Pendidikan Multikultural untuk Merawat Keberagaman Budaya
Pendidikan multikultural membentuk pribadi manusia berbudaya agar para murid dapat lebih berkembang dan maju sesuai dengan tujuan yang diharapkan, tanpa tercerabut dari akar budaya mereka.
Oleh
ODEMUS BEI WITONO
·6 menit baca
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, banyak dicemaskan oleh berbagai pihak terkait dengan hilangnya pengaruh budaya lokal terhadap kultur dominan sekolah di kalangan anak dan remaja, khususnya bagi para murid di tingkat dasar dan menengah. Salah satu contoh, penggunaan bahasa daerah. Kendati bahasa Sunda masuk dalam kategori aman, dalam kenyataan masih banyak anak atau remaja di kota-kota besar Jawa Barat kurang memahami bahasa ibu mereka tersebut secara lengkap, demikian juga bahasa Jawa di Jawa Tengah, dan bahasa daerah lain di berbagai tempat di Indonesia.
Pada 21 Februari 2019, UNESCO (Kompas.com 22/12/2021), merilis berita bahwa 2.500 bahasa di dunia terancam punah, termasuk lebih dari 100 bahasa di Indonesia. Menurut Kepala Badan Bahasa Kemendikbudristek Dadang Sunendar (Kompas.com 21/2/2020), berdasarkan kajian bahasa selama tahun 2011-2019, terdapat 11 bahasa daerah yang dinyatakan punah. Keadaan yang demikian sungguh memprihatinkan, dan perlu diperbaiki, khususnya melalui media pendidikan di sekolah-sekolah yang berada di daerah penutur bahasa setempat.
Mundurnya aspek budaya lokal, salah satu penyebabnya karena pengabaian aspek kultural di dalam literasi sekolah. Konsentrasi pendidikan umumnya terjebak pada logika teknologis yang bercirikan kesuksesan dalam modernisme semata. Kecepatan teknologi berkembang pesat, membuat sebagian para murid cenderung berpikir pragmatis dan berupaya menjawab aneka persoalan melalui jalan pintas, yaitu media daring (online)virtual.
Kecanggihan teknologi virtual tampak lebih dipercaya untuk memuaskan dahaga para murid dalam mencari jawab atas persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Padahal, secara esensial pendidikan bukan berbicara masalah kecepatan akses dan menemukan jawab atas segala pertanyaan secara cemerlang. Pendidikan juga bukan mesin produksi penghasil profil alumni untuk menjawab kebutuhan pasar.
Para murid adalah insan merdeka yang belajar berpikir untuk menganalisis, merumuskan, dan mengaktualisasikan ke dalam kehidupan mereka berdasarkan latar keragaman budaya luhur yang mereka miliki. Ki Hajar Dewantara mendorong para pendidik untuk meneruskan pemeliharaan kebudayaan lama yang bernilai dan bermanfaat bagi hidup perikemanusiaan dengan memperhatikan perubahan dan perbaikan ke depan sesuai tuntutan zaman.
Dalam situasi Indonesia yang plural dibutuhkan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural sebagai bagian integral kehidupan, secara etimologis, terdiri dari dua istilah. Pertama, kata pendidikan yang berasal dari bahasa Latin, yaitu ducare, yang berarti ”menuntun, mengarahkan, atau memimpin” dan awalan ”e”, yang mengandung arti ”keluar”. Kedua, multikultural berasal dari kata multi yang berarti ”banyak”, dan kultural berasal dari bahasa Latin cultura, yang berarti ”budidaya, budaya”.
Jadi, pendidikan multikultural berarti kegiatan ”menuntun keluar” agar manusia dapat bertumbuh dan berkembang dalam bernalar, berpikir logis, dan mampu memaknai pengetahuan yang dimiliki untuk kemajuan diri dan sesama dengan tetap memperhatikan aspek keragaman budaya yang dimiliki para murid. Berdasarkan makna etimologis, tampak jelas bahwa pendidikan multikultural terkait langsung dengan formasi jiwa/pikiran, membentuk pribadi manusia berbudaya agar para murid dapat lebih berkembang dan maju sesuai dengan tujuan yang diharapkan tanpa tercerabut dari akar budaya mereka.
Dalam situasi Indonesia yang plural dibutuhkan pendidikan multikultural.
Dalam pendidikan multikultural, proses asimilasi kebudayaan sulit dihindari oleh anggota komunitas pendidikan. Asimilasi (dalam britannica.com) didefinisikan secara antropologis dan sosiologis, sebagai proses individu atau kelompok dari warisan etnis yang berbeda diserap ke dalam budaya dominan suatu masyarakat. Proses asimilasi kebudayaan, jika tidak hati-hati, dapat berdampak pada kehilangan ciri khas budaya lokal, termasuk mundurnya penggunaan bahasa daerah.
Dalam proses asimilasi yang tidak sehat, generasi muda cenderung secara kultural meninggalkan budaya mereka yang dianggap ”lama” dan kemudian mengikuti budaya baru yang sedang berkembang. Pengaruh budaya lokal dalam proses asimilasi yang demikian akan memudar, khususnya terhadap kaum muda di kalangan pelajar. Para pendidik di tingkat dasar dan menengah perlu menggunakan strategi yang pas, sesuai dengan perkembangan kultural peserta didik melalui proses asimilasi yang sehat tanpa memudarkan budaya yang dimiliki.
Para murid perlu disadarkan betapa pentingnya merawat kebudayaan luhur dan kearifan daerah di samping mempelajari budaya nasional dan global. Oleh karena itu, para guru memerlukan instrumen pedagogis yang dapat memperhatikan keberagaman etnik di sekolah.
Ada satu istilah pedagogis yang terkait hal tersebut, yaitu etnopedagogi. Menurut Gül (2021), etnopedagogi merupakan disiplin ilmu yang mensistematisasikan, menganalisis, dan menggeneralisasi pendidikan pengalaman kelompok etnis tertentu dan tradisi pedagogis mereka ke bidang pendidikan dan pelatihan. Etnopedagogi memiliki ciri khas, yaitu penyampaian pengalaman pendidikan etnis kepada generasi mendatang melalui kegiatan yang memfasilitasi pembentukan kepribadian dalam segi sosial budaya, pelestarian, dan reproduksi suku bangsa dapat terus berlangsung.
Gül dalam analisis, setiap individu yang memperoleh kompetensi etnopedagogis dapat mentolerir perbedaan pola perilaku milik berbagai budaya yang berbeda. Gül berpendapat bahwa guru atau pendidik perlu mempunyai kompetensi etnopedagogis untuk membantu proses adaptasi sosial murid dalam bidang pendidikan multikultural yang terjadi dalam lingkungan sekolah dan di masyarakat tempat mereka tinggal.
Dalam etnopedagogi, pembelajaran yang dibuat berorientasi pada penanaman nilai luhur kearifan lokal yang berasal dari budaya setempat. Dalam ruang kultural, para pendidik dapat melakukan strategi pembelajaran yang tepat agar mampu menarik minat para murid untuk memahami dan menerapkan hal-hal baik yang diwariskan secara tradisional dalam kehidupan mereka.
Menurut Robert M Hutchins (dalam Small, 1946), pendidikan dalam sekolah bukan mengajarkan fakta, teori, atau hukum kepada para murid; tetapi untuk mereformasi mereka, atau menjadikan mereka teknisi ahli di bidang apa pun. Dalam pendidikan, para guru di sekolah, melalui pendekatan etnopedagogis, seharusnya mendampingi dan melatih para murid berpikir jernih dan mengembangkan potensi diri mereka berdasarkan nilai-nilai religiositas dan kearifan kultural.
Para murid didorong dan dilatih menggunakan nalar mereka sesuai jenjang pendidikan mereka. Tahapan berpikir dalam setiap mata pelajaran per jenjang disesuaikan dengan usia, bakat, potensi, dan latar belakang budaya luhur yang mereka miliki. Dengan demikian, mereka dapat bertumbuh menjadi pribadi yang unggul dalam berbagai aspek kecerdasan, mempunyai nurani yang jernih, dan peduli terhadap sesama tanpa melupakan akar budaya yang mereka miliki.
Para guru selain memberikan pengajaran yang dapat merangsang kemampuan kognitif para murid, juga perlu memperhatikan realitas dan latar belakang kebudayaan mereka.
Sebagai catatan akhir, penulis menyimpulkan pentingnya pendidikan multikultural sebagai bagian integral kehidupan. Para guru selain memberikan pengajaran yang dapat merangsang kemampuan kognitif para murid, juga perlu memperhatikan realitas dan latar belakang kebudayaan mereka. Mereka perlu didampingi secara komprehensif mulai dari literasi, numerasi, ilmu pengetahuan, hingga aspek-aspek budaya yang mereka hidupi.
Keberagaman budaya di sekolah perlu dirawat oleh para pendidik dan peserta didik. Dengan demikian, salah satu unsur penting dalam profil pelajar Pancasila, yaitu kebinekaan global sebagai sesuatu yang esensial dalam pembentukan karakter para murid dapat dilakukan. Dalam kebinekaan global diakui dan dihargai adanya keragaman budaya, komunikasi inter-kultural di antara para murid, refleksi dan tanggung jawab terhadap pengalaman multikultural. Semoga kebinekaan global dengan memperhatikan akar budaya daerah dan nasional dapat dikembangkan dalam tradisi sekolah di Indonesia yang mempunyai keragaman kultural.
Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan