Pembiayaan Energi Terbarukan Tak Banyak Peminat, Perbaiki Ekosistem Investasi
Pembiayaan investasi untuk proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia belum banyak diminati. Selain berisiko tinggi, investasi energi hijau dinilai bukan untuk tujuan komersial.
Oleh
karina isna irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembiayaan investasi untuk proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia belum banyak diminati. Selain berisiko tinggi, investasi energi hijau dinilai bukan untuk tujuan komersial. Oleh karena itu, perlu keseriusan pemerintah memperbaiki ekosistem investasi secara holistik.
Associate Director Climate Policy Initiative Tiza Mafira mengatakan, tantangan pengembangan energi terbarukan di Indonesia berbeda dengan mayoritas negara. Di Indonesia, energi terbarukan sulit berkembang bukan hanya karena persoalan teknologi, tetapi persepsi. Investasi energi terbarukan dinilai tidak komersial.
”Di satu sisi, pemerintah berupaya mendorong pengembangan energi terbarukan. Namun, di sisi lain, pembiayaan bagi energi konvensional masih tinggi, terutama minyak dan batubara. Akibatnya, investasi energi terbarukan dinilai tidak komersial,” ujar Tiza dalam salah satu panel diskusi kinerja SDG One Indonesia di Jakarta, Senin (28/10/2019).
Pembiayaan bagi energi konvensional masih tinggi, terutama minyak dan batubara. Akibatnya, investasi energi terbarukan dinilai tidak komersial.
Sejauh ini pemerintah juga belum serius membangun ekosistem investasi energi terbarukan. Banyak perbankan dan investor yang tidak familiar dengan pembiayaan untuk proyek-proyek energi terbarukan. Hal itu karena tenor pembiayaan investasi relatif panjang, setidaknya 10 tahun untuk setiap proyek.
Tiza mengemukakan, perbaikan ekosistem investasi energi terbarukan dibutuhkan untuk menarik lebih banyak modal. Salah satu caranya dengan harmonisasi aturan dan pemberian insentif.
Dengan cara itu, investasi proyek-proyek energi terbarukan bisa lebih menguntungkan dan dianggap komersial. ”Permasalahannya, acap kali pemerintah punya banyak rencana dan skema, tetapi tidak ada yang direalisasikan,” ucap Tiza.
Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Edwin Syahruzad mengatakan, pembiayaan investasi untuk proyek-proyek energi terbarukan mesti didesain lebih hati-hati. Pembiayaan campuran (blended finance) menjadi solusi mencegah kenaikan rasio kredit macet (non-performing loan/NPL) perusahaan.
Skema pembiayaan campuran merupakan kombinasi antara dana publik dan dana swasta untuk pembangunan proyek, termasuk energi terbarukan. Dalam platform SDG One Indonesia, PT SMI menyediakan empat skema pembiayaan campuran, yaitu fasilitas pengembangan, fasilitas derisiko, fasilitas pembiayaan, dan pendanaan ekuitas.
”Risiko pembangunan proyek energi terbarukan masih relatif tinggi sehingga desain pembiayaan investasi harus dirancang sedemikian rupa,” ujar Edwin.
PT SMI telah memfasilitasi skema pembiayaan atas pinjaman Geothermal Resource Risk Mitigation (GREM) dari Bank Dunia, Green Climate Fund (GCF), dan Clean Technology Fund (CTF)senilai 120 juta dollar AS untuk pengembangan wilayah kerja panas bumi. Eksekusi pembangunan ditargetkan paling cepat 2020.
Nilai komitmen yang dikelola PT SMI per Oktober 2019 mencapai 3,05 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 42,8 triliun. Sebagian besar dana digunakan untuk pembiayaan infrastruktur yang terkait dengan program pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi
Country Representative Global Green Growth Institute (GGGI) Indonesia Marcel J Silvius menuturkan, energi terbarukan harus dikembangkan sedini mungkin. Pemerintah harus berusaha lebih keras menarik lebih banyak modal swasta ke dalam negeri.
”Tanpa energi berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terus melambat,” katanya.
Tanpa energi berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terus melambat.
Laporan Low Carbon Development Indonesia (Pembangunan Rendah Karbon Indonesia) yang dirilis Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menyebutkan, pertumbuhan ekonomi dapat dicapai lebih tinggi apabila Indonesia menggunakan energi dengan emisi karbon yang rendah atau energi bersih dalam aktivitas ekonomi (Kompas, 18/10/2019).
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tanpa penerapan kebijakan energi bersih (business as usual) akan mencapai 5 persen pada 2024 dan 4,3 persen pada 2045. Sementara itu, apabila Indonesia mengadopsi kebijakan energi bersih, pertumbuhan ekonomi akan mencapai 5,6 persen pada 2024 dan 6 persen pada 2045.
”Indonesia akan semakin sulit mendorong pertumbuhan ekonomi pada 2030 jika kebijakan energi terbarukan stagnan,” ujar Silvius.
Ia menambahkan, pengembangan energi terbarukan juga turut menciptakan lapangan kerja baru lebih banyak. Produktivitas pekerja di sektor energi hijau akan meningkat yang akhirnya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Persoalan lingkungan, seperti kebakaran hutan, juga mungkin teratasi.