Ada Upaya Sistematis untuk Kukuhkan Dominasi Elite
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Demokrasi yang sudah berjalan selama 21 tahun pascareformasi perlu dijaga agar tidak mundur lewat momentum penataan sistem politik. Usulan PDI-Perjuangan dan Partai Golkar untuk menghidupkan kembali sistem pemilu proporsional tertutup dan pemilihan kepala daerah tidak langsung akan mengukuhkan dominasi elite dan menghilangkan kedaulatan rakyat.
Keseriusan kedua partai pendukung pemerintah itu ditunjukkan melalui secara resmi merekomendasikan perubahan sistem pemilihan legislatif proporsional dari terbuka menjadi tertutup. PDI-P merekomendasikannya lewat forum Rapat Kerja Nasional pada 10-12 Januari 2020 lalu dan Golkar lewat Musyawarah Nasional, 4-6 Desember 2019 lalu.
Dalam sistem proporsional terbuka yang selama ini berlaku sejak 2004, calon anggota legislatif dengan suara terbanyak dalam pileg akan mendapat kursi di DPR. Dengan kata lain, rakyat memilih langsung sosok caleg yang diinginkan. Sementara, pada sistem tertutup, caleg terpilih berdasarkan nomor urut yang ditentukan partai. Saat pemilihan, Rakyat mencoblos gambar partai.
Sistem tertutup kerap dikritik karena menjebak masyarakat “membeli kucing dalam karung”. Rakyat tidak bisa memilih sendiri caleg yang akan mewakilinya nanti di DPR/DPRD dan harus menyerahkan keputusan itu pada partai.
Menurut Ketua DPP PDI-P Djarot Saiful Hidayat, partainya mendorong sistem proporsional tertutup untuk memperkuat peran partai yang ia sebut sebagai pilar terpenting dalam demokrasi. Selain itu, juga untuk mendorong pemilu berbiaya murah dan minim politik uang. “Kami mendorong supaya pemilu berbasis pada kekuatan partai, karena peserta pemilu kita itu, kan, partai,” kata Djarot.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan, penerapan sistem proporsional tertutup diiringi dengan penguatan institusi partai. Rekrutmen caleg akan dibuat terbuka dan transparan. Oleh karena itu, revisi UU Pemilu harus diiringi dengan revisi UU Partai Politik. “Jangan dilihat hanya satu sudut pandang saja, tetapi harus menyeluruh,” kata Doli.
PDI-P sudah mendorong sistem pemilu kembali ke proporsional tertutup sejak pembahasan revisi UU Pemilu pada 2011. Sementara, Golkar baru ikut mendukung sistem proporsional tertutup dalam pembahasan RUU Pemilu pada 2017, setelah menjadi partai pendukung pemerintah.
Usulan PDI-P dan Golkar masih ditentang sejumlah fraksi, termasuk fraksi partai pendukung pemerintah lain. Ketua DPP Partai Nasdem Saan Mustopa menilai, usulan PDI-P dan Golkar itu semakin memperkuat dominasi dan oligarki elite dalam demokrasi. Sistem proporsional tertutup akan semakin memperlebar kesenjangan antara anggota DPR dengan konstituennya.
“Itu usulan yang hanya akan memperkuat oligarki elite, di mana partai punya peran yang snagat besar dalam menentukan semua hal di negara ini. Akan ada gap luar biasa sehingga anggota DPR bukan hanya tidak dikenal, tapi tidak ada keterikatan sama sekali dengan pemilihnya,” kata Saan.
Sistematis
Munculnya wacana mengembalikan sistem pemilu proporsional tertutup ini juga bersamaan dengan dorongan mengkaji pemilihan kepala daerah langsung. Pemerintah, dengan didukung PDI-P, mendorong evaluasi sistem pilkada menjadi tidak langsung atau melalui DPRD secara selektif, atau yang disebut pilkada asimetris.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif) Veri Junaidi menilai, dorongan mengembalikan kedua sistem usang itu menunjukkan upaya sistematis untuk mengukuhkan dominasi partai dan menafikan peran rakyat dalam demokrasi. Anggota DPRD ditentukan oleh partai, berikutnya anggota yang dipilih partai itu akan memilih kepala daerah saat pilkada.
Padahal, dengan sistem proporsional terbuka seperti sekarang saja, sudah banyak penyelewengan serta pemaksaan dominasi elite di partai. Contoh terbaru, kasus penetapan anggota DPR dari PDI-P di Sumatera Selatan I yang berujung kasus suap oleh caleg PDI-P Harun Masiku ke Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Dalam kasus itu, KPU mengalihkan kursi Nazaruddin Kiemas, caleg yang sudah meninggal dunia, kepada Riezky Aprilia yang mendapat 44.402 suara. Namun, DPP PDI-P mendesak suara itu dialihkan ke Harun yang hanya mendapat 5.878 suara. Padahal UU Pemilu mengatur, suara caleg yang meninggal dialihkan ke caleg dengan perolehan suara tertinggi di dapil itu.
“Kasus-kasus itu menunjukkan, betapa berbahayanya kalau proses demokrasi tidak melibatkan publik dan hanya berdasarkan selera kepentingan elite. Dalam sistem terbuka berdasarkan kehendak publik seperti sekarang pun masih ada upaya penyimpangan, apalagi kalau tertutup,” kata Veri.
Tidak logis
Logika menerapkan sistem pemilihan proporsional tertutup untuk meniadakan praktik politik uang sesungguhnya bermasalah. Catatan arsip Kompas menunjukkan, saat sistem proporsional tertutup diterapkan pada Pemilu 1999, praktik politik uang juga sudah menjamur.
Laporan Kompas pada 26 Februari 1999 mencatat, partai yang saat itu ditengarai paling banyak melakukan praktik politik uang adalah Golkar sebagai partai penguasa. Pengusaha yang juga salah satu penasihat Golkar, AA Baramuli, setiap kali bepergian ke daerah selalu disertai dengan upacara bagi-bagi uang. Uang yang ia gelontorkan bisa mencapai Rp 253 juta untuk satu daerah.
Laporan lain pada 10 Juni 1999 mencatat, Panitia Pengawas Pemilu DI Yogyakarta menemukan bukti bahwa PDI-P, Partai Golkar, dan Partai Daulat Rakyat (PDR), melakukan pelanggaran menjelang dan pada saat pemilu. Golkar saat itu terbukti membagi uang ke desa-desa di Sleman.
Laporan lain pada 19 Februari 1999 bertajuk “Ketua Golkar DKI: Mari Berlomba dalam Money Politics” bahkan mencatat pernyataan Ketua DPD Golkar DKI Jakarta Tadjus Sobirin bahwa partai lebih baik berlomba menyogok rakyat. Ia menyarankan politik uang dijalankan untuk “kebajikan”.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity Hadar Nafis Gumay mengatakan, pandangan bahwa sistem tertutup akan menghilangkan politik uang itu salah kaprah. Uang yang sebelumnya digelontorkan ke masyarakat hanya akan berpindah ke tangan pengurus partai demi ‘membeli’ dukungan saat penentuan nomor urut caleg.
“Serangan fajar tidak akan otomatis berkurang dalam sistem tertutup, karena memang permasalahan yang kita hadapi tidak langsung terkait dengan sistem pemilu,” kata Hadar.