Intervensi Personal Memperkuat Pencegahan Putus Sekolah
Melakukan advokasi personal kepada orangtua dan anak menjadi praktik baik intervensi kepada anak-anak putus sekolah dan belum pernah bersekolah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar dari Al Rayyan, Qatar
·4 menit baca
AL RAYYAN, KOMPAS — Melakukan advokasi personal kepada orangtua dan anak menjadi benang merah praktik baik intervensi kepada anak-anak putus sekolah ataupun belum pernah bersekolah. Kuncinya adalah melakukan penyaduran program nasional sesuai kebutuhan spesifik lokasi di tiap-tiap wilayah.
”Mau tidak mau, masalah anak putus sekolah atau tidak pernah bersekolah merupakan masalah yang harus langsung ditangani melalui keluarganya,” kata penyanyi sekaligus Duta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Shakira Mebarak, ketika berbicara di Simposium Inovasi Pendidikan Dunia (WISE) 2019 di Al Rayyan, Qatar, Kamis (21/11/2019). Ia merupakan pendiri Yayasan Pies Descalzos yang fokus memberikan pendidikan kepada anak-anak putus sekolah ataupun belum tersentuh oleh pendidikan formal di negara asalnya, Kolombia.
Shakira mengatakan, awalnya dirinya berusaha memberikan bantuan kepada anak-anak putus sekolah yang berada di jalanan. Namun, hal tersebut tidak berhasil karena mereka pada akhirnya menolak bersekolah dan memilih untuk bekerja meskipun tak jarang pekerjaan yang dilakukan lekat dengan berbagai tindakan kriminal. Setelah itu, ia bersama timnya melakukan kajian dan menemukan bahwa harus dilakukan intervensi langsung ke rumah-rumah.
Awalnya Shakira berusaha memberikan bantuan kepada anak-anak putus sekolah yang berada di jalanan. Namun, hal tersebut tidak berhasil karena mereka pada akhirnya menolak bersekolah dan memilih untuk bekerja.
Ada pendampingan terhadap orangtua mengenai pola pengasuhan anak yang baik. Ketika orangtua memahami inti dari pola tersebut, mereka dengan kesadaran sendiri memperbaiki komunikasi dengan anak dan mengajak anak agar kembali melanjutkan pendidikan.
Dari segi infrastruktur, Pies Descalzos membangun sekolah-sekolah di berbagai wilayah terpencil Kolombia yang hampir tidak tersentuh pembangunan. Selain itu, yayasan ini juga memberi modul pengajaran dan pelatihan guru berkala beserta panduan gizi keluarga untuk disebarluaskan kepada orangtua.
”Ketika ada sekolah, infrastruktur desa juga berkembang karena pemerintah daerah mulai menaruh investasi ke wilayah tersebut dengan membangun jalanan, listrik, dan pipa air bersih. Namun, lebih penting lagi adalah anak-anak menjadi berdaya menentukan keinginan. Mereka tidak lagi bergabung dengan sindikat kejahatan atau hidup di jalanan, tetapi fokus bersekolah atau mengambil jalur olahraga,” papar Shakira. Total sudah ada 50.000 anak yang tersentuh program ini.
Sepak bola
Sementara itu, selain pendekatan dari rumah ke rumah, di Paraguay pemerintah menggunakan sepak bola untuk ”menahan” anak-anak di sekolah. Ibu Negara Paraguay Silvana Abdo mengungkapkan, pada akhir abad ke-19, Paraguay memiliki tingkat literasi tertinggi di Benua Amerika karena setiap desa memiliki sekolah dan semua penduduk bisa membaca.
Di Paraguay, pemerintah menggunakan sepak bola untuk ”menahan” anak-anak di sekolah.
Pada tahun 1864-1870, negara itu mengalami perang melawan aliansi Brasil, Uruguay, dan Venezuela. Akibatnya, populasi Paraguay berkurang 70 persen. Hanya 180.000 perempuan dan 20.000 anak yang berhasil bertahan hidup. Dampak perang itu memukul pembangunan sumber daya manusia hingga ke zaman kegelapan.
”Hingga kini, masalah pendidikan menghadapi tantangan terbesar dalam pemenuhan angka partisipasi murni karena enam dari sepuluh anak Paraguay tidak lulus SD. Padahal, SD bebas biaya dan masuk program Wajib Belajar,” tutur Abdo.
Pembangunan infrastruktur sekolah dan pelatihan guru ternyata tidak cukup karena anak-anak telanjur dibesarkan dalam rumah tangga yang tidak mengutamakan pendidikan. Harus ada intervensi yang membuat anak melihat sekolah tidak sebagai tempat belajar saja, tetapi juga bermain dengan gembira.
Abdo mengatakan, strategi yang diambil pemerintah ialah menggunakan olahraga untuk mengembangkan minat dan bakat siswa, terutama sepak bola. Pemerintah mengalokasikan dana untuk melengkapi peralatan olahraga di sekolah-sekolah negeri dan swasta yang bebas dipakai siswa di jam istirahat, sebelum belajar, ataupun ketika jam sekolah sudah usai.
Strategi yang diambil Pemerintah Paraguay ialah menggunakan olahraga untuk mengembangkan minat dan bakat siswa, terutama sepak bola.
”Lebih baik mereka main bola sampai petang daripada nongkrong di jalanan. Metode ini juga memungkinkan pemantauan siswa yang berpotensi menjadi atlet profesional,” ujar Abdo.
Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) dan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB menjadi mitra dalam menyediakan alat-alat olahraga.
Metode rumah ke rumah ini sebenarnya sudah diterapkan di Indonesia melalui penggalakan kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Brasil memiliki program yang mirip dengan PKK, yaitu Criança Feliz, yang dikembangkan di bawah Kementerian Sosial negara itu pada tahun 2017. Para kader datang dari rumah ke rumah untuk memberikan pendampingan tentang cara mengasuh anak yang baik dan penyadaran pentingnya pendidikan bermutu.
Pengungsi
Pendiri dan Direktur Education Above All (EAA) Sheikha Moza bint Nasser mengatakan, organisasinya memetakan ada 58 juta anak putus sekolah. Angka ini merupakan gunung es karena tidak semua anak yang putus sekolah bisa terdeteksi. EAA mensponsori berbagai program di mancanegara untuk mengembalikan 10 juta anak ke sekolah.
”Inovasi yang dikembangkan saat ini fokus kepada anak-anak pengungsi dengan membangun tenda pengganti kelas yang nyaman sekaligus tahan segala cuaca. Desainnya dikembangkan oleh arsitek Zaha Hadid dan menjadi karya terakhirnya sebelum meninggal,” ujarnya.