"Stablecoin", Era Paradigma Baru "Digital Central Bank Money"
Stablecoin menjadi tantangan tersendiri dalam arsitektur moneter suatu negara. Penyelenggaraan stablecoin di Indonesia saat ini terutama dimanfaatkan untuk mempermudah dalam pembelian aset kripto seperti bitcoin.
Oleh
MIRZA MARA
·4 menit baca
Para penikmat karya fiksi ilmiah pasti semakin sering terkaget-kaget dengan istilah dan hal dalam film atau novel yang semakin banyak terwujud di dunia nyata semisal kripto dan metaverse. Istilah kripto pernah hadir di suatu novel The Great Simolean dari Neal Stephenson yang terbit di 1995, sedangkan Metaverse mulai muncul pada novel Stephenson, Snow Crash, pada 1992 yang pasti menggunakan cryptocurrency (mata uang kripto) dalam transaksinya.
Nilai pasar cryptoasset (aset kripto) seperti bitcoin terus meningkat secara global hingga mencapai tiga kali lipat sejak 2017, yaitu dari 763 miliar dollar AS menjadi 2.234 miliar dollar AS sejalan kebutuhan masyarakat untuk memperoleh yield (imbal hasil) tinggi dalam rezim penurunan suku bunga kebijakan di berbagai negara. Fenomena volatilitas harga bitcoin sudah terlihat yang memang hanya berdasarkan asas supply demand tanpa dilandasi aspek fundamental menyebabkan sejak akhir 2017 harga bitcoin pun melonjak hingga 20.000 dollar AS namun kemudian nilainya merosot tajam menjadi 3.236,76 dollar AS di 2018.
Kehadiran stablecoin yang diinisiasi private sector berupaya men”stabil”kan nilai aset kripto terhadap mata uang jangkar dollar AS atau euro yang meningkat hingga empat kali lipat sepanjang 2021, dan mencapai 120 miliar dollar AS. Jenis-jenis aset kripto yang banyak digunakan antara lain Tether, USD Coin, Binance USD dan DAI yang beragam bentuknya dari cash, commercial paper, maupun bentuk aset kripto lainnya. Aset yang digunakan sebagai dasar penerbitan stablecoin dapat berupa fiat money (uang fiat), komoditas (seperti emas, minyak, real estate dan logam mulia), mata uang kripto, dan tanpa jaminan (algorithm-based).
Stablecoin selanjutnya menjadi tantangan tersendiri dalam arsitektur moneter suatu negara dengan unit of account (satuan hitung) yang berbeda dari mata uang yang berlaku di suatu negara (sovereign currency). Bigtech (Amazon, Google, Facebook) dapat memanfaatkan stablecoin pada platform pembayarannya terutama untuk transaksi cross-border termasuk pada metaverse – dunia virtual reality yang sedang dikembangkan.
Stabilitas sistem keuangan
Konsentrasi risiko pada sedikit pelaku dan menguatnya interconnectedness antara pelaku domestik dengan pelaku global juga mengancam stabilitas sistem keuangan. Transmisi risiko yang menjadi lebih sulit dikendalikan. Rencana penerbitan Libra atau lebih dikenal dengan Diem dari Facebook akan menciptakan network effect dengan menimbang besarnya pengguna Facebook dan WhatsApp.
Tak heran apabila komunitas bank sentral dan lembaga multilateral seperti IMF, BIS, FSB bahkan G20 merespon stablecoin dan menganalisis dampak moneter dan stabilitas sistem keuangan secara mendalam. Salah satu respon yang menguat pasca kehadiran stablecoin adalah wacana rencana penerbitan Central Bank Digital Currency (CBDC). Bahkan beberapa negara telah menerbitkan seperti China dengan Digital Yuan, Bahama dengan Sand Dollar, Nigeria dengan e-Naira.
Salah satu respon yang menguat pasca kehadiran stablecoin adalah wacana rencana penerbitan Central Bank Digital Currency (CBDC).
Jenis penggunaan stablecoin (fiat-backed money) diklasifikan dalam tiga kategori, yaitu (1) Asset Management; (2) Payment; dan (3) Decentralised Finance (DeFi) Applications, antara lain dalam pemberian pinjaman atau penyaluran kredit dengan aset kripto atau NFT sebagai agunan.
Respon otoritas bervariasi di berbagai negara terkait stablecoin, meliputi peraturan perbankan, sekuritas, komoditas, dan pasar keuangan telah diterapkan di wilayah Amerika Serikat dan sebagian Eropa. Sementara sebagian besar negara lain belum memiliki regulasi terkait stablecoin.
Kompas
Fenomena uang kripto yang marak belakangan ini ternyata tidak sejalan dengan kondisi di pasar mata uang kripto. Beberapa minggu terakhir nasib Bitcoin kurang bagus. Nilai Bitcoin di Januari 2022 anjlok 28 persen.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran. Hal ini juga dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan BI No 17/3/PBI/2015 bahwa setiap pihak wajib menggunakan rupiah dalam transaksi yang dilakukan. Penyedia Jasa Pembayaran dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran juga dilarang menerima dan melakukan pemrosesan transaksi pembayaran dengan virtual currency maupun mengaitkan virtual currency dengan pemrosesan transaksi pembayaran.
Di Indonesia, Bappebti adalah otoritas yang berwenang mengatur stablecoin sebagai salah satu aset kripto, dengan penggunaan stablecoin diatur sebagai komoditas. Hingga Juli 2021 terdapat 7,4 juta investor aset kripto dengan total transaksi Rp 478,5 triliun dengan rerata transaksi Rp 2,3 triliun. Penyelenggaraan stablecoin di Indonesia saat ini terutama dimanfaatkan untuk mempermudah dalam pembelian aset kripto seperti bitcoin.
Di satu sisi teknologi rantai blok (blockchain) dan aset kripto dapat meningkatkan kecepatan dan efisiensi dalam cross-border payment dan transaksi remitansi, anonimitas transaksi, kemudahan mentrasir transaksi (traceability), integritas. Namun perlu ditengarai berbagai implikasi dan risiko antara lain terkait berkurangnya peran intermediasi lembaga keuangan/non keuangan tradisional, potensi capital outflow, berkurangnya transparansi dapat berimplikasi pada peningkatan risiko money laundering - terrorism financing dan kegiatan illicit financing activities, dan ancaman terhadap aspek perlindungan data jika terjadi kebocoran data konsumen.
Untuk itu, peningkatan edukasi dan literasi keuangan masyarakat perlu ditingkatkan atas bentuk aset kripto ini. Selain itu sinergi antar otoritas pun diperlukan untuk meningkatkan pengaturan dan pengawasan terkait penggunaan aset kripto agar tetap memastikan terjaganya stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan. Selain itu otoritas juga perlu melakukan kajian atas kerangka CBDC yang paling tepat untuk kebutuhan industri dan masyarakat di Indonesia.