Indonesia Mesti Pertahankan Posisi di Kancah Global
Indonesia harus mempertahankan posisinya di dunia penerbangan internasional. Hal ini penting untuk mempertahankan reputasi industri penerbangan Indonesia yang sempat terpengaruh kejadian kecelakaan tersebut.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses persidangan Boeing dan Federal Aviation Administration atas kecelakaan pesawat Boeing 737 MAX 8 PK-LQP milik maskapai Lion Air bernomor penerbangan JT-610 dan Ethiopian Airlines tengah berlangsung. Selama proses persidangan ini, Indonesia perlu mempertahankan posisi industri penerbangannya di tingkat internasional.
Presiden Direktur Aviatory Indonesia Ziva Narendra mengatakan, Indonesia sebagai negara anggota International Civil Aviation Organization (ICAO) sekaligus korban kecelakaan pesawat Boeing harus mempertahankan posisinya di dunia penerbangan internasional. Hal ini penting untuk mempertahankan reputasi industri penerbangan Indonesia yang sempat terpengaruh kecelakaan tersebut.
Persepsi konsumen pengguna pesawat, khususnya wisatawan mancanegara, terhadap penerbangan Indonesia harus pulih kembali.
”Melalui hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dan tindak lanjut perbaikan, baik yang dilakukan pemerintah maupun perusahaan maskapai, Indonesia telah menunjukkan komitmennya dalam keselamatan penerbangan,” kata Ziva kepada Kompas, di Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Indonesia sebagai negara anggota International Civil Aviation Organization (ICAO) sekaligus korban kecelakaan pesawat Boeing harus mempertahankan posisinya di dunia penerbangan internasional.
Selain itu, Ziva menyatakan, Lion Air Indonesia berhak meminta fasilitasi pemerintah untuk memulihkan nama baik pasca-kecelakaan. Dari hasil investigasi KNKT, faktor dominan penyebab kecelakaan itu adalah ketidakakuratan sensor pesawat.
Lion Air Indonesia juga berhak menuntut kerugian ekonomi pada Boeing dan Federal Aviation Administration (FAA). ”Kerugian ekonomi itu terdiri dari nilai investasi dan nilai potensi pendapatan yang hilang akibat tidak beroperasinya pesawat Boeing 737 MAX 8 yang telah dibeli,” ujarnya.
Pada 29 Oktober 2018, pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT-610 jatuh di lepas pantai Karawang, Jawa Barat. Sebanyak 189 penumpang dan awak pesawat tewas dalam peristiwa itu.
Akhir pekan lalu, KNKT menyebutkan, kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 dipicu oleh sembilan faktor. Selama ini memang tidak pernah ada faktor tunggal dalam sebuah kecelakaan pesawat. Salah satu temuan adalah tidak berfungsinya lampu indikator untuk menunjukkan perbedaan antara angle of attack (AOA) sensor kiri dan kanan.
Padahal, tanpa indikator itu, pilot tidak mengetahui ketidakakuratan AOA yang mengaktifkan sistem manuver pesawat (maneuvering characteristics augmentation system/MCAS). Akibatnya, setelah sistem mengambil alih kendali, pilot langsung kehilangan kendali atas pesawat Lion Air rute Jakarta-Pangkal Pinang itu.
”Pilot dan kopilot Lion Air penerbangan itu juga tidak berkomunikasi dan berkoordinasi dengan baik. Yang satu mengendalikan pesawat, yang satu mencari informasi di buku manual meski sulit menemukan petunjuknya di buku manual,” kata investigator kecelakaan penerbangan KNKT, Ony Suryo Wibowo.
Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono menyatakan, KNKT telah bersurat kepada pihak otoritas yang tengah menjalani investigasi terhadap kecelakaan pesawat Boeing 737 MAX 8 milik Ethiopian Airlines. Ada kesamaan faktor penyebab kecelakaan pesawat sehingga Indonesia menawarkan bantuan investigasi.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Polana B Pramesti mengatakan, pemerintah telah melarang pengoperasian semua pesawat jenis Boeing 737 MAX 8 yang ada di Indonesia. Larangan itu telah dilakukan sejak Maret 2019 atau setelah kecelakaan Ethiopian Airlines pada Maret 2019.
”Pelarangan penerbangan itu diterapkan berdasarkan Continues Airworthinnes Notification to the International Community yang diterbitkan FAA pada tanggal 13 Maret 2019,” ujarnya.