Ketahanan pangan dan hak atas pangan harus tetap menjadi prioritas utama dalam desain kebijakan ”biofuel”. Pemerintah jangan melupakan prinsip bahwa ”biofuel” tidak boleh membahayakan ketahanan pangan.
Oleh
TOTO SUBANDRIYO
·7 menit baca
Heryunanto
Semua negara di dunia, termasuk Indonesia, saat ini tengah dihadapkan pada krisis energi bersumber dari fosil. Menurut catatan Trading Economic, hingga Jumat (4/3/2022), harga beberapa komoditas energi, seperti minyak mentah, gas alam, dan batubara, masih bertahan tinggi. Harga minyak mentah jenis Brent mencapai 112 dollar AS per barel, gas alam 4,8 dollar AS per MMBTU (million british thermal unit), dan batubara 400 dollar AS per ton. Selain permintaan dunia yang memang tinggi, konflik bersenjata Rusia-Ukraina juga menjadi penyebab tingginya harga komoditas tersebut.
Krisis energi fosil telah memicu beberapa negara produsen pangan utama dunia untuk memproduksi bahan bakar nabati (biofuel) secara besar-besaran. Kondisi ini pernah menjadi bahasan utama pada pertemuan High Level Panel of Experts on Food Security and Nutrition of the Committee on World Food Securityyang diselenggarakan di Roma pada 2013.
Dalam waktu kurang dari satu dekade, produksi biofuel dunia telah meningkat lima kali lipat. Dari sekitar 20 miliar liter per tahun pada 2001 menjadi lebih dari 100 miliar liter per tahun pada 2011. Peningkatan produksi biofuel paling tajam terjadi pada 2007/2008, bersamaan dengan kenaikan tajam harga komoditas pangan persis, seperti fenomena yang sedang terjadi sekarang ini.
Meroketnya harga minyak mentah dunia telah mengguncang geo-ekonomi dunia. Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, melipatgandakan anggaran riset untuk memproduksi biofuel sebagai pengganti minyak bumi. Saat menyampaikan pidato tahunan State of the Union di depan Kongres tahun 2006, Presiden George W Bush mengatakan bahwa AS perlu mengurangi ketergantungannya pada minyak impor dari Timur Tengah sampai 75 persen pada 2025. Untuk itu, Bush telah mengalokasikan 22 persen dana lebih banyak untuk riset energi ramah lingkungan. Kondisi ini membuat konsumsi jagung di AS dalam satu dekade meningkat dari 40 juta ton pada 2006 menjadi 115 juta ton pada 2016.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Perbandingan biodiesel B30 (kanan) dengan B20, B0 (solar), dan B100 (bahan bakar nabati murni).
Diskursus
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) belum lama ini melaporkan konsumsi biofuel global sepanjang 2020 mencapai 1,68 juta barel ekuivalen minyak per hari (BOPD). Produksi biofuel pada 2021 secara global mencapai 48,3 miliar liter. Pada 2030, produksi biofuel tersebut diproyeksikan akan meningkat menjadi 49,9 miliar liter.
Diskursus terkait konversi bahan pangan menjadi biofuel sudah mengemuka sejak lama. Ketika bahan pangan dikonversi menjadi biofuel, dampak langsung pertama yang akan terjadi adalah berkurangnya ketersediaan pangan (food) dan pakan (feed). Implikasi lebih jauh, hukum besi penawaran dan permintaan dalam ilmu ekonomi berlaku. Harga pangan di pasar internasional melonjak tajam.
Ketika bahan pangan dikonversi menjadi biofuel, dampak langsung pertama yang akan terjadi adalah berkurangnya ketersediaan pangan ( food) dan pakan ( feed).
Rilis terbaru Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pada 4 Maret 2022 menyebutkan, Indeks Harga Pangan FAO (FFPI) pada Februari 2022 rata-rata mencapai 140,7 poin. Kenaikan FFPI terbesar terjadi pada sub-indeks harga minyak nabati yang mencapai rata-rata 201,7 poin. Angka ini merupakan rekor tertinggi yang belum pernah terjadi selama ini.
Kenaikan harga terus berlanjut, sebagian besar berasal dari kenaikan harga minyak sawit, kedelai, dan bunga matahari. Imbasnya sangat dirasakan oleh rakyat Indonesia. Sudah beberapa bulan ini pemerintah belum bisa mengatasi kelangkaan minyak goreng di pasaran. Warga masyarakat terpaksa harus mengantre dan berebut untuk bisa membeli minyak goreng. Sungguh sangat ironis, Indonesia sebagai negara produsen kelapa sawit dan eksportir crude palm oil (CPO) terbesar di dunia, tetapi rakyatnya kesulitan untuk membeli minyak goreng.
Saat ini Indonesia merupakan produsen biofuel peringkat ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Brasil. Rata-rata produksi biofuel Indonesia mencapai 126.000 barel ekuivalen minyak per hari. Pemerintah Indonesia melalui Program Mandatori B30 mewajibkan semua bahan bakar diesel di Indonesia memiliki campuran minimal 30 persen biodiesel dan 70 persen solar. Bahkan, pada 2022 ini pemerintah berencana meningkatkan kadar biodiesel menjadi B40.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengungkapkan, produksi CPO pada 2021 mencapai 46,89 juta ton. Angka itu lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2020 yang mencapai 47,03 juta ton. Sebagian besar produksi CPO tersebut diekspor. Nilai ekspor CPO pada 2021 mencapai 35 miliar dollar AS, meningkat 52,8 persen dibandingkan dengan tahun 2020 yang mencapai 22,9 miliar dollar AS.
Jangan melupakan prinsip
Kebijakan ketahanan pangan dan kebijakan biofuel tidak dapat dipisahkan karena saling berinteraksi. Dalam konteks terkini, harga minyak mentah dunia berperan sangat sentral. Melihat tren kenaikan harga minyak mentah dunia yang terus berlanjut, etanol yang diproduksi dari jagung dan tebu akan semakin kompetitif terhadap energi fosil. Secara teori, ini bisa membuka pasar yang hampir tak terbatas di seluruh dunia untuk etanol jagung dan tebu. Di satu sisi, kondisi seperti ini sangat menguntungkan petani jagung dan tebu karena mereka mendapatkan insentif harga jual yang tinggi.
Di sisi lain, ketahanan pangan dan hak atas pangan harus tetap menjadi prioritas utama dalam desain kebijakan biofuel. Pemerintah jangan melupakan prinsip bahwa biofuel tidak boleh membahayakan ketahanan pangan. Oleh karena itu, kebijakan biofuel harus dikelola sehingga akses pangan serta sumber daya yang diperlukan untuk produksi pangan, terutama tanah, keanekaragaman hayati, dan air tidak terganggu.
Terkait dengan gonjang-ganjing minyak goreng, langkah mendesak yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan evaluasi berbagai kebijakan terkait sawit. Di antaranya kebijakan ekspor CPO serta program biofuel melalui Mandatori B30. Kebijakan domestic market obligation (DMO) serta domestic price obligation (DPO) untuk CPO dan produk turunannya juga perlu dikaji ulang. Menurut Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), kebijakan DMO dan DPO ini tidak efektif menstabilkan gejolak harga minyak goreng.
Organisasi ini menilai, sebagian besar eksportir CPO dan produk turunannya masih belum menjalankan aturan DMO dan DPO sesuai dengan amanat peraturan Menteri Perdagangan. Stabilitas pasokan bahan baku minyak goreng domestik belum bisa dipenuhi. Hanya sebagian eksportir yang sungguh-sungguh memenuhi, akibatnya pasokan belum cukup sehingga harga minyak goreng tetap ”mbedhal”.
Terkait dengan gonjang-ganjing minyak goreng, langkah mendesak yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan evaluasi berbagai kebijakan terkait sawit.
Dalam jangka menengah dan jangka panjang, pemerintah perlu mencari alternatif substitusi tanaman penghasil biofuel. Tidak hanya bertumpu pada komoditas pangan yang sangat dibutuhkan masyarakat, seperti kelapa sawit, jagung, dan tebu yang menjadi bahan baku produksi minyak goreng, pakan ternak, dan gula. Negara ini sangat kaya varian komoditas pertanian yang dapat menghasilkan biofuel, seperti jarak pagar (Jatropa curcas L), ubi kayu, dan umbi-umbian lain.
Potensi pengembangan jarak pagar sebagai penghasil biodiesel di Indonesia sangat menjanjikan. Terdapat jutaan hektar lahan yang dapat ditanami jarak pagar dan tersebar di semua provinsi di Indonesia. Komoditas ini sangat menjanjikan karena pada umur enam bulan sudah bisa menghasilkan minyak dengan rendemen minyak dari biji sebesar 20-25 persen, sedangkan dari kernelnya dapat mencapai 50-60 persen.
Sisi positif yang dapat dipetik dari perubahan struktur perdagangan komoditas pertanian dunia saat ini adalah betapa penting posisi komoditas pertanian. Sebagai negara agraris besar, kondisi ini dapat dijadikan sebagai starting point bagi kebangkitan dunia pertanian Indonesia. Pengalaman empiris telah membuktikan, sektor pertanian negeri ini telah terbukti berkali-kali menjadi penyelamat pada masa krisis. Saatnya dunia pertanian yang menjadi sumber hidup bangsa ini digarap lebih serius demi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Namun, perlu juga disadari bahwa perubahan struktur perdagangan dunia tersebut juga akan berdampak serius terhadap ketahanan pangan nasional kita. Selama ini orientasi kebijakan pembangunan pertanian nasional belum menjadikan negeri ini berdaulat di bidang pangan. Pemenuhan kebutuhan bahan pangan masih disandarkan pada impor. Saat ini Indonesia masih tercatat sebagai negara importir utama beberapa komoditas pangan, mulai dari kedelai, gula, gandum, bawang putih, hingga garam.
Tanpa antisipasi dan reorientasi kebijakan pembangunan pertanian yang lebih menitikberatkan pada upaya pemenuhan kebutuhan pangan produksi negeri sendiri, boleh jadi negeri ini akan menjadi korban dari perubahan geoekonomi dunia. Kita tentu tidak ingin tergilas oleh krisis energi yang tengah membelit negara-negara di dunia. Saatnya negara dan bangsa ini kembali kepada jati diri dan kekuatan utamanya sebagai negara agraris.
Toto Subandriyo, Pengamat Sosial Ekomoni Pertanian Lulusan IPB; Bergiat di Lembaga Pengkajian Pertanian, Pangan, dan Lingkungan (LP3L)