”Wallacea Week”, Momentum Menghidupkan Lagi Keunikan Nusantara
Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Yayasan British Council, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, serta Kedutaan Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste menggelar Festival Wallacea Week 2019 di Makassar.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Yayasan British Council, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, serta Kedutaan Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste menggelar Festival Wallacea Week 2019 di Makassar, Sulawesi Selatan, 22-28 November. Festival digelar bertepatan dengan peringatan 150 tahun karya fenomenal Alfred Russel Wallace, The Malay Archipelago.
Festival akan berlangsung di Nipah Mall, Makassar, dengan tajuk ”Merawat Wallacea, Merawat Indonesia”. Pada penyelenggaraan festival kali ini, masyarakat diajak merawat dan menghidupkan lagi kecintaan pada keberagaman hayati dan budaya Indonesia.
Festival Wallacea Week terinspirasi dari buku The Malay Archipelago. Buku fenomenal itu berisi rincian pengamatan Wallace terhadap berbagai jenis flora dan fauna serta deskripsi keberagaman manusia di Nusantara.
Dewan Pembimbing Yayasan Wallacea Sangkot Marzuki di Jakarta, Selasa (19/11/2019), mengatakan, dunia mengakui kawasan Wallacea sebagai laboratorium alam dengan ekologi paling beragam.
Kawasan Wallacea masuk dalam garis imajiner Wallace yang membentang antara Pulau Bali dan Lombok serta Kalimantan dan Sulawesi. Garis itu menandai batas-batas timur terjauh spesies hewan Asia dan sebaliknya batas-batas barat terjauh binatang Australia.
Biodiversitas di kawasan itu berbeda dengan biodiversitas di Asia dan Australia ataupun belahan dunia lain. Sangkot mencontohkan tanaman cengkeh. Tanaman itu hanya ada di Ternate dan Tidore sebelum dibawa keluar oleh bangsa asing. Contoh lain, maleo di Sulawesi dan komodo di Nusa Tenggara Timur.
”Wallacea Week seharusnya menyegarkan ingatan tentang pentingnya kawasan Wallacea bagi Indonesia sekaligus mengembangkan pengetahuan tentang biodiversitas yang telah dirintis Wallace,” ujar mantan Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (2008-2018) itu.
Selain itu, tidak banyak yang tahu sosok Wallace termasuk pionir teori evolusi. Ide dan teori Wallace itu lahir dari perjalanannya di Nusantara selama periode 1854-1862.
Dalam suratnya kepada Darwin, Februari 1858, Wallace menyinggung bahwa inti teori evolusi adalah individu yang kuat akan mampu bertahan, sementara yang lemah akan punah. Pemikiran Wallace disebut-sebut membuat Darwin terperangah sehingga harus terburu-buru menerbitkan On the Origin of the Species. Bagi sebagian kalangan, Wallace adalah peletak dasar teori evolusi.
”Kekayaan alam yang luar biasa. Kawasan Wallacea menjadi laboratorium alam untuk mempelajari evolusi,” katanya.
Direktur British Council Indonesia Paul Smith menambahkan, kawasan Wallacea membuktikan bahwa Indonesia sangat kaya akan keberagaman serta merupakan rumah bagi begitu banyak keanekaragaman hayati dan warisan budaya.
Oleh karena itu, pihaknya mendukung berbagai upaya untuk menginspirasi kaum muda agar menekuni ilmu pengetahuan serta mendorong kolaborasi penelitian antara Indonesia dan Inggris.
Kontekstual
Festival ini mengontekskan buah-buah pemikiran Wallace dengan berbagai potensi dan tantangan kawasan Wallacea masa kini. Potensi dan tantangan itu seperti deforestasi, perburuan satwa, kekayaan laut, serta mereka yang berkarya untuk di bidang lingkungan, seni, dan budaya.
Pemikiran Wallace disebut-sebut membuat Darwin terperangah sehingga harus terburu-buru menerbitkan On the Origin of the Species. Bagi sebagian kalangan, Wallace adalah peletak dasar teori evolusi.
Tenaga Ahli Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Anneke Prasyanti mengatakan, masyarakat di kawasan Wallacea mempunyai kearifan lokal dalam memahami dan mengatasi persoalan di sekitarnya. Kearifan lokal itu bisa berdaya guna untuk ekonomi.
Contohnya pembangunan rumah. Masyarakat membangun rumah sesuai kondisi lingkungannya untuk menghindari musibah ketika terjadi bencana alam, seperti banjir, gempa, dan tsunami.
Selain itu, rumah juga memiliki fungsi agraria untuk menyimpan bibit dan cadangan pangan. ”Kearifan lokal ini tidak ada catatannya, jadi harus wawancara perorangan. Itu harus digali lagi dan didokumentasikan dalam pembangunan masa kini,” ujar Anneke.
Dalam tiga tahun terakhir, Anneke beserta timnya telah menyambangi 200 desa dan mewawancarai sekitar 100 warga. Tujuannya untuk memetakan kearifan lokal dalam membangun hunian yang dapat diaplikasikan untuk hunian wisatawan.
Dalam Festival Wallacea Week, pengunjung dapat menikmati instalasi seni sensorik yang interaktif berisi rekaman suara-suara bentang alam Indonesia, melihat pembuatan tenun dan kriya, serta mencicipi pangan lokal.
Suguhan lain berupa bincang-bincang dan pemutaran film dokumenter. Bincang-bincang menghadirkan pembicara antara lain sutradara Riri Riza, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, pendiri Javara Helianti Hilman, serta Aris Prasetyo dan Luki Aulia (jurnalis Kompas yang tergabung dalam Tim Ekspedisi Wallacea).
Sementara itu, film dokumenter yang akan diputar bertema alam dan budaya. Film itu, antara lain, Perempuan Tana Humba (Lasja F Susatyo), Hunters of the South Seas: Lamalera and Bajau (Will Millard), dan Jungle Hero (Bill Bailey).
Gelaran musik, puisi, dan teater dari seniman lokal akan turut mewarnai Festival Wallacea Week. Gelaran tahun ini ditutup dengan simposium ilmiah bertajuk ”Wallacea Frontiers of Science”.