pernah boleh kehilangan harapan dan keyakinan. Kita tetap setia hadir untuk menyegarkan kehidupan mereka yang boleh jadi mulai layu dan kering diempas badai zaman yang keras dan kasar.
Nilai kemanusiaan universal berbasis iman inilah yang dihidupi tiga tokoh bangsa, yaitu Ibu Gedong Bagoes Oka, Romo Mangunwijaya, dan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid). Ketiga tokoh ini sering bertemu di kantor Interfidei dan berbicara tentang soal rekonsiliasi atau sekadar bercanda tentang perilaku para elite politik pada masa itu.
Pada akhir pembicaraan, ketika sudah saling berpisah, Ibu Gedong selalu berkata, ”Di sinilah relevansi pemikiran Mahatma Gandhi. Dengan kekuatan spiritual orang seperti Gandhi, ia berjalan dengan keyakinan yang tak pernah bisa dikalahkan oleh kekuatan yang merusak kemanusiaan. Berapa besarnya kekuatan antikemanusiaan itu. Ia tetap bisa ditundukkan.”
Bagi Ibu Gedong, perdamaian dan Gandhi tak pernah bisa dipisahkan. Dan, langkah yang ia jalani adalah dengan mengelola Ashram Gandhi, baik di Bali maupun di tempat lain, untuk mengasuh dan mendidik generasi muda agar menyadari panggilan mereka mencipta perdamaian.
Baginya, perbedaan agama tidak pernah menjadi alasan untuk menghargai dan menghormati integritas kemanusiaan masing-masing. Ia percaya bahwa iman dan perbuatan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Beragama yang sebenarnya adalah berbuat baik dengan sebenarnya. Dialog dan diapractice adalah satu. Berbicara dan berkomunikasi dan bekerja sama untuk berbuat baik adalah satu. Dan, itu merupakan esensi agama yang sesungguhnya (Sumartana: 2014).
Baca juga: Ketuhanan dan Kemanusiaan yang Beradab
Romo Mangunwijaya meninggalkan kenyamanan hidup di pastoran dan hadir di tengah kaum miskin Kali Code sebagai saksi dan pembela kemanusiaan di tengah hiruk pikuk individualisme. Karya-karyanya dalam bentuk buku dan artikel yang tersebar luas merefleksikan hakikat manusia di bidang sosial, politik, agama, dan budaya. Perjuangan kemanusiaan ia realisasikan melalui pengabdian nyata kepada kum tersisih.
Walau ia seorang pastor Katolik, pengabdiannya tidak terbelenggu pandangan keagamaan formal-primordialistik. Ia memperbaiki rumah dan tempat tinggal orang-orang miskin di pinggiran kota Yogyakarta tanpa peduli apa agamanya. Bahkan Romo Mangun mengubah lokasi terbuang itu menjadi area yang indah dan menakjubkan. Keterlibatannya tidak sebatas aspek fisik, tetapi menyentuh unsur vital yaitu pemberdayaan (empowering) sumber daya manusia. Warga juga diajak membaca buku-buku yang ia sediakan untuk mengasah kepekaan nurani kemanusiaan (Kompas, 7 Mei 1998).
Citra kemanusiaan sejati
Apa yang menggerakkan Ibu Gedong Bagoes Oka dan Romo Mangun melibatkan diri dalam ruang hidup sosial kemanusiaan? Agama telah membentuk mereka menjadi manusia beriman yang mengedepankan hati nurani sebagai hakikat dan citra kemanusiaan sejati. Kata kuncinya adalah religiositas: sesuatu yang lebih melihat aspek ”di dalam lubuk hati” riak getaran nurani pribadi, sikap personal yang rahasia, yaitu cita rasa yang menapaskan intimitas jiwa dan mencakup totalitas rasio dan kemanusiaan. Religiositas mengatasi bahkan lebih dalam dari agama yang tampak, formal dan resmi (Kanisius: 1998).
Kedalaman iman telah membuat mereka menjadi ”Burung-Burung Manyar” yang tidak terkungkung dalam dinding agama yang formalistik dan ritualistik tetap menjelma menjadi ”Burung-Burung Rantau” yang menyegarkan ruang-ruang kehidupan sosial di Republik ini yang pengap oleh berbagai perilaku orang-orang beragama yang selalu menebar teror, kekerasan, dan radikalisme. Praktik hidup keagamaan Gedong Bagoes Oka dan Romo Mangun menginspirasi kehidupan bersama kita. Keberagaman hanya akan menjadi sebuah keindahan yang menakjubkan ketika kita mengenakan kemanusiaan sejati sebagai zat perekat kebersamaan sosial kita. Kemanusiaanlah yang menjadi identitas bahwa kita adalah orang beriman, bukan sekadar orang beragama.
Keberagaman hanya akan menjadi sebuah keindahan yang menakjubkan ketika kita mengenakan kemanusiaan sejati sebagai zat perekat kebersamaan sosial kita.
Peringatan dua hari raya keagamaan tahun 2022 ini menjadi inspirasi untuk merajut hidup keagamaan dalam jejaring kemanusiaan sejati. Nyepi dan Rabu Abu mesti menginspirasi kita untuk bergerak keluar dari kungkungan agama eksklusif yang bisa “memisahkan” menuju religiositas yang inklusif dan berpotensi mempersatukan. Kita mesti melangkah dari to have religion (beragama) menuju being religious (beriman). Hal inilah yang mesti diapresiasi dan diperjuangkan dalam kehidupan bersama sebagai sebuah dialog hati tanpa henti.
Jalan spiritual inilah yang membentuk kita menjadi manusia baru yang penuh cinta kasih di tengah egoisme, penuh harapan di tengah tantangan zaman, penuh kepercayaan di tengah kebohongan, suka menolong di tengah badai individualisme dan hidup damai di tengah permusuhan dan perang.
Baca juga: Substansi Agama
Ketika kita mendengar ledakan bom di Ukraina dan menyaksikan kemanusiaan terkoyak, kita menjadi sadar betapa kedaluwarsanya pikiran orang-orang itu. Kekerasan tidak sekadar sebentuk kebodohan zaman purba tetapi juga kebiadaban zaman modern.
Semoga doa-doa umat Hindu dan Katolik menjadi momen puasa kekerasan, baik di negeri ini maupun di seluruh dunia. Doa-doa yang murni dari hati ribuan orang beriman akan mengubah kekerasan menjadi dialog kemanusiaan. Mengutip Paus Fransiskus, “Semoga kepentingan partisan tidak mengancam perdamaian semua orang.”
Steph Tupeng Witin, Rohaniwan Katolik