Hak Sonik dan Bebunyian yang Menganggu
Ketakutan akan dianggap aneh dan dihujat, membuat orang Indonesia menahan keluhan dan aduan atas bebunyian yang mengganggu. Padahal selain berhak menghasilkan bunyi, kita berhak bebas dari bunyi yang tak diinginkan.
Ilustrasi
Beberapa hari ini media massa dan media sosial diwarnai topik terkait Surat Edaran Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2022 yang memuat ketentuan “volume pengeras suara (rumah ibadah) diatur sesuai dengan kebutuhan, dan paling besar 100 dB”. Pro-kontra menyeruak, sebagian merasa angkanya sesuai, sebagian terlalu keras atau pelan.
Secara akustika, angka 100 dB ini ambigu. Satuan dB yang B-nya diambil dari Alexander Graham Bell, adalah unit logaritmik yang merupakan rasio antara dua pengukuran, yaitu awal dan akhir. Jadi, sifatnya relatif, salah satu yang mempengaruhi adalah jarak.
Apakah 100 dB diukur persis di depan pelantang atau berjarak 100 meter dari pelantang? Apakah diukur pada ketinggian pelantang atau pada telinga manusia di sekitar tempat ibadah tersebut? Jadi, surat edaran tersebut masih harus dilengkapi dengan petunjuk teknis pelaksanaannya.
Baca juga: Menteri Agama Atur Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala
Membahas hal-hal terkait bunyi secara rinci memang tidak biasa di Indonesia. Jangankan penetapan angka, alat ukur dan prosedur pengukuran pun bisa ditetapkan serampangan.
Contohnya, respon atas keluhan kebisingan bengkel furnitur di area perumahan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pemerintah Kota Surabaya. Keluhan warga melalui kanal aduan pemkot ini mendapat respon seadanya dari DLH, melalui prosedur ukur menyimpang dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 dan petugas ukur yang tidak sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 6 Tahun 2009.
Tindakan ini berujung pada permohonan Fiktif Positif (FP) melalui PTUN yang tidak dikabulkan hakim, dengan pertimbangan pemkot sudah merespon keluhan. Penyimpangan prosedur bukan ranah FP, sehingga dalam salinan putusannya, hakim menuliskan agar digugat dengan cara lain (perdata).
Bagaimana masyarakat teredukasi bahwa kebisingan adalah hal penting terkait kesehatan dan kenyamanan?
Jika DLH yang semestinya menegakkan aturan dan memberi contoh pada masyarakat saja bertindak tidak sesuai aturan, bagaimana masyarakat teredukasi bahwa kebisingan adalah hal penting terkait kesehatan dan kenyamanan? Perlukah sampai membawanya ke ranah perdata?
Kejadian di Surabaya hanyalah contoh bagaimana penanganan aduan gangguan bunyi direspon setengah hati, bahkan aduan lanjutan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga tanpa tindak lanjut berarti. Pantas jika masyarakat apatis mengadukan kebisingan, belum lagi hujatan netizen yang menyakitkan seperti, “kalau mau sepi hidup di kuburan” atau “kalau tidak mau terganggu bunyi tinggal saja di hutan”.
Setiap orang punya hak sonik; istilah yang saya gunakan saat berbicara di banyak acara untuk menyosialisasikan bunyi merupakan bagian kesehatan dan kenyamanan. Hak sonik adalah hak menghasilkan bunyi dan bebas dari bunyi yang tidak diinginkan.
Terminologi ‘tidak diinginkan’ memang bisa subyektif. Oleh karena itu, diperlukan angka obyektif untuk mengatur, sebagaimana dalam SE Menag. Angka ini relatif terhadap jarak, dan belakangan para ahli juga menambahkan relatif terhadap konteks, yang dikenal sebagai metode soundscape.
Pernahkah merasa terganggu oleh tamu lain saat menginap di hotel bintang lima sekalipun? Jamak dijumpai tamu hotel yang menginap secara rombongan membiarkan anak-anaknya berlarian keluar-masuk antar kamar, sambil pintu terbanting berkali-kali. Hal yang jarang dijumpai di Jepang dan bahkan tidak akan pernah dijumpai di Swedia yang semua pintu hotelnya cuma bisa berbunyi “schwuuch” saat dibanting. Di Swedia orang marah tidak bisa membanting pintu, karena desain pintu mengikuti aturan tertentu.
Setiap orang punya hak menimbulkan bunyi, yang membatasinya adalah hak orang lain untuk bebas dari bunyi.
Pernahkah terganggu ketika berada di restoran dan rombongan tamu di meja sebelah ngobrol dan tertawa keras seolah menyewa seluruh area restoran? Pernahkah naik bis, kereta api, atau pesawat dan duduk dekat penumpang yang ngobrol, telepon, atau memutar musik dengan suara keras sepanjang perjalanan? Mereka tidak peduli pada penumpang lain yang ingin beristirahat atau menikmati pemandangan di luar jendela.
Setiap orang punya hak menimbulkan bunyi, yang membatasinya adalah hak orang lain untuk bebas dari bunyi. Di Jepang, musik yang bocor dari earphone saja sudah membuat orang sekitarnya menegok.
Ketakutan akan dianggap aneh dan dihujat, membuat orang Indonesia menahan keluhan dan aduan atas bebunyian yang mengganggu. Penelitian saya bersama 11 rekan dari Medan sampai Kupang menunjukkan bahwa selama 13 tahun sejak 2008 sampai 2021, hanya ada 180 aduan kebisingan yang terdata secara daring (online).
Angka tersebut sangat kecil dibandingkan jumlah dan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, yang sangat potensial menciptakan berbagai kebisingan. Bandingkan dengan London yang pada 2011 mencatat 400.000 aduan atau New York dalam kurun waktu 8 tahun (2011-2018) mencatat hampir 3 juta. Sementara di Singapura, setiap tahun tercatat 70.000 pengaduan.
Baca juga: Menteri Urusan Islam Saudi Pertahankan Kebijakan Pembatasan Mikrofon Masjid
Dalam kasus hukum, sejak 2010-2021 hanya ada 41 kasus kebisingan di Indonesia, dengan 44 persen penggugat kalah di pengadilan. Uniknya lagi, cukup banyak kasus kebisingan berubah dari perdata ke pidana karena pengeluh justru melakukan tindakan pidana untuk menyelesaikan masalahnya.
Di negara maju, kebisingan adalah kasus perdata, yang didukung aturan kebisingan yang senantiasa diperbarui, dorongan bagi warganya agar tidak ragu membuat aduan melalui kanal-kanal pengaduan yang jelas dan respon yang sesuai, bahkan menyediakan pengadilan khusus lingkungan. Apakah rendahnya pengaduan dan gugatan hukum di Indonesia mengindikasikan hak sonik sudah terimplementasi dengan baik? Justru sebaliknya, orang malas mengeluh dan mengadu, karena akan dihujat supaya hidup di kuburan atau di hutan, dan akhirnya kalah di pengadilan.
Christina Eviutami Mediastika, Guru Besar Ilmu Sains Bangunan dan Akustika