"Sejarah" Menagih Janji Menteri
Frase Sejarah Indonesia sebagai muatan wajib hendaknya tertulis jelas di perundangan dalam rencana perubahan UU Sistem Pendidikan Nasional dan PP tentang Standar Nasional Pendidikan.
Mungkinkah membangun karakter bangsa dan mewujudkan manusia Indonesia tanpa kesadaran sejarah? Jika tidak mungkin, maka sejarah perlu diperkuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penguatan yang bisa dilakukan diantaranya melalui pendidikan sejarah.
Selain posisi atau jumlah jam mata pelajaran sejarah di struktur kurikulum serta peningkatan kapasitas guru sejarah, frase sejarah harus tertulis jelas dan diikat dalam perundangan di Indonesia. Karena itu kesadaran memperjuangkan agar frase sejarah dimuat dalam rencana perubahan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai muatan wajib menjadi hal yang penting.
Menagih janji menteri
Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim, ketika ramai wacana penyederhanaan kurikulum yang dianggap merugikan mata pelajaran sejarah, pernah menyampaikan beberapa janji pada 20 September 2020. Pertama, ingin menjadikan sejarah relevan. Kedua, melalui penggunaan media yang menarik. Ketiga, identitas generasi muda nasional hanya bisa dibentuk melalui kolektif memori yang membanggakan dan menginspirasi. Keempat, sejarah adalah tulang punggung dari identitas nasional, tidak mungkin dihilangkan.
Baca juga: Membangun Kesadaran Sejarah
Ironisnya implementasi kebijakan yang diambil masih belum sesuai dengan janji Menteri untuk memperkuat sejarah. Ada beberapa fakta yang mengindikasikan janji Menteri tidak benar-benar ditindaklanjuti secara nyata. Mempertimbangkan karakteristik keindonesiaan dan dalil-dalil kebangsaan Menteri berkewajiban merealisasikan janjinya melalui beberapa cara:
Pertama, memasukkan sejarah dalam struktur kurikulum sebagai kelompok dasar atau wajib. Hal ini sebenarnya sudah diakomodir oleh Menteri dimana sejarah sudah masuk dalam kelompok dasar atau wajib pada struktur Kurikulum Merdeka di SMA Kelas X, XI, XII dan di SMK Kelas X, XI. Namun sejarah di SMA Kelas X posisinya masih bergabung dengan IPS, seharusnya sejarah bisa berdiri sendiri lepas dari IPS dengan pertimbangan sudah menjadi mata pelajaran kelompok dasar atau wajib. Lalu disarankan agar Antropologi bisa masuk dalam IPS agar bisa dipelajari mulai Kelas X, sebab Antropologi dikategorikan sebagai mata pelajaran pilihan di Kelas XI dan XII tetapi tidak diajarkan sama sekali di Kelas X.
Kedua, nama mata pelajaran dalam nomenklatur sebaiknya diganti menjadi Sejarah Indonesia dengan tujuan utama menghasilkan manusia Indonesia yang memiliki pengetahuan, kemampuan berpikir, dan kesadaran sesuai karakteristik Indonesia. Kekhawatiran Sejarah Indonesia hanya akan bersifat dogmatis dan menutup diri dari sejarah dunia bisa diatasi dengan menyusun konstruksi kurikulum Sejarah Indonesia yang mampu mengintegrasikan muatan sejarah lokal dan sejarah dunia dalam lintasan sejarah Indonesia, sehingga sejarah Indonesia bisa tetap menjaga spirit nasional (Indonesia sentris) dengan tetap lentur dan akomodatif pada kearifan lokal serta konstelasi global. Kurikulum Sejarah Indonesia juga perlu mengedepankan hasil riset untuk memperkaya rekonstruksi materi ajar sejarah Indonesia beriringan dengan desain pembelajaran sejarah Indonesia yang mengarahkan pada keterampilan berpikir.
Kurikulum Sejarah Indonesia juga perlu mengedepankan hasil riset untuk memperkaya rekonstruksi materi ajar sejarah Indonesia.
Ketiga, memberikan perhatian khusus kepada guru sejarah agar bisa terus meningkatkan kapasitas dirinya secara profesional dari sisi strategi mengajar, keilmuan, dan penguasaan teknologi (pedagogical content technology knowledge) sehingga pembelajaran sejarah bisa dilaksanakan secara aktif, kolaboratif, kreatif, inovatif, menyenangkan, dan bermakna.
Keempat, menjadikan frase Sejarah Indonesia sebagai muatan wajib yang tertulis jelas di perundangan dalam rencana perubahan UU Sistem Pendidikan Nasional dan PP tentang Standar Nasional Pendidikan. Sebagaimana diketahui frase Sejarah Indonesia tidak ditemukan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP Nomor 4 Tahun 2022 tentang Perubahan PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Hal terakhir ini menjadi kebijakan yang harus segera diambil oleh pemerintah secara yuridis formal jika memang benar sejarah Indonesia diyakini sebagai alat pemersatu bangsa dan tulang punggung dari identitas nasional yang keberadaannya sangat penting dalam menopang sistem pendidikan nasional.
Pertimbangan ideologis
Pertimbangan ideologis sejarah berkaitan dengan kepentingan politik sebuah bangsa atau negara untuk mewariskan memori kolektif dan nilai-nilai luhur antar generasi demi memberikan identitas serta menjaga keutuhan. Sejarah sebagai dasar persatuan sebenarnya sudah dirintis secara kolektif dalam Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928. Hasil kongres menyepakati asas persatuan yang terdiri dari Tanah Air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia.
Lalu, disepakati juga bahwa persatuan Indonesia harus diperkuat dengan memperhatikan dasar persatuannya, yaitu kemauan, sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan dan kepanduan. Mengenai dasar sejarah diungkapkan oleh Mohammad Yamin “sejarah Indonesia memperlihatkan kepada kita bahwa bangsa Indonesia itu satu dasarnya dan satu jalannya.”
Baca juga: Pedagogi Kreatif dan Sejarah Publik
Dalam pembentukan identitas nasional yang mengarahkan pada persatuan, sejarah mempunyai fungsi fundamental. Sejarah merupakan sumber inspirasi dan aspirasi yang berpotensi menumbuhkembangkan tanggung jawab dan kewajiban (sense of pride) sebagai sebuah bangsa.
Sukarno pada pidato 17 Agustus 1966 menyatakan kemajuan yang dimiliki sekarang sebagai sebuah bangsa adalah akumulasi daripada hasil perjuangan di masa lalu. Melupakan hasil perjuangan masa lalu adalah tidak mungkin sebab pencapaian masa lalu merupakan jalan yang kita lalui sekarang dan bekal untuk masa depan, karena itu jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Pada era kekinian sejarah masih relevan sebagai api yang bisa membangkitkan kesadaran identitas dan semangat persatuan dalam bingkai keindonesiaan.
Pada era kekinian sejarah masih relevan sebagai api yang bisa membangkitkan kesadaran identitas dan semangat persatuan dalam bingkai keindonesiaan. Joko Widodo dalam pidato pelantikan sebagai Presiden tahun 2014 mengungkap “sejarah sebagai sebuah tugas yang berat dengan memberikan ujian sebagai bangsa besar agar mewujudkan politik Indonesia berdaulat, ekonomi Indonesia berdikari, dan budaya Indonesia berkepribadian, dimana semua ini hanya bisa dipikul dengan persatuan, gotong royong, serta kerja keras.”
Persatuan Indonesia dibangun bukan dari persamaan suku, ras, atau agama, melainkan persamaan nasib dan hasrat untuk hidup bersama. Pengalaman bermakna yang kita lalui bersama mulai dari asal usul nenek moyang, kerajaan-kerajaan kuno, penjajahan asing, perlawanan bangsa Indonesia, proklamasi, sampai masa sekarang adalah fakta yang hanya bisa dijelaskan melalui sejarah Indonesia. Karena itu sejarah Indonesia bisa dikatakan mengikat dan mempersatukan kita dalam satu identitas kebangsaan. Implikasinya dalam dunia pendidikan, pendidikan sejarah berkedudukan sangat strategis dalam pendidikan nasional sebagai soko guru dalam pembangunan bangsa (Sartono Kartodirdjo, 1993).
Merdeka belajar sejarah
Substansi dari pembelajaran sejarah sesungguhnya bukan sebatas melakukan transfer pengetahuan (transfer of knowledge) atau transfer nilai (transfer of value), melainkan lebih dari itu, yaitu bagaimana agar guru bisa menghadirkan transformasi pengetahuan (transformation of knowledge) dan transformasi nilai (transformation of value) kepada anak didik. Kata transfer (pemindahan) pada dasarnya bersifat pasif dan mengarahkan anak didik hanya sebagai penerima.
Jika kita masih merujuk ungkapan ini, maka bisa jadi benar pandangan sebagian orang yang mengatakan belajar sejarah hanya sebatas lambang pemujaan masa lalu (glory of the past). Kita tidak ingin generasi muda terbelenggu dalam pesona atau menjadi penikmat dari masa lalu, tanpa pernah berpikir untuk merencanakan bangunan masa depannya sendiri. Sejarah harus mengajarkan anak didik keterampilan dalam memilih dan mengambil keputusan (decision maker).
Sebagai pembandingnya, saya teringat salah satu esai yang ditulis Gertrudes Johannes Resink berjudul “Dari Debu Sebuah Penghancuran Citra yang Diagungkan”, di sini Resink mengungkapkan istilah penghancuran patung-patung suci (ikonoklasme). Patung suci oleh Resink dilihat sebagai puja-puji atas narasi masa lalu yang sudah berdiri kokoh sejak lama. Secara positif Resink mengungkapkan ikonoklasme dengan analogi sebuah bangunan yang dihancurkan dan ditemukan puing reruntuhan di dalamnya, dari sanalah kita bisa menemukan citra baru yang lebih kokoh.Terjadinya perubahan secara aktif dan konstruktif, inilah esensi dari transformasi yang dimaksudkan.
Salah satu persoalan pembelajaran sejarah yang kita alami sekarang adalah menjadikan sejarah sebagai benda mati, dengan peristiwa yang statis, dan nilai-nilai yang kering.
Salah satu persoalan pembelajaran sejarah yang kita alami sekarang adalah menjadikan sejarah sebagai benda mati, dengan peristiwa yang statis, dan nilai-nilai yang kering. Sekian lama pendidikan kita dipengaruhi pendekatan pembelajaran dengan menganut teori behavioristik an sich dan berbasis pada guru (teacher centered), yang tidak ubahnya memaksakan doktrin kepada anak didik.
Adalah keliru ketika kita berprasangka bahwa anak didik yang kita ajar laksana kertas kosong yang tidak tau apa-apa. Prasangka ini harus dijernihkan dengan konstruktivis yang melihat bahwasanya anak didik sudah memiliki pengetahuan awal dari dirinya yang terbentuk dari pengalaman sebelumnya. Hanya memang pengetahuan awal itu sebagian ada yang tercecer bahkan terpendam. Di sinilah tugas guru untuk melaksanakan pebelajaran sejarah yang aktif, interaktif, efektif, menyenangkan, dan bermakna sehingga bisa memantik hadirnya “AHA” dalam pikiran, hati, dan tindakan anak didik.
Di sisi lain pembelajaran sejarah juga harus menempatkan guru sebagai tokoh yang arif dan bijaksana. Ia harus bersikap toleran terhadap berbagai perbedaan. Guru sejarah yang humanis adalah pribadi yang mampu tampil sebagai role model kemanusiaan dengan mengedepankan falsafah memanusiakan manusia dalam setiap laku tindakannya.
Baca juga: Urgensi Mata Pelajaran Sejarah
Guru sejarah harus literatif serta menepis pandangan sejarah dogmatis dengan membawanya ke arah perbincangan ilmiah dan konstekstual. Artinya ruang kelas dibuka lebar untuk memfasilitasi ragam pemikiran yang muncul ketika membahas tema-tema sejarah, dengan mengarahkannya kepada cara kerja saintis (sejarawan), menghubungkannya dengan situasi dan kondisi kekinian (kontekstual), bertumpu pada sumber-sumber kredibel, serta mengombinasikannya dengan berbagai model dan media pembelajaran inovatif.
Secara idealis guru sejarah harus berpedoman pada kejernihan moral (obyektif), keterbukaan intelektual (multidimensional), dan keterampilan metodologi (komprehensif). Merdeka belajar sejarah harus benar-benar tumbuh bersemi masuk ke dalam ruang-ruang kelas dan menghadirkan antusiasme belajar sejarah secara positif. Pada akhirnya sejarah kembali meminta Menteri untuk menepati janjinya.
Sumardiansyah Perdana Kusuma, Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia; Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia