Kota Bandung Targetkan Bebas Kawasan Kumuh di Akhir 2019
Luas permukiman kumuh di Kota Bandung mencapai 717,068 hektar. Jumlah itu sekitar 4,28 persen dari wilayah ”Kota Kembang”. Pemerintah Kota Bandung menargetkan bebas kawasan kumuh pada akhir 2019.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
Kompas
Rumah warga memadati sekitar aliran Sungai Cikapundung di Tamansari, Kota Bandung, Jawa Barat. Pemerintah Kota Bandung menargetkan bebas kawasan kumuh pada akhir 2019.
BANDUNG, KOMPAS — Pemerintah Kota Bandung menargetkan bebas kawasan permukiman kumuh pada akhir 2019. Kolaborasi dengan masyarakat dan swasta dibutuhkan karena keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah.
Luas permukiman kumuh di Kota Bandung mencapai 717,068 hektar. Jumlah itu sekitar 4,28 persen dari total wilayah ibu kota Jawa Barat ini. Kawasan kumuh tersebut tersebar di 112 kelurahan dari total 151 kelurahan. Jumlah itu diklaim berkurang dibandingkan dengan tahun 2015 sebanyak 121 kelurahan dengan luas 1.457, 45 hektar.
”Penurunan luas kawasan kumuh dalam beberapa tahun terakhir cukup signifikan. Kami akan kejar target Kota Bandung bebas kawasan kumuh tercapai pada akhir 2019,” ujar Sekretaris Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pertanahan, dan Pertamanan Kota Bandung Agus Hidayat di Balai Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (7/11/2019).
Sekretaris Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pertanahan, dan Pertamanan Kota Bandung Agus Hidayat di Balai Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (7/11/2019).
Agus menjelaskan, upaya menata kawasan kumuh menyasar tujuh indikator yang telah ditetapkan. Indikator itu adalah bangunan gedung, jalan lingkungan, penyediaan air minum, dan drainase. Selain itu, ada juga pengelolaan air limbah, tata kelola sampah, serta proteksi kebakaran.
Salah satu upaya mengejar target itu melalui program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku). Tahun ini, Pemkot Bandung menerima gelontoran dana Rp 123,5 miliar dari pemerintah pusat untuk menjalankan program tersebut.
Agus menuturkan, dana itu diharapkan mengentaskan kawasan kumuh di 81 kelurahan dengan luas 300-400 hektar. Sementara sisanya menggunakan APBD Kota Bandung sekitar Rp 40 miliar serta dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Khusus untuk memenuhi indikator kelaikan bangunan gedung, akan digelontorkan dana sekitar Rp 27 miliar untuk memperbaiki 1.800 rumah tidak layak huni (rutilahu). Artinya, setiap rumah mendapat bantuan perbaikan hingga Rp 15 juta.
Akan tetapi, kuota tersebut masih terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah rutilahu di Kota Bandung sebanyak 15.084 unit. Rutilahu itu tersebar di 30 kecamatan. Jumlah terbanyak berada di Kecamatan Bojongloa Kaler, yakni 1.603 unit, Bojongloa Kidul (1.528 unit), dan Ujungberung (1.086 unit).
Menurut Agus, perbaikan rutilahu tidak hanya dibebankan pada anggaran pemerintah. Oleh sebab itu, dia berharap pada bantuan dana CSR dan inisiatif masyarakat. ”Tidak semua anggaran digunakan untuk memperbaiki rutilahu. Sebab, indikator lain juga mendesak dibenahi, salah satunya sanitasi,” ujarnya.
Diperlukan kolaborasi untuk mencapai target bebas kawasan kumuh, termasuk kontribusi masyarakat untuk menata permukimannya.
Agus mengakui, masih ada warga Bandung yang buang air sembarangan. Oleh karena itu, pihaknya juga akan membangun septic tank komunal untuk membenahi sanitasi. Menurut dia, terdapat sejumlah faktor penghambat untuk menata kawasan kumuh, seperti urbanisasi, keterbatasan lahan dan dana, serta kesadaran penduduk.
”Beberapa warga di permukiman kumuh tidak merasa lingkungannya kumuh. Jadi, belum sejalan dengan program pemerintah,” ujarnya.
Sebagian kawasan kumuh terletak di sekitar sungai, seperti di pinggir Sungai Citepus di Astanaanyar, dan Sungai Cikapundung di Bandung Wetan. Bangunan rumah yang terlalu rapat membuat udara di permukiman itu pengap. Drainasenya juga minim dan sempit sehingga gampang meluap saat hujan.
Warga Kelurahan Cibadak, Astanaanyar, Kota Bandung, Jawa Barat, membersihkan rumahnya yang terendam banjir, Jumat (1/11/2019) sore. Banjir setinggi sekitar 1,5 meter akibat luapan Sungai Citepus tersebut merendam puluhan rumah warga.
Sejumlah warga mengaku nyaman dengan kondisi seperti itu. ”Keluarga saya sudah tinggal di sini selama tiga generasi. Tidak ada hal mendesak untuk pindah,” ujar Fajar (30), warga Astanaanyar.
Fajar berharap, penataan kawasan kumuh tidak hanya menyasar bantuan per rumah tangga. Menurut dia, masyarakat lebih membutuhkan bantuan dan penyelesaian masalah yang bermanfaat secara kolektif.
”Di kawasan ini rawan banjir. Seharusnya hal ini lebih diprioritaskan karena sangat dibutuhkan semua warga,” lanjutnya.