Pada tahun 1970-an, banyak seniman yang melahirkan karya-karya dengan format dan ideologi baru. Tokoh-tokoh tersebut memiliki pemikiran radikal dalam bidang kesenian.
Oleh
Fajar Ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kaum milenial bisa menyumbangkan pemikiran dan tindakan yang menggebrak guna menjawab tantangan zaman. Pemikiran menggebrak tersebut penting untuk membuat lonjakan-lonjakan.
Koordinator Tim Mufakat Budaya Indonesia Radhar Panca Dahana menilai, anak-anak muda Indonesia harus memiliki pemikiran yang radikal. Pemikiran radikal yang dimaksud adalah mampu menggebrak dan out of the box hingga bisa menggerakkan bangsa ke arah yang semakin maju.
”Hal-hal radikal itu adalah motor penggerak dari kehidupan. Kebudayaan muncul karena hal-hal radikal yang diciptakan oleh manusia,” katanya saat menyambangi Redaksi Harian Kompas di Menara Kompas, Jakarta, Kamis (19/12/2019).
Kaum milenial merupakan generasi yang lahir tahun 1980 dan sesudahnya. Radhar mengajak mereka untuk tidak takut mengambil risiko.
Radhar mendorong kaum milenial untuk membuat terobosan yang bermanfaat bagi kemaslahatan bersama. Sejauh hal itu bermanfaat bagi bangsa, mereka harus melakukannya.
Terlebih, generasi muda ini yang akan menanggung beban generasi-generasi sebelumnya sehingga mereka dituntut untuk tangguh. Selain itu, mereka juga harus menaruh perhatian pada isu-isu bangsa agar mampu berkontribusi secara optimal.
”Mereka harus bekerja. Lakukan sesuatu di bidang apa pun. Ada empat hal yang harus dimanfaatkan, yaitu akal, fisik, biologis, dan spiritual,” lanjutnya.
Pemaknaan radikalisme
Radhar mengatakan, pemaknaan kata radikalisme sering kali dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif. Padahal, menurut dia, tidak ada yang salah dengan sikap radikal karena yang salah adalah sikap radikal destruktif dan merugikan orang lain.
Dalam hal ini, radikal tersebut sudah menjelma sebagai kriminalisme, termasuk ekstremisme. Tidak semua orang berpikiran radikal harus dicurigai atau dipasung hak-haknya. Mereka adalah orang-orang kreatif yang berusaha menjawab tantangan.
Radhar menyayangkan, etimologi radikal masih dimaknai beragam di Indonesia. Ia sendiri memiliki pengalaman diserbu satu organisasi kemasyarakatan saat memberikan penghargaan kebudayaan kepada seorang bupati. Langkah bupati yang membangun banyak patung tersebut dianggap tidak sesuai dengan ajaran mereka.
”Pemikiran radikal juga harus dibuktikan dengan sikap yang radikal pula. Orang menciptakan roda karena tindakan radikal mereka terhadap kesulitan masa itu,” ujarnya.
Pemikiran dan tindakan radikal justru mampu menggerakkan lonjakan-lonjakan pengetahuan. Radhar menganggap, orang-orang seperti Issac Newton atau Albert Einstein adalah orang-orang radikal yang menjawab tantangan pada zamannya.
Demikian pula dengan tokoh-tokoh besar di Indonesia. Pada tahun 1970-an banyak seniman yang melahirkan karya-karya dengan format dan ideologi baru. Tokoh-tokoh tersebut memiliki pemikiran radikal dalam bidang kesenian.
”Mereka tidak hanya tenggelam dalam konservativisme, tradisionalisme, atau hal-hal yang bersifat umum. Mereka melompat,” ucap Radhar.
Pemikiran mandul
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Taufik Abdullah, menilai, berdasarkan sisi historisnya, radikalisme diperlukan untuk melawan dominasi asing di Indonesia. Menghadapi Belanda, misalnya, bangsa Indonesia sangat radikal.
”Kalau dulu bangsa Indonesia moderat, kita akan terus ditindas,” ujarnya.
Taufik mengibaratkan, saat Orde Baru, ruang bagi para pemikir amat terbatas. Meski begitu, mereka tetap bisa memunculkan gagasan-gagasan di ruang terbatas tersebut. Kini, hal yang terjadi justru sebaliknya.
”Sekarang, ruang dan peristiwa terbuka luas, tapi pemikiran-pemikiran saat ini seakan mandul,” lanjutnya.