Pemerataan untuk Tumbuh Bersama
Hasil capaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak serta-merta merapatkan jurang kaya miskin sebagaimana cita-cita ideologis Pancasila. Sejak Orba pertumbuhan tinggi malah melanggengkan strutur ekonomi oligopolistis.
Pemerintah lewat Bappenas sedang menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang 20 tahun menuju Indonesia 2045. Momentum ini kiranya perlu dimanfaatkan semua komponen bangsa untuk ikut urun rembuk merancang dan menetapkan arah dan visi besar pembangunan jangka panjang ke depan. Arah dan visi besar itu harus didasarkan pada evaluasi fundamental tentang capaian pembangunan sejauh ini di atas landasan ideologis Pancasila. Harus ada keberanian untuk menilai sejauh mana telah terwujud cita-cita besar, khususnya tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Harus diakui, arah dan visi besar pembangunan Indonesia sejauh ini, khususnya di bidang ekonomi, lebih dikendalikan ideologi developmentalisme kapitalisme. Sebuah ideologi yang dicangkokkan secara pragmatis dengan cita-cita besar mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi mungkin.
Segala kebijakan pragmatis telah dirancang untuk mewujudkan mimpi besar tersebut, yang harus diakui memang tercapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun, dengan harga yang sangat mahal, dalam wujud beban disparitas sosial-ekonomi-politik yang sangat mengganggu rasa persatuan dan kesatuan sebagai bangsa dan mengusik harkat dan martabat sebagian besar rakyat.
Hasil capaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak serta-merta merapatkan jurang kaya miskin sebagaimana cita-cita ideologis Pancasila.
Hasil capaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak serta-merta merapatkan jurang kaya miskin sebagaimana cita-cita ideologis Pancasila. Sebaliknya, sejak Orde Baru—bahkan residunya masih tersisa hingga pemerintahan sekarang—pertumbuhan tinggi malah melanggengkan struktur ekonomi nasional yang sangat oligopolistis timpang.
Lebih dari itu, justru meninggalkan beban bersama berupa kerusakan dan kehancuran lingkungan hidup dan pengurasan sumber daya alam (SDA) yang parah tidak terkendali.
Pertumbuhan ekonomi tinggi dibayar sangat mahal dengan berbagai bencana lingkungan yang justru menggerus pembiayaan negara dalam berbagai bentuk, seperti ongkos kesehatan bagi masyarakat dan penanggulangan bencana lingkungan hidup yang mahal, termasuk karena dampak perubahan iklim.
Baca juga Tabel Ekonomi Sumber Daya Alam
PNSB
Sejak Orde Baru, kita dininabobokan oleh sebuah mimpi untuk menarik investasi asing besar-besaran untuk mengeruk SDA dengan sebuah visi memperbesar kue pembangunan nasional, dan setelah besar diharapkan akan tepercik menetes ke bawah bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, realitas menunjukkan kita semua teperdaya dalam ideologi yang salah arah dan tidak sejalan dengan cita-cita Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, Indonesia sesungguhnya sudah merancang apa yang dikenal umum sebagai Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB). Sebuah rancangan pola pembangunan semesta dan menyeluruh yang berorientasi pada perwujudan sosialisme ala Indonesia, yaitu perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Arah dan visi besar inilah yang menuntun seluruh pelaksanaan pembangunan dalam model demokrasi terpimpin. Sebuah demokrasi yang bukan liberal bebas tanpa batas, tetapi dipimpin, dibimbing, dan diarahkan oleh visi pemerataan pembangunan.
Kiranya momentum perumusan RPJP 20 tahun menuju Indonesia 2045 kita manfaatkan untuk melakukan reorientasi visi pembangunan Indonesia, kembali pada cita-cita ideologi Pancasila mewujudkan keadilan sosial, pemerataan ekonomi untuk tumbuh bersama secara berkelanjutan (ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial budaya).
Caranya, bukan dengan memperbesar kue pembangunan nasional yang terpusat pada segelintir pelaku ekonomi yang menguasai sebagian terbesar aset nasional tanpa sungguh-sungguh menetes ke bawah. Caranya justru diputar secara revolusioner: memberi kesempatan yang luas kepada semua pihak untuk membuat sebanyak mungkin kue di seluruh pelosok Nusantara oleh sebanyak mungkin rakyat Indonesia dan dengan demikian semua tumbuh bersama secara adil dan makmur. Pemerataan bukan menunggu di ujung akhir pembangunan, melainkan dibuka sejak awal proses pembangunan.
Kualitas SDM
Dengan visi besar tersebut, sejak sekarang sudah dirancang dalam RPJP bahwa prioritas pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia (SDM). Tidak ada gunanya Indonesia kaya akan SDA kalau hanya menjadi kutukan dan rakyat Indonesia sekadar menjadi kuli dan penonton menunggu remah-remah nasional setelah dinikmati para oligarki ekonomi nasional.
Dengan fokus pada pembangunan manusia, seluruh program pembangunan nasional 20 tahun ke depan harus dijabarkan untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas SDM nasional. Program peningkatan mutu pendidikan formal dari dalam semua jenjang pendidikan, beasiswa, vokasi, pemberdayaan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UMKM-Kop) berupa pelatihan dan pendampingan, akses modal, dukungan teknologi tepat guna, akses pasar, serta legalitas jaminan aset produktif berupa lahan dan alat produksi harus diprioritaskan.
Dengan fokus pada pembangunan manusia, seluruh program pembangunan nasional 20 tahun ke depan harus dijabarkan untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas SDM nasional.
Kemitraan UMKM-Kop dengan korporasi besar harus diwajibkan dengan dukungan undang-undang (UU). Kewajiban penyerapan produk UMKM-Kop dalam belanja publik oleh pemerintah dan pemerintah daerah serta BUMN dan swasta harus diikat UU.
Tentu dengan kewajiban pemerintah daerah, universitas, lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai kelompok masyarakat mendampingi produk-produk rakyat agar memenuhi kualitas, volume, kontinuitas pasokan, dan on time delivery agar memenuhi standar dan ketentuan pembeli dalam menjaga ritme kebutuhan dan proses produksinya.
Dengan ini, sekaligus mau dikatakan bahwa tanpa membatasi peran korporasi besar, negara—melalui pewajiban lewat UU—harus memperbesar dan memberdayakan UMKM-Kop. UMKM-Kop adalah kekuatan riil dan menjadi tiang utama perwujudan visi besar dan politik pemerataan untuk tumbuh bersama. Sekaligus menjadi tiang penopang ekonomi nasional saat krisis. Ini tidak bisa hanya dibiarkan kepada pasar.
Baca juga Pertumbuhan yang Ramah dan Hijau
Negara harus berpihak dan bertindak menguatkan UMKM-Kop untuk tumbuh menjadi besar setara dengan korporasi besar. Mereka tak bisa dibiarkan bersaing sendiri dengan korporasi besar atau malah negara lebih memihak dan melindungi korporasi besar.
Dalam konteks yang sama, peningkatan riset dan inovasi yang dikuasai tenaga-tenaga profesional nasional harus pula menjadi prioritas. Alih teknologi dan penguasaan teknologi mulai dari teknologi tepat guna untuk proses produksi sampai teknologi digital serta teknologi maju di bidang bioteknologi dan material, termasuk teknologi untuk proses nilai tambah bahan baku SDA harus pula menjadi prioritas.
Demikian pula, riset, inovasi, dan penguasaan teknologi di bidang pemenuhan kebutuhan pokok, seperti pangan, energi, dan medis, harus diprioritaskan dan dikuasai tenaga profesional dalam negeri. Dengan cara itu pula, kewajiban tingkat kandungan lokal belanja publik dapat dipenuhi karena teknologi barang modal sudah dikuasai dan dikembangkan tenaga profesional dalam negeri.
Untuk itu, anggaran belanja untuk riset dan inovasi ditingkatkan berlipat- lipat dan dimanfaatkan efektif taat asas. Intinya, seluruh rancangan pembangunan nasional difokuskan pada prioritas pembangunan SDM secara masif, terstruktur, dan sistematis untuk memungkinkan pemerataan level playing field bagi seluruh SDM produktif nasional.
Hanya dengan peningkatan level playing field ini, semua tenaga produktif nasional, dengan visi keberpihakan pemerintah yang kuat, bisa merengkuh semua kesempatan dan peluang pembangunan yang ada sejak awal proses pembangunan untuk pemerataan ekonomi demi peningkatan kesejahteraannya dan dengan demikian tumbuh bersama.
Hilirisasi SDA
Dengan visi besar di atas serta dengan dukungan kualitas dan produktivitas tenaga profesional dalam negeri, negara harus mewajibkan pengelolaan SDA secara berdaulat. Tanpa harus menutup pintu bagi investasi asing, investasi dalam negeri, penyerapan tenaga kerja lokal, pemanfaatan teknologi dalam negeri yang diperkuat riset dan inovasi nasional harus menjadi prioritas dalam pengelolaan SDA dari hulu sampai hilir dalam proses nilai tambah untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat Indonesia secara adil.
Hilirisasi itu menjangkau segenap SDA strategis, baik di sektor pertambangan, perkebunan, pertanian, maupun perikanan laut dan darat.
Hilirisasi itu menjangkau segenap SDA strategis, baik di sektor pertambangan, perkebunan, pertanian, maupun perikanan laut dan darat. Kita punya potensi SDA sangat kaya, tetapi itu harus diolah dengan kekuatan produktif dalam negeri untuk meningkatkan nilai tambahnya sambil membuka peluang ekonomi bagi rakyat Indonesia untuk mewujudkan visi besar pemerataan untuk tumbuh bersama. Banyak sekali hasil tambang, termasuk batubara, yang harus diproses nilai tambahnya dalam negeri.
Juga hasil-hasil perkebunan: kopi, karet, sawit, kelapa, cokelat, tebu, dan sebagainya. Banyak sekali hasil laut yang membutuhkan dibangunnya industri perikanan dan kelautan untuk diproses nilai tambahnya baru dijual dengan nilai jual yang berlipat-lipat dan peluang kesempatan kerja dan usaha yang luas bagi tenaga kerja lokal.
Semua itu hanya mungkin dengan politik keberpihakan negara di atas landasan ideologis pemerataan untuk tumbuh bersama.
Untuk itu pula, program distribusi lahan dan reforma agraria harus dieksekusi secara konsisten dan sistematis. Konsentrasi konsesi lahan perkebunan dan pertambangan pada segelintir kelompok harus diredistribusi dengan program kemitraan dan dukungan kredit murah oleh perbankan nasional.
Baca juga Tantangan Pemerataan Pembangunan Ekonomi
Jasa pengelolaan SDA dalam seluruh proses rantai produksi dan distribusi harus bisa dibuka seluas mungkin bagi UMKM-Kop yang telah diberdayakan pemerintah dan berbagai kelompok masyarakat, termasuk organisasi sosial keagamaan.
Jika visi besar pemerataan untuk tumbuh bersama ini diwujudkan secara konsisten dalam 20 tahun ke depan dan seterusnya, tidak hanya terjadi perubahan struktur ekonomi nasional.
Lebih dari itu, dengan terwujudnya pemerataan ekonomi, terusiknya rasa keadilan yang merongrong dan menjadi sumbu ledakan konflik sosial dapat diminimalkan. Benih-benih perpecahan dan konflik sosial dengan isu primordialisme agama dan suku hanya akan tumbuh subur ketika struktur ekonomi nasional masih saja oligopolistis sebagaimana dirasakan dan dialami hingga sekarang. Pemerataan untuk tumbuh bersama akan meredam peluang konflik sosial dan sebaliknya akan ikut merekatkan perasaan sebagai sebuah bangsa: senasib dan sepenanggungan.
A Sonny Keraf, Staf Pengajar Unika Atma Jaya Jakarta