Kombinasi terpuruknya ekspor dan lonjakan impor membuat neraca dagang RI kembali defisit. Tren proteksionisme global dan lonjakan impor konsumsi menjadi sorotan.
Oleh
·3 menit baca
Defisit November tercatat 1,33 miliar dollar AS, menjadikan defisit 11 bulan pertama 2019 menjadi 3,105 miliar dollar AS. Defisit sangat besar November (kedua terbesar setelah April 2,29 miliar dollar AS) dipicu penurunan tajam ekspor di hampir semua sektor (kecuali pertanian) dan lonjakan impor, baik barang modal/bahan baku maupun barang konsumsi.
Dari sisi ekspor, perlambatan ekonomi dunia yang berdampak pada permintaan dan harga komoditas, serta kian maraknya tren proteksionisme global, dituding pemicu utama penurunan ekspor. Untuk impor, sorotan terutama diarahkan ke impor barang konsumsi yang melonjak 16,28 persen YOY.
Seperti sebelumnya, keprihatinan dilontarkan Presiden Jokowi pada defisit sektor migas, yang tak kunjung teratasi. Ketergantungan sangat besar pada BBM membuat defisit neraca migas terus meningkat. Peningkatan juga terjadi untuk impor pangan. Situasi ironis bagi Indonesia sebagai negara berlimpah sumber energi terbarukan dan negara agraris.
Di luar defisit kronis neraca migas, ekonom sudah lama mengingatkan tren mencemaskan beberapa tahun terakhir, yakni terus merosotnya surplus perdagangan nonmigas, yang antara lain berkontribusi pada defisit perdagangan 8,57 miliar dollar AS pada 2018, terburuk sepanjang sejarah.
Kita sebagai bangsa kian kecanduan impor.
Anjloknya surplus itu bukan dipicu penurunan ekspor, melainkan lonjakan impor tiga kali lipat pertumbuhan ekspor. Artinya, yang meningkat bukan hanya impor migas, melainkan juga impor nonmigas. Kita sebagai bangsa kian kecanduan impor.
Di satu sisi, impor diakibatkan kebutuhan yang tak mampu kita penuhi sendiri di dalam negeri. Namun, tak jarang akibat faktor lebih struktural, bahkan blunder kebijakan pemerintah sendiri. Berbagai fasilitas kemudahan impor, obral lisensi impor, dan penggelembungan impor karena alasan kelangkaan, misalnya, dituding ikut mendongkrak defisit 2018.
Kian tergencetnya produk ekspor kita di pasar tujuan ekspor dan membanjirnya produk impor di dalam negeri tidak hanya cermin daya saing kita yang babak belur, tetapi juga lemahnya kemampuan negosiasi dan diplomasi dagang.
Tanpa membalikkan semua tren itu secara simultan, situasi ke depan hanya ada satu kemungkinan: terus memburuk. Jika sampai terjadi, efeknya sangat luas dan mengancam perekonomian secara keseluruhan. Kebijakan kontradiktif bagi industri dan mematikan petani dalam negeri tak boleh ada lagi. Memacu kinerja industri manufaktur bernilai tambah tinggi tak boleh hanya terus jadi wacana. Ketergantungan pada ekspor komoditas harus segera diakhiri. Sudah waktunya lebih serius menggarap sektor riil yang selama ini terabaikan.
Perhatian perlu diberikan bukan hanya untuk manufaktur berorientasi ekspor, melainkan juga substitusi impor. Upaya memperluas pasar ekspor industri perlu diteruskan. Juga menuntaskan kesepakatan dagang dengan sejumlah mitra dagang penting untuk memperluas akses pasar ekspor, termasuk CPO dengan Uni Eropa dan India. Prioritas diplomasi ekonomi kebijakan luar negeri RI 2020 diharapkan bisa menjadi ujung tombak mengatasi defisit kronis perdagangan dan transaksi berjalan.