Riset menunjukkan, selama 10 tahun terakhir, jumlah pengungsi akibat bencana alam yang dipicu perubahan iklim tiga kali lebih besar dari periode sebelumnya. Jumlah pengungsi karena konflik tidak sebanyak karena bencana.
Oleh
ELOK DYAH MESSWATI DAN B JOSIE SUSILO HARDIANTO
·3 menit baca
LONDON, SENIN -- Dalam 10 tahun terakhir, perubahan iklim telah memaksa lebih dari 20 juta orang di seluruh dunia mengungsi. Wujud perubahan iklim itu antara lain banjir, topan, kebakaran hutan, dan makin buruknya kondisi cuaca. Persoalan akan memburuk jika para pemimpin dunia tidak bertindak cepat mencegahnya.
Lewat riset yang dipublikasikan Senin (2/12/2019), di London, Kepala Kebijakan Iklim Oxfam, lembaga nirlaba, Tim Gore mengatakan, negara-negara kepulauan di Pasifik dan Karibia adalah yang paling terancam oleh perubahan iklim. Rata-rata 5 persen warga di Kuba, Dominika, dan Tuvalu mengungsi karena bencana alam. Menurut Gore, kini dunia dilanda pemanasan global.
"Inilah dunia yang sedang menghangat, yang sudah lama diperingatkan pada kita. Kini kita menyaksikan hal itu di depan mata kita," kata Gore kepada Thomson Reuters Foundation.
Riset Oxfam ini meneliti jumlah pengungsi yang diakibatkan bencana dipicu perubahan iklim. Laporan riset itu dirilis bersamaan dengan berlangsungnya KTT Iklim yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Madrid, Spanyol.
Hasil riset menunjukkan bahwa selama 10 tahun terakhir, jumlah pengungsi akibat bencana alam yang dipicu perubahan iklim tiga kali lebih besar dari periode sebelumnya. Bahkan, menurut Oxfam, jumlah pengungsi karena konflik atau perang tidak sebanyak pengungsi karena bencana alam. Riset Oxfam meneliti warga yang mengungsi di negara mereka akibat bencana yang ditimbulkan perubahan iklim antara tahun 2008 dan 2018, mengacu pada data pemerintah, badan-badan internasional, dan laporan media.
Dalam sebuah panel bersama para pemimpin negara-negara yang rentan akibat perubahan iklim, Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina mengungkapkan, saat ini disepakati oleh banyak kalangan bahwa salah satu dampak paling parah akibat perubahan iklim adalah migrasi manusia. "Kasus-kasus cuaca ekstrem telah menyebabkan berpindahnya lebih banyak orang dibandingkan akibat konflik kekerasan," kata Hasina.
Dia menyatakan, diskusi-diskusi internasional seharusnya memfokuskan perhatian pada upaya membantu negara-negara yang terdampak oleh perubahan klim dengan merelokasi warga dalam bahaya dan melindungi warga yang mengungsi, termasuk dengan menciptakan kerangka global untuk menangani kebutuhan-kebutuhan mereka.
Namun ada pula negara- negara seperti Somalia, yang pada waktu bersamaan dilanda perang, dan sekaligus didera kekeringan dan banjir. Bencana yang terus mendera negara-negara miskin dan mengakibatkan penduduknya mengungsi membuat negara-negara tersebut harus berjuang keras untuk memulihkan kondisi. Namun, belum pulih benar dari bencana yang satu, kadang-kadang sudah diterjang bencana atau krisis lainnya.
Gore mengatakan, kumpulan bencana menyebabkan banyak negara miskin tempat kasus-kasus pengungsian terjadi kesulitan bangkit dari satu krisis sebelum krisis berikutnya menghantam mereka. Beberapa negara mengharapkan bantuan untuk memulihkan keadaan dari kekeringan dan banjir dalam waktu bersamaan.
"Ini luar biasa. Inilah kekacauan akibat iklim yang terjadi," ujar Gore.
Laporan Oxfam menyebutkan, tujuh dari 10 negara tempat pengungsian terbesar berdasarkan proporsi populasi mereka adalah negara-negara kepulauan berkembang, kebanyakan di Pasifik dan Karibia. Namun, sekitar 80 persen dari keseluruhan warga yang terpaksa mengungsi akibat bencana-bencana alam dalam satu dekade terakhir terjadi di Asia.
Di benua ini, banyak warga Filipina dan Sri Lanka tinggal di area yang terancam oleh badai dan banjir. Pada Mei lalu, topan Fani saja menyebabkan 3,5 juta warga Bangladesh dan India mengungsi. Sebagian besar dari mereka dievakuasi sebelum topan menghantam guna menekan jumlah korban.
Peneliti Oxfam menyebutkan, secara keseluruhan jumlah bencana alam yang dikategorikan parah meningkat lima kali lipat dalam satu dekade terakhir.
Untuk itu, dunia perlu bekerja keras untuk menahan laju perubahan iklim meskipun saat yang sama beberapa negara besar justru kurang mendukung. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, dunia harus memilih, menyerah atau membangun harapan. Pada pleno pembukaan konferensi iklim PBB di Madrid, ia mendesak agar dunia tidak menyerah.