Cara Pandang terhadap Penyandang Disabilitas Mental Harus Diubah
Penyandang disabilitas mental hingga kini masih menjadi bagian dari kelompok yang tertinggal, bahkan terlupakan oleh semua kalangan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyandang disabilitas mental hingga kini masih menjadi bagian dari kelompok yang tertinggal, bahkan terlupakan oleh semua kalangan. Praktik pemasungan dan pengurungan penyandang disabilitas mental baik di rumah maupun di panti-panti sosial/rehabilitasi yang melanggar hak asasi manusia masih terus terjadi.
Peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) 2019 seharusnya menjadi momentum bagi semua pihak, pemerintah dan masyarakat untuk mengubah cara pandang dan cara memperlakukan penyandang disabilitas. Praktik pemasungan dan pengurungan penyandang disabilitas yang masih dianggap wajar oleh masyarakat dan pengelola panti sosial harus dihentikan karena merendahkan martabat manusia.
“Karena itu kami menyayangkan dalam Peringatan HDI 2019 yang mengusung tema “Indonesia Inklusi, Disabilitas Unggul” yang berlangsung meriah, penyandang disabilitas mental sedikit pun tidak disinggung. Padahal kenyataannya saat ini ada ribuan penyandang disabilitas yang dirampas haknya terkurung dalam panti-panti di berbagai daerah,” ujar Yeni Rosa Damayanti, Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia (PJSI) di Jakarta, Rabu (4/12/2019).
Saat ini ada ribuan penyandang disabilitas yang dirampas haknya terkurung dalam panti-panti di berbagai daerah.
Yeni didampingi Ketua Komisi Nasional Ham (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik dan Daniel Awigra, Deputi Direktur The Indonesia\'s NGO Coalition for International Human Rights Advocacy (HWRG). Sejak Rabu, di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) digelar pameran foto tentang temuan situasi penyandang disabilitas mental.
Yeni, Taufan, dan Daniel berharap pemerintah memberikan perhatian terhadap para penyandang disabilitas mental agar praktik-praktik pelanggaran HAM segera berhenti. Pemerintah juga dituntut segera melakukan harmonisasi semua produk hukum agar sesuai dengan mandat Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia menjadi UU Nomor 19 Tahun 2011.
Untuk jangka pendek, diharapkan pemerintah segera menyusun peta jalan yang akan memandu kementerian/lembaga terkait seperti Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Hukum dan HAM untuk melakukan pengawasan secara berkala terhadap panti-panti sosial di seluruh Indonesia serta untuk memastikan hak-hak penyandang disabilitas mental di panti-panti terpenuhi.
Sebab, dari investigasi yang dilakukan sejumlah lembaga termasuk Komnas HAM, ditemukan di dalam panti-panti rehabilitasi/sosial tersebut, praktik pemasungan dan pengurungan dilakukan kepada penyandang disabilitas mental, baik laki-laki, perempuan, lansia maupun anak-anak. Mereka dirantai kaki atau tangan, diikat di tiang atau ditempatkan di sel isolasi yang kotor dan dipaksa makan maupun buang hajat di dalamnya.
Ditemukan di panti-panti rehabilitasi/sosial, praktik pemasungan dan pengurungan dilakukan kepada penyandang disabilitas mental.
Penyandang disabilitas mental perempuan sangat rentan posisinya didalam panti-panti sosial ini. Saat kekerasan dan pelecehan seksual terjadi, tidak ada perlindungan apapun bagi mereka.
Daniel mengungkapkan penyandang disabilitas hingga kini mengalami berbagai perlakuan tidak manusia karena di tengah masyarakat keberadaan mereka masih dianggap tabu dan bermasalah. Pandangan yang di masyarakat hingga kini terus berlangsung.
“Ini menjadi keprihatinan yang patut kita suarakan dan kampanyekan ke publik, bahwa ada kelompok masyarakat yang tidak boleh ditinggalkan. Cara pandang yang keliru perlu diperbaiki. Penyandang disabilitas mental bukan 100 persen sakit. Salah persepsi ini harus yang harus diubah oleh pemerintah, terutama dalam momentum HDI 2019 ini,” katanya.
Tanggung jawab multi sektor
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, Edi Suharto menegaskan, bahwa rehabilitasi bagi penyandang disabilitas mental merupakan tanggung jawab multisektor, dengan penanganan isu utama yang mempersyaratkan kolabolarasi antara sektor kesehatan dan sektor sosial. “Isu pemasungan merupakan pekerjaan rumah yang cukup berat,” kata Edi.
Pemasungan terjadi karena beberapa faktor di antaranya panti sosial memiliki hambatan dalam mengakses layanan kesehatan. Penyandang disabilitas yang dipasung biasanya masih dalam kondisi belum stabil dan memerlukan rehabilitasi psikiatrik.
“Untuk akses tersebut masih sering terkendala dengan keterbatasan finansial dan keterbatasan pemahaman. Untuk kasus panti sosial, masih banyak panti yang melakukan layanan dengan berlandaskan pengobatan tradisional dan menggunakan metode-metode keagamaan,” kata Edi.
Masih banyak panti yang melakukan layanan dengan berlandaskan pengobatan tradisional dan menggunakan metode-metode keagamaan.
Adapun upaya yang dilakukan Kemensos antara lain, melakukan bimbingan teknis terhadap panti-panti tersebut bekerjasama dengan dinas sosial provinsi untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan para pengurus panti dalam memberikan layanan bagi penyandang disabilitas mental agar tidak melakukan pemasungan.
Pada tahun 2019 Kemensos juga mulai melakukan akreditasi terhadap panti-panti sosial, serta sosialisasi secara massif kepada keluarga, masyarakat, dan panti-panti sosial yang memberikan layanan bagi penyandang disabilitas mental. Kemensos membuat buku saku dan video sosialisasi tentang pencegahan dan penanganan pemasungan yang mengacu pada Permensos Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pencegahan Dan Penanganan Pemasungan Bagi Penyandang Disabilitas Mental.