Masih ada 11 penyelenggara negara yang belum melaporkan harta kekayaannya ke KPK, termasuk enam menteri dan empat wakil menteri. Pelaporan harta kekayaan dapat dilakukan hingga 20 Januari 2020.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masih ada 11 penyelenggara negara yang belum melaporkan harta kekayaannya ke KPK, termasuk enam menteri dan empat wakil menteri. Pelaporan harta kekayaan dapat dilakukan hingga 20 Januari 2020, yaitu maksimal tiga bulan setelah menjabat sebagai penyelenggara negara.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan, ke-11 penyelenggara negara tersebut terdiri dari 6 menteri, 1 kepala badan, dan 4 wakil menteri. Sebagian besar dari enam menteri yang belum melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) itu berasal dari pihak swasta.
”Kami memahami pelaporan LHKPN mungkin merupakan hal baru oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu, jika ada yang perlu dibantu, tim LHKPN di KPK akan mendampingi,” ujar Febri, di Jakarta, Selasa (3/12/2019).
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyampaikan, pelaporan LHKPN merupakan pintu masuk dari reformasi Indonesia yang sejak awal menyasar para penyelenggara negara karena definisi kekuasaan cenderung menyimpang. Untuk itu, semestinya tidak ada alasan rumit untuk melaporkan LHKPN karena kalaupun rumit, akan ada yang membantu.
”Itu (pelaporan LHKPN), kan, enggak akan lebih susah dari mengisi formulir asuransi kalau memang niat. Berikanlah waktu beberapa saat. Ini, kan, bagian kecil dari sistem untuk membuktikan integritas diri sendiri selain dari melaporkan gratifikasi serta membayar pajak,” tutur Saut saat dihubungi Kompas.
Pelaporan LHKPN juga untuk menjaga orang baik agar tetap baik. Umumnya, pada awal menjabat, para penyelenggara negara itu baik, tetapi ada beberapa yang kemudian ”kejeblos” setelah menjabat.
Selain itu, pelaporan juga untuk membuat penyelenggara negara lebih berfokus pada kinerjanya, bukan sekadar menumpuk harta. Meski tetap harus dipahami, tidak ada larangan orang menjadi kaya di negeri ini.
”Orang yang kita nilai bersih sekalipun berpotensi untuk menyimpang dan tercemar di tengah environment (lingkungan) seperti sekarang. Bahkan, hal itu diperparah dengan Undang-Undang KPK baru. Itu sebabnya, saya masih menunggu Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) KPK,” ucap Saut.
Staf khusus presiden
Febri menyampaikan, KPK juga sudah menyelesaikan pembahasan tentang sejumlah pejabat baru di lingkungan kepresidenan, wakil presiden, atau menteri kabinet. Para pejabat baru yang dimaksud adalah yang menjabat sebagai staf khusus atau staf ahli.
Orang yang kita nilai bersih sekalipun berpotensi untuk menyimpang dan tercemar di tengah environment (lingkungan) seperti sekarang. Bahkan, hal itu diperparah dengan Undang-Undang KPK baru.
Sepanjang posisi mereka setara dengan eselon I, berdasarkan Pasal 2 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, maka para staf khusus termasuk kualifikasi penyelenggara negara sehingga wajib melaporkan LHKPN ke KPK.
Dalam undang-undang tersebut dijelaskan, penyelenggara negara meliputi pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. ”Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis” adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
”KPK juga menunggu pelaporan LHKPN dari para staf khusus, staf ahli, baik di lingkungan kepresidenan, wakil presiden, atau kementerian yang jabatannya setara eselon I, atau terdapat aturan khusus di kementerian masing-masing tentang wajib lapor LHKPN,” ujar Febri.
Perlu dipahami, pelaporan LHKPN merupakan bagian dari kerja pencegahan korupsi yang perlu dilakukan bersama dengan dukungan semua pihak. Penyampaian laporan secara benar dan tepat waktu merupakan bentuk komitmen yang bisa ditunjukkan para penyelenggara negara kepada publik.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Dewi Anggraeni, menyampaikan, sebagai bentuk transparansi kepada publik, KPK dapat menambahkan fitur di laman KPK terkait penyelenggara yang sudah melaporkan LHKPN. Fitur ini untuk menunjukkan orang tersebut sudah melapor sebelum nantinya terdapat rincian berapa jumlah harta kekayaan.
Ketika nantinya sudah terperinci berapa jumlah harta kekayaannya, masyarakat dapat mengecek ke lapangan, apakah benar hartanya sesuai dengan yang dilaporkan. Langkah ini sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat.
”Mereka yang sekarang sudah menjadi penyelenggara negara, kan, menggunakan uang rakyat dalam kehidupan kesehariannya. Maka, pelaporan LHKPN menjadi bentuk transparansi yang penting untuk publik, kita bisa mengawasi bagaimana sih gaya hidupnya,” ujar Dewi.