Pekan Wallacea 2019, yang digelar 22-28 November ini, merayakan warisan kekayaan hayati serta budaya Indonesia dalam semangat keberagaman dan kolaborasi.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Pekan Wallacea 2019, yang juga ditandai dengan peringatan 150 tahun buku karangan Alfred Russel Wallace, resmi dimulai pada Jumat (22/11/2019), di Makassar, Sulawesi Selatan. Acara ini merayakan warisan kekayaan hayati serta budaya Indonesia dalam semangat keberagaman dan kolaborasi.
Senior Programme Manager British Council Femmy Soemantry menyampaikan, Pekan Wallacea yang berlangsung pada 22-28 November ini untuk pertama kalinya dilakukan di wilayah yang menjadi salah satu lokasi penjelajahan Alfred Russel Wallace selama di Indonesia 1,5 abad lalu. Selama dua tahun berturut-turut sebelumnya, Pekan Wallacea selalu dilangsungkan di Jakarta.
Semua kegiatan ini mengangkat napas keberagaman dan kolaborasi dari berbagai pihak.
”Kali ini kami membawa ’pulang’ kegiatan ini ke salah satu rumah asalnya, di Makassar ini, tepat dalam perayaan 150 tahun buku Alfred Russel Wallace. Berbagai kegiatan akan dilakukan selama beberapa hari mendatang,” kata Femmy, di Rumata’ Art Space, Makassar, Jumat siang.
Pada perhelatan kali ini, Femmy melanjutkan, Pekan Wallacea diupayakan masuk lebih jauh dalam berbagai medium kegiatan. Selain diskusi dan simposium, juga ada pameran, bincang-bincang, pemutaran film, hingga pentas teater. Semua kegiatan ini mengangkat napas keberagaman dan kolaborasi dari berbagai pihak.
Menurut Femmy, semangat kolaborasi dan keberagaman tersebut sengaja didengungkan sesuai apa yang telah dipraktikkan Wallace selama menjelajahi sebagian wilayah Indonesia. ”Dalam setiap tulisannya, Wallace selalu memulai dengan kehidupan masyarakat yang beragam dan berkolaborasi dengan warga setempat untuk menuntaskan riset lapangan,” katanya.
Alfred Russel Wallace adalah seorang naturalis Inggris yang datang ke Indonesia lebih dari 160 tahun lalu untuk melakukan penelitian tentang keragaman hayati. Penjelajahan Wallace di banyak daerah tengah dan timur Indonesia tidak hanya menemukan begitu beragam dan kayanya flora dan fauna di wilayah ini, tetapi juga alam yang menakjubkan serta kehidupan masyarakat yang beragam.
Beberapa tahun setelah menjelajah, tepatnya pada 1869 atau 150 tahun lalu, ia menerbitkan saripati pencariannya sekaligus ensiklopedia pengetahuan dalam sebuah buku berjudul The Malay Archipelago. Wallace juga menyadari adanya perbedaan tipologi fauna di beberapa pulau di bagian timur Indonesia meski pulau tersebut berdekatan. Perbedaan dalam garis geografis itu dinamakan Garis Wallacea.
Kegiatan Pekan Wallacea, yang turut memperingati 150 tahun buku The Malay Archipelago ini, berusaha menerjemahkan semangat Wallace selama acara berlangsung. Salah satunya kolaborasi dengan berbagai instansi, lembaga, hingga pelaku seni budaya di sejumlah tempat, utamanya yang pernah disinggahi Wallace.
Kami berharap orang akan semakin tertarik untuk membincangkan serta memahami khazanah sains dan budaya yang kita miliki ini.
Lily Yulianti Farid, pendiri Rumata’ Art Space yang turut terlibat dalam kegiatan ini, menuturkan, kegiatan Pekan Wallacea merupakan kesempatan yang begitu baik untuk belajar dan mengetahui kekayaan Tanah Air. Dalam kegiatan ini, ada perayaan sains lintas disiplin dan pemaknaan baru dalam berbagai medium, yang diharapkan menjadi inspirasi bagi banyak orang.
”Di sini kami menggabungkan seni dan sains dalam satu gelaran, dengan semangat kolaboratif. Melalui berbagai medium, kami berharap orang akan semakin tertarik untuk membincangkan serta memahami khazanah sains dan budaya yang kita miliki ini,” kata Lily.
John Nickel, Head of Media and Communications Kedutaan Inggris di Jakarta, menuturkan, warisan Wallace begitu besar bagi banyak orang. Wallace menunjukkan betapa kaya dan uniknya Indonesia, dengan fauna, flora, hingga kehidupan masyarakatnya.
Akan tetapi, tambah John, salah satu warisan Wallace yang harus selalu dijaga adalah kerja sama yang kuat dalam menjaga lingkungan. Terlebih, tantangan dunia terberat saat ini adalah terjadinya perubahan iklim yang telah di depan mata.
”Menurut saya, ini yang harus dijaga ke depannya. Memang telah terjadi banyak kerusakan, tetapi peluang itu masih ada. Masih ada kesempatan dan masih ada harapan,” katanya.