2022, Era Baru Penganekaragaman Pangan
Badan Pangan Nasional memiliki kewenangan besar untuk membuat regulasi, tata kelola, dan kebijakan pangan. Ke depan, lembaga ini harus menghidupi program pengembangan produk pangan lokal untuk mencapai kedaulatan pangan.
Badan Pangan Nasional secara resmi dibentuk pemerintah. Lembaga baru yang tertuang pada Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021 ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Pasal 126. Badan yang dinakhodai seorang kepala ini bertanggung jawab langsung kepada presiden dan diharapkan pada 2022 sudah mulai melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan.
Badan Pangan Nasional (Bapanas) memiliki kewenangan besar untuk membuat regulasi, tata kelola, dan kebijakan pangan. Mulai dari ketersediaan, stabilisasi pasokan dan harga pangan, kerawanan pangan dan gizi, hingga percepatan mesin diversifikasi pangan.
Bleid yang diundangkan pada 9 Juli 2021 ini memiliki tiga deputi, salah satunya di bidang penganekaragaman konsumsi dan keamanan pangan. Kehadiran deputi ini membawa era baru penganekaragaman konsumsi pangan di tengah masih tingginya tingkat konsumsi beras. Polemik impor 1 juta ton beras di awal 2021 menuai keprihatian dan pro-kontra karena Indonesia memiliki kekayaan pangan lokal.
Baca juga: Badan Pangan Nasional
Di sisi lain periset teknoagroindustri pangan dari sejumlah perguruan tinggi yang mengembangkan produk pangan baru lewat inovasi beras analog belum secara maksimal diberdayakan. Produk berbahan baku pangan lokal seperti umbi-umbian, jagung, sagu, dan sorgum ini masih stagnan karena pola konsumsi pangan masyarakat masih berbasis beras.
Mengerem konsumsi beras
Dalam konteks kebijakan regulator dan operator, Bapanas diharapkan mampu menyelesaikan pekerjaan rumah, yakni mengerem konsumsi beras dengan mendorong inovasi produk pangan nonberas. Selama ini, berbagai produk pangan baru unggulan belum direspons pemerintah secara baik sebab sihir beras masih memengaruhi kebijakan pangan nasional. Pemerintah masih sibuk dengan angka-angka produksi beras nasional untuk didorong terus meningkat setiap tahun. Sejatinya, program percepatan penganekaragaman konsumsi pangan (P2KP) yang sudah diusung sejak 2009 untuk menurunkan tingkat konsumsi beras sebesar 1,5 persen per tahun butuh produk pangan berbasis sumber daya lokal.
Dalam konteks kebijakan regulator dan operator, Bapanas diharapkan mampu menyelesaikan pekerjaan rumah, yakni mengerem konsumsi beras dengan mendorong inovasi produk pangan nonberas.
Mengandalkan beras sebagai satu-satunya makanan pokok bisa mengancam ketahanan pangan nasional. Dampak perubahan iklim global dan efek pandemi Covid-19 secara perlahan dan pasti bisa menurunkan produksi pangan yang menetaskan harga kian mahal. Sebagai makanan pokok rakyat menganggap beras menjadikan hidup lebih hidup sehingga produk olahan gabah ini harus tersedia sepanjang waktu. Fenomena ini telah mendarah daging dan sihir beras demikian kuat memengaruhi pola konsumsi.
Masyarakat terus terobsesi belum makan jika belum mengonsumsi nasi. Tingkat konsumsi beras pun meningkat secara signifikan, dari 110 kilogram (kg) per kapita per tahun pada 1967 menjadi 139 kg per kapita per tahun pada 2011, lalu menurun di angka 94,9 kg per kapita per tahun pada 2019. Bandingkan dengan orang Jepang yang hanya mengonsumsi beras 50 kg per kapita per tahun.
Warisan politik pangan Orde Baru yang menempatkan beras sebagai makanan pokok masih diformat ulang dalam bingkai beras ”murah” untuk orang miskin (raskin). Miskin tidaknya seseorang diukur dari kemampuannya mengonsumsi beras sebagai sumber karbohidrat. Raskin sesungguhnya menumpulkan program diversifikasi konsumsi pangan.
Pertanyaan, apakah Bapanas masih tetap mempertahankan program berasisasi sebagai garis kebijakan pangan untuk mengenyangkan perut rakyat? Paradigma lama yang menganggap bahwa beras masih bisa diimpor untuk menyukseskan ketahanan pangan, patut dikoreksi. Di tengah perubahan iklim global dan gelombang “tsunami” Covid-19 yang kian masif, negara penghasil beras seperti Thailand dan Vietnam semakin menurun produksinya.
Target pemerintah untuk menurunkan konsumsi beras sebesar 7,0 persen untuk lima tahun ke depan menjadi tantangan berat bagi Bapanas untuk memberi penguatan kepada food developers. P2KP masih terganjal raskin. Teknoagroindustri pangan nonberas berbasis sumber daya lokal kurang berkembang dan penganekaragaman konsumsi pangan beralih ke produk mi dan roti berbasis gandum.
Baca juga: Mafia Beras dan Diversifikasi Konsumsi
Guna mengurangi ketergantungan pada beras, inovasi teknologi pangan lokal patut didorong. Sebagai pilar ketahanan pangan, inovasi produk pangan baru harus dikembangkan secara berkelanjutan dan teknologinya terdifusi secara baik melalui pemberdayaan masyarakat. Warga akan segera mengadopsinya setelah meyakini manfaat inovasi tersebut.
Namun, lambatnya inovasi dan teknologi pangan lokal telah berdampak pada kurangnya produk pangan baru yang memberi keragaman pangan penyubsitusi beras. Sekadar contoh, inovasi produk pangan nonberas berbasis sumber daya lokal seperti sagu dan umbi-umbian belum optimal pemanfaatannya alias jalan di tempat.
Posisi Indonesia dalam peta percaturan inovasi teknoagroindustri pangan masih tertinggal dari Malaysia dan Thailand. Teknologi pertanian yang masih terkonsentrasi pada pengembangan budidaya di sektor hulu menyebabkan penguasaan teknologi pengolahan pangan masih lambat dan nilai tambah produk pertanian masih minim. Indonesia pun menjadi pasar empuk perdagangan produk pangan olahan dari negara-negara maju.
Membutuhkan inovasi
Perkembangan teknologi pengolahan pangan lokal di Indonesia tidak secepat dinamika teknologi pengolahan gandum. Salah satu penyebabnya adalah diseminasi dan alih teknologi pangan kurang mendapat perhatian pemerintah secara proporsional. Meski gelar inovasi teknologinya kerap dilaksanakan, hasilnya belum membumi. Padahal, percepatan penganekaragaman pangan butuh inovasi untuk mengurangi ketergantungan pada beras.
Indonesia kini dikepung makanan olahan berbasis terigu. Mulai dari donat, roti, piza, hingga mi instan. Berbagai produk pangan ini kini menjajah perut orang Indonesia, baik yang tinggal di perdesaan maupun di perkotaan. Pertumbuhan ekonomi yang relatif baik mendorong permintaan gandum dan produk turunannya kian meningkat. Konsumsi terigu menunjukkan tren peningkatan setiap tahun. Pertumbuhan konsumsi terigu nasional juga telah menempatkan Indonesia menjadi salah satu importir gandum terbesar di dunia (Kemendag, 2020).
Indonesia kini dikepung makanan olahan berbasis terigu. Mulai dari donat, roti, piza, hingga mi instan.
Bahan baku roti dan mi sejatinya tidak harus dari terigu. Dari sisi ilmu dan teknologi pangan, roti dan mi bisa dibuat dari tepung sorgum, ubi jalar, singkong, dan sagu. Bahkan dengan aneka warna dan fungsionalitasnya, tepung ubi jalar misalnya mempunyai potensi besar untuk dikembangkan tidak saja untuk roti dan mi, tetapi juga untuk bahan baku beras analog. Lewat pengaturan komposisi gizi, diharapkan akan muncul produk beras analog khas Nusantara yang dapat menyubsitusi beras.
Teknologi ekstrusi menjadi kata kunci untuk pembuatan beras analog. Komposisi adonan yang dibuat sedemikian rupa dimasukkan ke dalam mesin ekstruder, dengan sistem tekanan dan pembentukan ulir yang menggunakan mesin tween screw extruder, produk butiran menyerupai beras dapat dihasilkan secara baik.
Pengaturan tekanan ulir dan kecepatan pemotongan pisau sangat menentukan hasil butirannya. Perlakuan ini menyebabkan bahan baku mengalami modifikasi kimiawi dan fisik antara lain gelatinisasi pati, denaturisasi protein, dan pembentukan formasi kompleks antara pati dan protein. Perubahan tersebut akan memengaruhi cita rasa, bentuk, dan struktur produk. Selanjutnya dilakukan pengeringan untuk mengurangi kadar air beras analog seminimal mungkin untuk memperpanjang umur simpan. Beras analog siap dikemas.
Kita berharap Bapanas dapat mendorong pengembangan beras analog sebagai bentuk inovasi baru kemandirian pangan untuk penguatan penganekaragaman konsumsi. Perpaduan kelimpahan pangan nonberas di Indonesia dan penguasaan teknologi inovatif berkelanjutan akan mengasilkan beragam produk unik yang sangat dinanti pasar.
Saatnya kita bangkit dan berinovasi untuk pengembangan produk pangan lokal sebagai penghela kedaulatan pangan. Lewat inovasi beras analog kita memasuki era baru penganekaraman pangan untuk melahirkan berbagai UMKM di bidang pangan lokal. Singkong, ubi jalar, sorgum, porang, jagung, ubi kayu, sagu, dan pangan lokal lainnya bisa dikonversi menjadi beras analog berkualitas premium yang sarat kandungan antioksidan dan ingredien fungsional yang menyehatkan tubuh.
Baca juga: Menggerakkan ”Locavore”
Ke depan, program pengembangan produk pangan lokal harus dihidupi Bapanas untuk menghela program percepatan penganekaragaman konsumsi pangan. Selain mengurangi ketergantungan pada konsumsi beras, juga memberi penguatan kedaulatan pangan dan petani lokal memperoleh nilai tambah.
Posman Sibuea, Guru Besar Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Katolik Santo Thomas Medan; Anggota Pokja Ahli Ketahanan Pangan Nasional dan Pengurus Pusat Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI).