Sekitar 20 juta penduduk di Indonesia masih belum memiliki akses terhadap jamban. Belum tercukupinya sanitasi yang aman menjadi momok bagi sebagian masyarakat, terutama anak-anak.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekitar 20 juta penduduk di Indonesia masih belum memiliki akses terhadap jamban. Belum tercukupinya sanitasi yang aman menjadi momok bagi sebagian masyarakat, terutama anak-anak, karena hal itu memicu berbagai penyakit infeksi, tengkes, dan meningkatkan risiko kematian, terutama pada anak-anak berusia di bawah lima tahun.
Oleh karena itu, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-Anak (Unicef) bekerja sama dengan pemerintah dan masyarakat sipil memastikan akses air bersih dan penanganan limbah di setiap wilayah terlaksana dengan baik.
Kepala Perwakilan Unicef untuk Indonesia Debora Comini mengungkapkan dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (11/11/2019), data Unicef menunjukkan masih ada 20 juta penduduk Indonesia tidak memiliki akses ke jamban. Hal itu meningkatkan risiko kesehatan dan pencemaran yang terjadi.
Masyarakat tanpa akses sanitasi ini tersebar di Nusantara dalam kantong-kantong masalah lingkungan. Ragamnya juga ada yang di perkotaan, perdesaan, hingga wilayah antara kota dan desa.
”Ketiadaan sanitasi berarti risiko infeksi bakteri sangat tinggi bagi warga, apalagi anak-anak. Mereka bisa terkena diare dan berbagai penyakit lainnya. Infeksi juga mengakibatkan tengkes (stunting) yang membuat anak tidak bisa tumbuh maksimal. Bahkan, nirsanitasi ini juga membawa risiko kematian tinggi bagi anak-anak,” tuturnya.
Hal itu sejalan dengan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang mengungkap hanya 57,9 persen warga yang membuang tinja anak usia di bawah lima tahun (balita) ke dalam jamban. Sebanyak 33,5 persen warga membuang tinja dan juga popoknya sembarangan. Adapun 3,7 persen warga mengaku mengubur popok dan anak tinja balita di tanah dan 4 persen membersihkan kotoran anak balita dan juga mengganti popok di sembarang tempat.
”Ini bukan soal status ekonomi, tetapi karena kurangnya pengetahuan orangtua, komunitas, ataupun pemerintah daerah mengenai metode sanitasi yang tidak hanya bersih, tetapi juga aman,” ujar Comini.
Data Riskesdas 2018 juga memperlihatkan buruknya penampungan limbah rumah tangga. Baru 18,8 persen warga Indonesia memiliki penampungan limbah tertutup. Mayoritas sebanyak 51 persen langsung membuang limbah kamar mandi dan cucian ke selokan dan kali, 18,9 persen membuang ke tanah di luar rumah, dan 11,2 persen warga mengaku menampungnya di bak terbuka.
Pakar Kemitraan Unicef Dayce Sjaflan menjelaskan, mengubur di tanah ataupun menampung di bak terbuka memiliki risiko pencemaran tinggi karena bakteri akan meresap ke tanah dan air. Penyakit-penyakit menular tetap sukar dihindari apabila lingkungan tidak mendukung.
Sejauh ini, respons pemerintah daerah beragam. Ada pemda yang setelah diberi pemahaman cepat tanggap melakukan perubahan, tetapi juga ada pemda yang meminta pendampingan untuk setiap tahap intervensi.
Metode yang paling awam diterapkan ialah membangun sarana mandi, cuci, dan kakus untuk warga yang limbahnya ditampung di dalam tangki. Mobil penyedot rutin datang untuk mengosongkan tangki dan limbahnya dibawa ke instalasi pengolahan air limbah daerah untuk diproses.
Duta Unicef
Untuk menggalakkan kampanye sanitasi aman, Unicef mengangkat Nicholas Saputra sebagai duta. Ia merupakan duta kedua yang diangkat Unicef setelah aktor dan pembawa acara Ferry Salim dipercaya mengemban tugas tersebut pada 2004. Nicholas akan mengampanyekan berbagai program Unicef terkait hak-hak anak, terutama di bidang sanitasi aman.
”Tentunya saya juga berusaha memberikan kontribusi berupa sudut pandang dan pengalaman selama ini yang bergerak di bidang lingkungan hidup,” tutur aktor yang juga giat mengampanyekan kelestarian lingkungan ini.
Tahun 2019 Nicholas turut bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuat film dokumenter Semesta mengenai praktik baik berbagai komunitas di Tanah Air dalam menjaga lingkungan sekitar, di wilayah urban maupun rural.
Nicholas menambahkan, pelestarian lingkungan sangat bergantung kepada kepedulian generasi muda, terutama anak-anak. Pendidikan dan penerapan sanitasi aman sangat penting karena mengintervensi masalah keberlanjutan alam di tingkat lingkungan terkecil, yaitu alam. Harapannya, jika masyarakat memiliki kesadaran untuk memastikan lingkungan tempat tinggalnya bersih, sehat, dan asri, mereka mau mempraktikkannya pada skala lebih besar.
Menurut Comini, pemilihan Nicholas sebagai duta melalui proses panjang karena pihaknya merunut daftar berbagai individu ternama, seperti bintang film, model, olahragawan, tokoh pendidikan, pemusik, dan pegiat yang dianggap berpotensi menjadi duta.
Mereka harus memiliki rekam jejak yang baik di kehidupan pribadi dan publik, terutama mampu memperlihatkan komitmen menjalankan pola hidup yang sesuai dengan nilai-nilai perlindungan anak dan lingkungan.