Antisipasi Turbulensi di 2022
Diperlukan terobosan yang tak lumrah , dengan tetap menjunjung tinggi prinsip dan hajat hidup orang banyak. Sebab Indonesia terlalu besar untuk dipertaruhkan demi kepentingan elektoral semata.
Kita harus mengantisipasi potensi ancaman multigatra di 2022 yang cukup kompleks. Pada gatra keamanan, misalnya, kerumitan masih menghantui, mulai dari terorisme, separatisme , kapal ilegal asing masuk perairan Indonesia, sabotase kabel telekomunikasi bawah laut (sub-marine cable), sampai pencurian data pribadi dan ransomware.
DI bidang kesehatan, ancaman penyebaran Omicron dan varian lain Covid-19 menjadi sorotan. Vaksinasi massal yang terus gencar dilakukan, bahkan sejak 2020, diharapkan terus menstimulasi berbagai agensi dan organisasi sosietal untuk ikut berkecimpung.
Gatra ekonomi bakal lebih kompleks lagi. Presiden Joko Widodo pada Kompas CEO Forum di penghujung 2021 mensinyalir, Indonesia bakal memikul dampak kebijakan tapering off yang dikeluarkan The Fed, bank sentral AS. Sederhananya, pengurangan stimulus moneter oleh The Fed berpotensi memicu capital outflow, mengalirnya uang keluar, dari pasar keuangan di negara-negara berkembang, seperti Indonesia.
Terganggunya rantai pasok global (global supply chain), juga berpeluang memicu meningkatnya inflasi. Apalagi, rantai suplai global masih bergantung pada segelintir negara. Meski demikian, UOB Economic Outlook 2022, dengan optimistis memprediksi pemulihan ekonomi secara signifikan bakal terjadi, dipicu lonjakan investasi asing yang diduga meningkat tajam di tahun ini.
Statistik radikalisme yang masih tinggi berbanding lurus dengan derajat intoleransi dan disintegrasi sosial di ranah akar rumput.
Pada dimensi sosial-budaya, potensi ancaman cukup jamak. Statistik radikalisme yang masih tinggi berbanding lurus dengan derajat intoleransi dan disintegrasi sosial di ranah akar rumput. Sementara itu, konflik antara masyarakat adat dan otoritas negara terkait lahan tambang, lahan pertanian, dan jenis lahan lain masih akan terus berlangsung. Benturan “otoritas adat” versus “otoritas negara” di tingkat daerah biasanya berkorelasi dengan budaya politik dan watak kepemimpinan lokal.
Bagaimana dengan gatra politik? Politik biasanya ranah yang sulit ditebak, begitu dinamis, fluktuatif, bahkan konfliktual. Namun, potensi ancaman di bidang politik justru memengaruhi seluruh gatra kehidupan berbangsa dan bernegara—sebagaimana tesis dasar “Teori Sistem” yang bermula dari studi biologi-nya Ludwig von Bertalanffy, studi sosiologi Talcott Parsons, lalu dikembangkan dalam studi politik oleh David Easton (1953).
Empat faksi politik
Diduga, turbulensi politik menguat di tahun 2022. Gejolak menuju 2024 dibumbui oleh gencarnya perlawanan oposisi terhadap pemerintah dengan menggunakan, baik isu-isu yang sudah ada maupun isu-isu baru yang diciptakan sengaja. Dalam kacamata sederhana, memahami muatan ancaman dalam ranah politik dimulai dari mencermati pengelompokan berbasis kepentingan. Ada sejumlah faksi, setidaknya dalam analisis Lembaga Pemilih Indonesia (LPI, 2021), yang secara determinan berambisi membangun panggung nasional di Tahun Macan Air 2022—dalam penanggalan Timur!
Baca juga : Menguji Kemapanan Pilihan Partai Politik
Pertama, faksi nasionalis. Segmen populasi yang masuk dalam ceruk nasionalis akan mengalami fraksionalisasi yang cukup tajam di tahun 2022. Berbagai survei politik sepanjang 2021, yang memunculkan spekulasi soal nama-nama calon presiden, telah secara implisit (dan eksplisit) membentuk opini dan persepsi publik menuju 2024. Implikasinya, sepanjang 2022, partai-partai nasionalis, yang notabene saat ini memerintah, bakal mengalami pembelahan berdasarkan kiblat masing-masing.
Hal itu, tentunya, bakal mempengaruhi secara indikatif kinerja pemerintah karena para pembantu presiden sibuk menjadikan jabatan sebagai instrumen untuk lebih mengabdi pada kepentingan partai ketimbang kemaslahatan publik.
Kedua, faksi populis-kanan atau biasa dikenal ‘kaum radikal’. Pembubaran HTI tahun 2017 yang disusul FPI tahun 2020 menyisakan, tentu saja, “sakit hati sejarah” yang tiada henti dari kelompok populis sayap kanan. Mereka melihat pemilu sebagai momentum penciptaan peluang di masa depan. Maka, memilih capres yang berdamai dengan haluan populisme kanan suatu keniscayaan.
Uniknya, dan persis di sini potensi ancaman yang perlu dieksplorasi, para politisi melihat faksi ini sebagai aset pemilu yang strategis—sehingga mereka ramai-ramai, tetapi diam-diam, menjalin komunikasi dan membangun relasi dengan para elite sayap kanan.
Faksi ketiga adalah kaum pragmatis yang melihat politik murni sebagai ‘seni kemungkinan’ sebagaimana paradigma pragmatikal Laswellian. Komunitas ini memikirkan bagaimana memaksimalkan kontingensi untuk memenangkan pemilu tanpa harus menginklusi atribut ideologi, slogan ‘kepentingan nasional’, atau penanda ideal lainnya. Umumnya, dalam demokrasi manapun, kaum pragmatis didominasi oligarki politik.
Sebagaimana watak asli oligarki, yang utama adalah bagaimana mengendalikan sistem politik untuk memperkuat posisi dan perolehan ekonomi.
Kembali pada perspektif ancaman, persoalan tersulit sebetulnya ada di kelompok ketiga karena mereka bisa membuat irisan dengan kelompok mana saja dalam rangka memenangkan pemilu. Bagi kaum pragmatis, politik identitas hanyalah strategi memenangkan pemilu. Maka, agresi kelompok radikal di ruang publik, bagi mereka, hanyalah peluang elektoral. Analisis ancaman terhadap kepentingan publik dan eksistensi dan masa depan negara dan ideologinya hanya idealisme kaum patriotik yang terpisah jauh dari arena kepentingan oligarkis.
Dalam buku Oligarchic Cartelization in Post-Suharto Indonesia yang terbit akhir 2021 di Pennsylvania, AS, kami mengungkap evolusi tragis oligarki Indonesia yang memakai pola kerja kartel dalam mengepung sistem politik dalam rangka memonopoli sumber daya negara. Mereka menjelma dari oligarki klasik menuju “kartel oligarkis”.
Permainan para kartel oligarkis yang licik berpotensi tak hanya merusak kualitas moral dari pemilu demokrasi, tetapi juga memperalat partisipasi warga dalam pemilu dengan mengamplifikasi isu- isu primordial. Mewaspadai permainan kelompok ini sama urgennya dengan mewaspadai pergerakan kaum radikal.
Apalagi, faksi keempat, yakni kaum apatis, gandrung menjauhkan diri dari dinamika politik untuk mencari rasa aman dengan argumen bahwa politik itu kotor (meskipun sering kali betul!) dan layak dihindari. Varian masyarakat ini sesungguhnya mendukung by omission rekayasa politik yang dilancarkan oleh faksi radikal dan faksi pragmatis.
Situasi akan semakin rumit jika kaum nasionalis sendiri mengalami pembelahan secara radikal demi kepentingan kelompok dan kandidat masing-masing.
Simulasi jalan keluar
Pertama, mengedepankan etika sosial-kontekstual. Artinya, seluruh komponen politik perlu bersikap bijak di ranah sosial di tengah situasi pandemik. Beban negara yang begitu besar dalam menangani Covid-19 sudah seyogianya menjadi beban kita bersama. Ancaman inflasi di negara-negara berkembang terkait kebijakan pengurangan stimulus moneter The Fed bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi seluruh lapisan masyarakat ekonomi dan politik.
Implikasinya, sepanjang 2022 ini, diharapkan parpol, lembaga survei publik, dan berbagai organisasi kemasyarakatan mampu menahan diri untuk tak terlalu mengedepankan diskursus Pemilu 2024. Berbicara dalam perspektif etika sosial-kontekstual, pemberitaan media tentang kandidasi Pilpres 2024 sedapat mungkin dibuat proporsional untuk menekan potensi faksionalisasi.
Faksionalisasi politik yang terlalu dini berpotensi menambah daya turbulensi yang dihadapi bangsa dan negara.
Faksionalisasi politik yang terlalu dini berpotensi menambah daya turbulensi yang dihadapi bangsa dan negara. Demokrasi tentu saja memberi ruang luas bagi kebebasan bersuara. Namun, konteks negara saat ini membutuhkan partisipasi batin dan kesadaran deontologis dari seluruh lapisan masyarakat untuk ikut berjibaku memikul beban negara. Itulah yang kami maksud dengan “etika sosial-kontekstual” dalam teks ini.
Kedua, pranata politik dan pranata sosial-keagamaan perlu membangun sinergi dalam rangka menekan potensi guncangan politik sepanjang 2022. Parpol, lembaga pemilu, ormas keagamaan, dan berbagai loci of power yang lain perlu mencari titik temu dalam membangun paradigma baru untuk Indonesia ke depan. Situasi kita tidak normal.
Diperlukan terobosan yang tak lumrah—dengan tetap menjunjung tinggi prinsip dan hajat hidup orang banyak!—sebab Indonesia terlalu besar untuk dipertaruhkan demi kepentingan elektoral semata. Sebaliknya, pemilu adalah conditio per quam, syarat yang termaktub, untuk melestarikan bangsa dan negara Indonesia yang berbasis demokrasi.
Boni Hargens Akademisi; Direktur Eksekutif Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)