Kemendagri Masih Mengkaji Sistem Pilkada yang Cocok
Kementerian Dalam Negeri masih akan melakukan evaluasi dan kajian akademik untuk menentukan sistem pelaksanaan pilkada yang ideal.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri masih akan melakukan evaluasi dan kajian akademik untuk menentukan sistem pelaksanaan pilkada yang ideal. Saat ini, Kemendagri dan DPR belum bisa memastikan, apakah pelaksanaan pilkada akan dilakukan secara langsung di seluruh Indonesia atau asimetris, yang berarti ada daerah-daerah yang menggelar pilkada secara tidak langsung.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta agar semua pihak tidak alergi terhadap evaluasi akademik pelaksanaan pilkada. Menurut ia, saat ini pemerintah sudah mulai mencari kajian akademis yang bersumber dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
”Sudah ada dua buku kajian dari LIPI yang saya baca, yaitu berjudul Pemilukada Asimetris dalam Perspektif NKRI dan Gagasan Pemilihan Umum Kepala Daerah Asimetris. Ini merupakan kajian akademik yang kredibel dan ada metodologi yang digunakan,” ucapnya saat rapat dengar pendapat antara Kemendagri dan Komisi II DPR di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Menurut Tito, saat ini pemerintah masih belum bisa menawarkan solusi terkait pelaksanaan pilkada sebelum seluruh evaluasi akademik ini rampung. Selain itu, ia pun telah bertemu dengan asosiasi wali kota dan asosiasi gubernur untuk membahas kelebihan dan kekurangan dari pelaksanaan pilkada langsung.
”Saya sampaikan bahwa sistem pilkada langsung memiliki semangat yang sangat mulia karena menggambarkan demokrasi dan iklim partisipasi rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung. Namun, dalam perjalanannya ada sejumlah dampak negatif dari pilkada langsung ini,” ucapnya.
Tito menjabarkan sejumlah dampak negatif dari pilkada langsung, yaitu terkait munculnya potensi konflik horizontal di masyarakat dan biaya politik yang besar. Ia juga menjelaskan bahwa pilkada secara tidak langsung juga memiliki sejumlah kekurangan.
”Akan sulit bagi para calon kepala daerah yang independen jika ingin maju dalam kontestasi pilkada jika pemilihannya dilakukan DPRD. Oleh karena itu, kita perlu mencari jalan untuk pemecahan masalah ini,” katanya.
Tito mengatakan, kemungkinan besar pilkada asimetris bisa menjadi salah satu opsi yang muncul dari hasil kajian akademik ini.
Menurut ia, tidak perlu seluruh daerah melakukan pilkada langsung dengan meninjau sejumlah aspek, seperti indeks demokrasi suatu daerah, potensi konflik yang muncul, serta sosiologi dan antropologi suatu wilayah.
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Golkar Ahmad Doli Kurnia menjelaskan, Komisi II DPR bersama Kemendagri telah sepakat melakukan penyempurnaan seluruh undang-undang sistem kepemiluan di Indonesia.
”Selambat-lambatnya pada 2021 telah ada penyempurnaan terkait sistem kepemiluan yang melingkupi pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden, dan pemilihan legislatif,” ucapnya.
Doli mengatakan, penjelasan Tito diharapkan bisa memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa hingga saat ini belum ada kepastian terkait pelaksanaan pilkada kembali lagi kepada DPRD. Pemerintah dan DPR masih mencari sistem pilkada yang ideal dengan meminimalkan dampak negatifnya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu Kaka Suminta mengatakan, hambatan pilkada bukan berada di masyarakat. Hambatan pikada, lanjutnya, berada di kalangan elite. Ia mengatakan agar jangan menerapkan gagasan pilkada asimetris. Pemikiran ini dinilainya berbahaya.
”Berpikir demokrasi itu progresif, bukan regresif,” kata Kaka.
Ia pun menyinggung mengenai Pilkada DI Yogyakarta yang tidak langsung, Kaka menyebutnya karena kesejarahan yang membuatnya tidak benar-benar demokratis. Sementara DKI Jakarta memerlukan kesatuan wilayah sebagai ibu kota sehingga pemilihan wali kota dilakukan dengan penunjukan oleh gubernur.
”Kalau memang sudah siap, malah dua-duanya harus disamakan dengan daerah lain,” ujarnya.