Menjadikan sawit sebagai tanaman hutan justru akan membangun narasi ambigu dan dugaan penyangkalan terhadap deforestasi yang disebabkan perusahaan kelapa sawit.
Oleh
RETNO SURYANDARI
·6 menit baca
Polemik lingkungan hidup di lingkup kehutanan tak kunjung berkesudahan. Banyak sekali benturan dari berbagai aspek, sehingga menjadi sulit untuk diselaraskan. Bahkan jargon ‘berkelanjutan’ masih memiliki celah bagi masing-masing kepentingan untuk berebut posisi supaya diutamakan. Apalagi jika melibatkan ‘emas hijau’ milik Indonesia yang menyumbang devisa ekspor terbesar dari sektor non migas, yaitu kelapa sawit.
Tanaman kelapa sawit Indonesia pada mulanya dibawa oleh Dr D T Pryce dari Afrika sebagai koleksi di Kebun Raya Bogor. Kondisi iklim dan geografis Indonesia yang sesuai membuat sawit dapat tumbuh dengan baik. Oleh sebab itu, pada tahun 1878 perusahaan Belanda, Deli Maatschappij, melakukan percobaan budidaya kelapa sawit di distrik Deli, Sumatera Utara. Berkat perkembangannya yang pesat, kini minyak kelapa sawit hampir memenuhi seluruh ruang di kehidupan kita, mulai dari urusan dapur hingga kecantikan.
Tanaman yang sempat menghiasi uang koin pecahan seribu ini memang terbukti menjadi komoditas yang ampuh. Dibandingkan bunga matahari dan kedelai yang masing-masing hanya menghasilkan 0,6 ton dan 0,4 ton per hektar, kelapa sawit dengan produksi 5 ton per hektar menjadi sumber minyak nabati paling efektif. Namun, di balik fungsinya yang serbaguna, sawit juga tidak luput dari berbagai polemik. Deforestasi salah satunya.
Tanaman yang dikenal dengan nama Latin Elaeis guineensis ini seringkali dianggap mengalami diskriminasi dibandingkan dengan tanaman yang berasal dari famili Arecaceae (suku pinang-pinangan) lainnya. Anggapan ini dikaitkan dengan kesepakatan bahwa kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang juga menjadi salah satu penyebab deforestasi. Apabila dikomparasikan secara global, sawit memang bukan penyebab utama deforestasi. Kontribusi perkebunan kelapa sawit terhadap deforestasi global yaitu sekitar 2,3 persen menurut Komisi Eropa. Namun, tentu saja hal tersebut tidak lantas membuat kelapa sawit bisa tiba-tiba berubah statusnya menjadi tanaman hutan.
Redefinisi sawit menjadi tanaman hutan memerlukan kajian kritis dan mendalam. Terlebih jika usulan redefinisi status sawit ini bertujuan untuk menurunkan angka deforestasi. Hal ini hanya akan menjadi solusi semu yang akan mengundang masalah baru.
Redefinisi sawit menjadi tanaman hutan memerlukan kajian kritis dan mendalam. Terlebih jika usulan redefinisi status sawit ini bertujuan untuk menurunkan angka deforestasi.
Merujuk pada definisi hutan yang ditetapkan oleh FAO dalam dokumen Term and Definitions oleh Global Forest Resources Assessment 2020, “Hutan merupakan lahan yang terbentang lebih dari 0,5 hektar dengan pohon lebih tinggi dari 5 meter dan tutupan kanopi lebih dari 10 persen, atau pohon yang mampu mencapai ambang batas ini secara in situ. Tidak termasuk lahan yang didominasi oleh penggunaan lahan pertanian atau urban”. Definisi tersebut juga dipertegas dengan catatan penjelasan yang pada poin ke-10 menegaskan bahwa “Hutan tidak termasuk tegakan pohon dalam sistem produksi pertanian, seperti perkebunan kelapa sawit, kebun zaitun, dan tanaman dari sistem wanatani”.
Definisi oleh FAO yang mulanya menjadi landasan dalam usulan menjadikan sawit sebagai tanaman hutan tegas menyebutkan bahwa sawit bukan tanaman hutan, sehingga usulan tersebut juga tidak relevan. Selain tidak relevan, menjadikan redefinisi sawit untuk menurunkan angka deforestasi terdengar absurd.
Menjadikan sawit sebagai tanaman HTI (Hutan Tanaman Industri) pun, jika alih fungsi lahan hutan menjadi “Hutan Tanaman Industri Sawit” tetap dilakukan tanpa kendali dan hukum yang tegas, deforestasi akan tetap terjadi. Pasalnya, HTI juga memiliki posisi yang sangat rentan untuk melakukan deforestasi. Tidak hanya untuk perluasan lahan, tetapi juga menebang hutan alam untuk memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku. Oleh sebab itu, kelapa sawit menjadi tanaman perkebunan atau tanaman hutan tidak akan berpengaruh pada penurunan deforestasi apabila perusak hutan tetap diberikan karpet merah. Apalah guna alih nama jika dampaknya tetap sama?
Penyangkalan berbalut rasionalisme administratif
Angka seharusnya menjadi indikator yang membatasi praktik alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan. Bukan sekadar perbandingan dengan negara lain yang kemudian direspon dengan redefinisi untuk menurunkan angka deforestasi. Pasalnya, selain dampak global, deforestasi juga berdampak pada masyarakat lokal yang jika dikonversi dalam angka pun nilai kerugiannya luar biasa. Tahun 2019 saja, KLHK berhasil memenangkan gugatan bagi beberapa perusahaan perusak hutan untuk pemulihan lingkungan pada kisaran angka Rp 18 triliun. Baru-baru ini juga masih terdapat beberapa perusahaan yang harus membayar denda akibat perusakan hutan senilai Rp 1,7 triliun.
Terdapat beberapa perusahaan sawit yang terlibat dalam kasus deforestasi tersebut. Oleh sebab itu, menjadikan sawit sebagai tanaman hutan justru akan membangun narasi ambigu dan dugaan penyangkalan terhadap deforestasi yang disebabkan perusahaan kelapa sawit.
Penyangkalan (denial) merupakan salah satu postulat yang dilahirkan oleh ahli psikoanalisis, Sigmund Freud. Menurut Freud, penyangkalan merupakan mekanisme pertahanan diri ketika seseorang merasa tidak nyaman menerima atau menolak fakta yang tidak menyenangkan, meskipun terdapat banyak bukti.
Sedikit berbeda dengan Freud, Stanley Cohen menawarkan konsep dalam penyangkalan dengan melihat organisasi (pribadi, masyarakat/resmi), jenis penyangkalan, dan agen yang terlibat. Terdapat tiga jenis penyangkalan menurut Cohen, yaitu literal, interpretatif, dan implikatif.
Merujuk pada polemik sawit, contoh dugaan penyangkalan literal misalnya ketika fakta perubahan lahan menjadi perkebunan ditolak sebagai bentuk ‘deforestasi’, melainkan ‘alih fungsi’. Selain itu, dalam jenis penyangkalan interpretatif misalnya ketika fakta deforestasi tidak disangkal, tetapi fakta bahwa sawit sebagai penyebab deforestasi ditolak.
Merujuk pada polemik sawit, contoh dugaan penyangkalan literal misalnya ketika fakta perubahan lahan menjadi perkebunan ditolak sebagai bentuk ‘deforestasi’, melainkan ‘alih fungsi’.
Selanjutnya, contoh dugaan penyangkalan implikatif misalnya ketika fakta deforestasi akibat perkebunan kelapa sawit nakal, diterima. Namun implikasi psikologis, politik, dan moralnya tidak. Sebagaimana kejadian banjir di kawasan perkebunan sawit yang ditolak sebagai bagian dari akibat perubahan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit. Dugaan penyangkalan-penyangkalan tersebut justru akan semakin menguat ketika terdapat upaya redefinisi kelapa sawit dengan balutan ilmiah yang berbentuk rasionalisme administratif.
Rasionalisme administratif merupakan salah satu diskursus yang diajukan oleh John S Dryzek dalam mengatur konflik wacana lingkungan. Menurut Dryzek, rasionalisme administratif adalah langkah untuk menyerahkan keputusan kepada ahli “Leave it to the Experts”. Rasionalisme administratif berusaha membangun narasi ilmiah dan teknis dari ahli untuk masuk ke dalam hierarki birokrasi.
Rasionalisme administratif menyiratkan hierarki berdasarkan keahlian, dengan kekuasaan dan pengetahuan terpusat di puncak. Mereka yang berada di puncak diasumsikan tahu lebih baik daripada tingkat bawah, sehingga berhak menetapkan tugas dan mengoordinasi operasi. Namun, masalah dengan kompleksitas apapun menentang sentralisasi semacam itu.
Karl Popper dan FA von Hayek berdebat panjang (meskipun bukan dalam konteks lingkungan), bahwa pengetahuan yang relevan tersebar dan terfragmentasi. Gaya rasionalisme administratif yang tertutup dan hierarkis tidak memiliki cara untuk menggabungkan potongan-potongan informasi ini dengan cara yang cerdas. Solusi Popper adalah memberi dan menerima demokrasi liberal. Menurut Popper, ciri komunitas ilmiah bukanlah otoritas berdasarkan keahlian, tetapi kritik dan uji dugaan ilmuwan oleh ilmuwan lain secara bebas, terbuka, dan setara.
Mengumpulkan fakta ilmiah untuk mengajukan redefinisi tanaman kelapa sawit termasuk salah satu bentuk demokrasi. Siapa saja boleh melakukannya, tetapi juga harus menerima kritik dan uji dari ilmuwan lain secara bebas, terbuka, dan setara. Terlebih hal yang paling penting adalah mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat lokal, bentang lahan, hingga kebencanaan.
Selain itu, masalah deforestasi di Indonesia tidak seharusnya diselesaikan dengan redefinisi sebagai bentuk yang justru tampak sebagai sebuah penyangkalan. Riset ilmiah terhadap sawit alangkah lebih elok jika diprioritaskan pada peruntukan optimalisasi produktivitas perkebunan kelapa sawit. Hal tersebut akan mendorong terciptanya perkebunan yang ramah lingkungan. Poin pentingnya terletak pada ‘ramah lingkungan’ baik yang berpengaruh secara global maupun lokal. Sawit menjadi tanaman kebun pun tidak masalah jika dijalankan secara ramah lingkungan serta ramah dengan masyarakat lokal dan adat.
Sawit memang bukan penyebab utama deforestasi global. Namun kegiatan perluasan kebun sawit yang brutal membuat kerusakan lingkungan semakin fatal. Penanggung kerusakannya tidak hanya masyarakat global, yang paling terdampak justru masyarakat lokal. Masyarakat kita sendiri.
Retno Suryandari,Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta