Potensi besar biodiversitas Indonesia perlu untuk terus didokumentasikan, dijaga, dan dimanfaatkan sebaik mungkin. Kekayaan alam ini sudah selayaknya selalu dirawat agar tidak tergerus oleh berbagai ancaman.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Potensi besar biodiversitas Indonesia perlu untuk terus didokumentasikan, dijaga, dan dimanfaatkan sebaik mungkin. Kekayaan alam ini sudah selayaknya selalu dirawat agar tidak tergerus berbagai ancaman.
Upaya mendokumentasikan, merawat, dan menjaga warisan kekayaan hayati Indonesia salah satunya dilakukan harian Kompas dalam Ekspedisi Wallacea yang berlangsung pada 2019 ini. Ekspedisi ini sekaligus merayakan momentum 150 tahun buku Alfred Russel Wallace, The Malay Archipelago.
Ketua Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas Aris Prasetyo menuturkan, ekspedisi ini dilakukan untuk mendokumentasikan kekayaan dan keanekaragaman Indonesia, khususnya kawasan Wallacea. Ekspedisi ini menyambangi 11 pulau di kawasan Wallacea dan menjelajahi total 24.000 kilometer. Hasilnya, karya jurnalistik berupa tulisan, foto, dan video yang ditampilkan dalam sejumlah edisi di harian Kompas sejak September hingga Oktober 2019.
”Pada intinya, kami ingin memotret, merekam, mendokumentasikan, sekaligus merawat keragaman hayati dan budaya Indonesia di kawasan Wallacea yang sangat kaya. Kami juga ingin agar potensi yang ada ini dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat,” kata Aris, dalam Panggung Inspirasi di Pekan Wallacea, di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (28/11/2019).
Dalam ekspedisi tersebut, Aris melanjutkan, masih ada begitu banyak potensi yang belum terdokumentasikan dan dimanfaatkan. Salah satu contohnya, di daerah Gandang Dewata, Sulawesi Barat, ada banyak spesies tikus dan kodok yang belum terdata. Puluhan ragam tanaman jahe juga belum teridentifikasi, yang sebenarnya bisa diolah untuk berbagai produk dan kegunaan.
Tidak hanya itu, ancaman nyata juga terjadi di sebagian besar wilayah Wallacea. Menurut Aris, temuan dalam ekspedisi, ancaman akibat perkebunan dan industri, perburuan, serta permukiman membuat kawasan menyusut dan jumlah populasi berkurang. Salah satunya, populasi monyet yaki di Sulawesi Utara yang menyusut sebesar 40 persen dalam satu dekade terakhir.
”Saking kayanya, kita itu lemah dalam pemanfaatan. Oleh karena itu, kami juga memberi rekomendasi arah kebijakan pemerintah ke depan agar kawasan Wallacea terjaga dan bisa dimanfaatkan sebaik mungkin,” tuturnya.
Selain Ekspedisi Harian Kompas, Panggung Inspirasi juga menampilkan Maurits Kafiar, Ketua Tim Smart Patrol Raja Ampat. Maurits dan tim melakukan patroli keanekaragaman hayati, ancaman, dan infrastruktur dalam hutan. Program ini dilakukan di Cagar Alam Waigeo Barat dan Cagar Alam Waigeo Timur, Papua Barat.
Maurits menceritakan, data spasial berbasis telepon pintar bisa menuntun untuk pengawasan dan monitoring secara lebih efektif. Data tersebut menjadi basis untuk terus memonitor dan melakukan pengawasan.
Tahun ini, kami temukan empat goa karst dalam kawasan cagar alam yang belum terdata.
”Dengan SMART Patrol itu, kita bisa inventarisasi keanekaragaman satwa, tanaman, dan berbagai temuan ancaman atau infrastruktur dalam hutan. Dengan data itu, kita bisa memonitor lengkap kondisi di lapangan karena basis data sudah jelas. Tahun ini, kami temukan empat goa karst dalam kawasan cagar alam yang belum terdata,” ujar Maurits.
Untuk patroli ancaman, misalnya, tambah Maurits, basis data ancaman sebelumnya, potensi yang ada, dan pemetaan yang ada bisa dilakukan lebih terpusat dan komprehensif. Dengan begitu, ancaman yang ada bisa segera ditanggulangi dan diselesaikan.
Panggung Inspirasi merupakan salah satu kegiatan dalam Pekan Wallacea 2019 yang diadakan Pemerintah Indonesia, British Council, dan banyak pihak lainnya. Simposium, pemutaran film, bincang-bincang, dan sejumlah kegiatan lain mengisi pergelaran ini selama sepekan penuh sejak 22 November lalu.
”Wallace telah memberi contoh bagaimana kerja besar pencatatan dan pendokumentasian alam dan manusia untuk pengetahuan. Merawat Wallace dengan turunan himpunan pengetahuannya, juga kawasan Wallacea, berarti juga merawat Indonesia,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid, Rabu (27/11).
Sementara itu, Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Owen Jenkins mengungkapkan, Wallace mewariskan banyak hal bagi Indonesia, Inggris, dan dunia. Wallace menunjukkan peluang untuk kerja sama penelitian antara banyak peneliti, institusi, dan negara di kawasan Wallacea. Wallace juga telah menyadarkan banyak orang untuk terus berkolaborasi guna memahami aneka kekayaan alam.