Sandang, pangan, dan papan adalah tiga kebutuhan pokok manusia yang sulit ditiadakan. Ketiga kebutuhan dasar itu langsung atau tak langsung terkait dengan tanah.
Oleh
·2 menit baca
Tanah harta paling berharga bagi sebagian orang, bahkan tak jarang lebih berharga dibandingkan dengan kekeluargaan, persaudaraan, atau pertemanan. Bangsa berperang dengan bangsa lain kadang karena berebut wilayah, khususnya lahan. Keluarga kadang bisa tercerai-berai karena berebut tanah warisan. Konflik sering terjadi karena urusan tanah.
Sebuah pepatah Jawa menggambarkan betapa berharganya tanah: sadumuk bathuk, sanyari bumi, rila den labuhi pati. Dahi tersenggol, sejengkal tanah, rela dibela sampai mati. Tanah dan kepala (dahi) adalah kehormatan. Jika diambil paksa, pastilah akan dibela sampai mati. Tanah itu seperti ”belahan jiwa”.
Pemerintah menyadari betul berharganya tanah bagi warga sehingga sejak Indonesia merdeka hingga kini, tanah adalah obyek hukum paling banyak diatur. Tak kurang dari 89 undang-undang (UU) dibentuk sejak tahun 1951 untuk mengatur tanah, langsung atau tak langsung, terutama untuk menghindarkan konflik di masyarakat. Jumlah itu belum termasuk aturan lain di bawah UU. Terbaru adalah UU Nomor 2 Tahun 2012 mengenai Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Publik.
Dengan banyaknya aturan tersebut, semestinya hak warga atau hak adat atas tanahnya terlindungi. Oleh sebab itu, laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang dikutip harian ini, yang menyebutkan konflik agraria di Indonesia semakin parah, cukup mengejutkan. Disebutkan, konflik agraria pada era Presiden Joko Widodo (2015-2019) mencapai 1.960 kasus, lebih banyak ketimbang pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2009-2014) sebanyak 1.308 kasus. Tahun 2019, konflik agraria didominasi oleh sektor perkebunan, properti, dan infrastruktur (Kompas, 7/1/2020).
UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), yang masih berlaku, menempatkan agraria tak sebatas tanah, tetapi juga air, ruang angkasa dalam batas tertentu, dan kekayaan alamnya. UUPA mengakui hak warga atas tanah, baik itu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, maupun hak lainnya. Namun, semua hak atas tanah itu mempunyai fungsi sosial, dan untuk tidak merugikan kepentingan umum, kepemilikan tanah yang melampaui batas tak diperkenankan.
Pasal 18 UUPA memastikan, untuk kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara, kepentingan bersama rakyat, hak atas tanah bisa dicabut dengan ganti kerugian yang layak. UU No 2/2012 menambahkan, pengadaan tanah bagi kepentingan umum dilaksanakan berdasar asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan.
Jika konflik agraria meluas karena masalah berlarut-larut serta munculnya konflik akibat pembangunan infrastruktur, berarti ada asas dalam pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang tak berjalan. Hal ini harus diselesaikan segera agar konflik tidak kian meluas yang bisa merusak kohesi rakyat.