Kilau Harta Karun di Kanal
Ratusan orang sibuk melimbang tanah di kanal di dalam konsesi sebuah perusahaan swasta di Desa Pelimbangan, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Satu alasan: menemukan emas! Ya, emas.
Beberapa bulan terakhir, ratusan orang sibuk melimbang tanah di kanal di dalam konsesi sebuah perusahaan swasta di Desa Pelimbangan, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Satu alasan: menemukan emas! Ya, emas tua yang bernilai ekonomi cukup tinggi. Berharap uang dari kilau emas itu sejumlah risiko pun diterabas.
Dengan cekatan, Cili (35), warga Muara Sungai Kelese, Desa Simpang Tiga Induk, Kecamatan Tulung Selatan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, melimbang (mengayak dalam nyiru) tanah yang dia keruk dari kanal perusahaan di Desa Pelimbangan, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Selasa (8/10/2019). Matanya menyelidik. Saat melihat benda berkilau, tangannya lincah memilah serpihan itu, lalu ia masukkan ke botol bekas minuman soda yang ia kalungkan.
Tiga hari lewat ia lakoni aktivitas itu. Tak sendiri, ada sekitar 100 orang beraktivitas di kanal saat itu. Mereka ada yang datang dari Palembang, berjarak hampir 10 jam perjalanan darat melalui jalan rusak. Di sana, ada pemburu harta karun menggunakan cangkul. Ada juga yang menggunakan alat pendeteksi logam yang terkubur di dalam tanah.
Siang itu, Cili mencari secara manual, mengeruk tanah, lalu mengayak dengan air hingga menemukan serpihan logam mulia atau manik-manik. Terik mentari dan hujan ringan bukan halangan. Masih jauh lebih kuat hasrat menemukan harta di kanal selebar 5 meter sedalam 1 meter itu.
Sejauh ini pria yang juga nelayan itu pernah memperoleh serpihan emas 5 gram sehari senilai Rp 3,5 juta. ”Mencari harta karun hanya musim kemarau saat tangkapan ikan berkurang,” tuturnya. Pendapatannya sebagai nelayan rata-rata hanya Rp 50.000 per hari. Demi mencapai lokasi kanal, warga harus melewati kanal kecil dan meniti jembatan kayu gelam. Di sisi kanal, beberapa pemburu emas memasang tenda sederhana.
Informasi keberadaan harta karun di Desa Pelimbangan didapat dari teman Cili yang melihat benda berkilau menempel di dinding kanal. Ternyata, benda itu serpihan emas. Tersebar cepat, warga berbondong-bondong datang ke kanal. Tidak hanya dari Kecamatan Cengal, pemburu harta karun juga berasal dari Kecamatan Tulung Selapan. Selain emas, Cili juga menemukan manik-manik beragam warna di kanal itu. Jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang emas.
Harga karet terus turun, sekarang Rp 6.000 per kilogram. Lebih baik cari harta karun.
Hingga kemarin, ratusan warga masih memburu harta karun di Cengal. Namun, lokasi bergeser ke Desa Talang Rimba. ”Mereka berpindah karena menilai emas di kawasan Pelimbangan sudah berkurang,” kata Ringgo, warga Desa Talang Rimba, Minggu (27/10/2019). Mencari harta karun, kata Ringgo, sebenarnya bukan hal baru di Sumsel. Selalu terjadi setiap kemarau, ketika kanal atau sungai surut. Hanya, selama ini tak terekspos.
Itu dibenarkan Kori Kawilara (47), warga Desa Pelimbangan. Aktivitas perburuan di Kecamatan Cengal, misalnya, terjadi sejak 2015 seusai kebakaran lahan melanda kawasan itu. Hasil berburu harta karun jauh lebih besar dibandingkan dengan menyadap karet. ”Harga karet terus turun, sekarang Rp 6.000 per kilogram. Lebih baik cari harta karun,” ujarnya.
Beberapa daerah jadi incaran, yakni Kecamatan Cengal, Tulung Selapan, dan Air Sugihan. Pesisir timur Sumatera itu ”gudang” harta karun. ”Biasanya tersimpan di aliran sungai tua,” kata Kori. Tidak hanya di Sumsel, ia juga berburu hingga pesisir Pulau Bangka.
Pengalaman Kori, jika ada guci atau keramik kuno di lokasi, tak jauh dari sana juga ada emas dan manik-manik. Guci dan keramik tidak diincar karena dinilai tidak berharga, kecuali jika guci masih utuh. Pecahan keramik dan gerabah selalu dibuang.
Harga emas dan manik
Harga emas dan manik-manik temuan tidak ada patokan khusus karena bukan buatan pabrik zaman modern. Harga manik-manik pun bervariasi, mulai Rp 50.000 hingga Rp 400.000 per ons. Namun, yang berjenis mata setan dan mata kucing bisa Rp 5 juta per butir. Ada juga yang membeli Rp 3 juta per ons.
Pedagang emas di Desa Sungai Jeruju, Kecamatan Cengal, Lefi Lestari (30), mengatakan, sejak 2015 ia membeli emas dari para pemburu. ”Saya tidak tahu hasil buruan atau tidak. Selama itu emas, saya beli,” katanya. Namun, oleh karena bentuknya unik, ia yakin perhiasan itu bukan dari masa kini. Ada yang berupa serpihan, cincin, anting, dan lempengan utuh atau cuil.
Selain bentuknya unik, biasanya emas buruan memiliki kadar karat 18-22 karat. Lefi pernah membeli 43 gram serpihan emas warga senilai Rp 28 juta. Serpihan itu hasil galian di kawasan Tulung Selapan. Lefi mengatakan, ia tak berniat menjual barang-barang unik itu. Ia tahu barang itu memiliki nilai sejarah tinggi.
Kori, yang selama ini juga berburu, tidak tahu betul dari mana asal muasal emas-emas itu, peninggalan sejarah atau bukan. Asalkan emas atau manik-manik itu bisa dijual, dia akan terus memburu. ”Yang pasti, emas ini dari nenek moyang,” ujar Kori. Selama ini para pemburu harta karun tidak kesulitan menjual temuan emas atau manik-manik. Para pengumpul akan mendatangi dan menawar. Mereka datang dari berbagai tempat, di antaranya Ogan Komering Ilir dan Palembang.
Kepala Balai Arkeologi Sumatera Selatan Budi Wiyana belum bisa memastikan apakah kawasan perburuan warga itu peninggalan zaman Sriwijaya. Namun, ketika ia meneliti di kawasan Air Sugihan, ada beberapa penemuan, seperti kayu kapal, guci, tempayan, dan tiang yang diduga bagian dari permukiman kuno. Temuan itu memperkuat dugaan bahwa kawasan pantai timur merupakan kawasan penting pada masa sebelum Kerajaan Sriwijaya, saat masih eksis, hingga Kesultanan Palembang Darusalam.
Kami berharap setiap benda yang ditemukan warga segera dilaporkan sehingga bisa disesuaikan dengan konteks sejarah di lokasi tersebut.
Menurut Budi, memang di sejumlah kawasan lokasi perburuan warga belum ada yang dijadikan tempat penelitian arkeologi. Belum ada satu pun yang jadi situs cagar budaya. Meski demikian, aktivitas ini dikhawatirkan akan menyulitkan peneliti menyusun alur sejarah. ”Kami berharap setiap benda yang ditemukan warga segera dilaporkan sehingga bisa disesuaikan dengan konteks sejarah di lokasi tersebut,” ujarnya.
Status kawasan
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ogan Komering Ilir Nila Maryati mengatakan, memang belum ada satu pun kawasan di Ogan Komering Ilir yang ditetapkan sebagai cagar budaya, termasuk tempat perburuan harta karun oleh warga saat ini.
Hal itu karena pihaknya belum memiliki tim ahli cagar budaya. Tim itulah yang bertugas merekomendasikan kepala daerah untuk menetapkan terduga cagar budaya menjadi cagar budaya. Oleh karena itu, kata Nila, yang terpenting saat ini adalah melakukan sosialisasi kepada warga untuk mendaftarkan barang temuan kepada pihak berwenang. ”Kami sulit untuk mencegah aktivitas ini karena berkaitan dengan perekonomian masyarakat,” ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Seksi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi Ignatius Suharno mengatakan, walau kawasan itu belum menjadi situs cagar budaya, benda-benda yang ditemukan diduga benda cagar budaya yang harus diperlakukan sama dengan benda cagar budaya. ”Benda yang ditemukan warga sudah dilindungi Undang-Undang Cagar Budaya meski belum berstatus benda cagar budaya,” ujarnya.
Atas dasar itu pula, Kepolisian Sektor Cengal memasang spanduk peringatan yang mencantumkan pasal, termasuk sanksi bagi warga yang melakukan perburuan. Kapolsek Cengal Inspektur Satu Eko Suseno mengimbau warga tidak lagi melakukan pencarian harta karun di daerah tersebut karena merupakan tindakan ilegal.
Berdasarkan Pasal 26 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, setiap orang dilarang mencari benda cagar budaya atau yang diduga cagar budaya dengan penggalian, penyelaman, dan atau pengangkatan di darat kecuali dengan izin pemerintah. Pada Pasal 26 Ayat 4 tertulis, setiap orang yang menemukan benda diduga cagar budaya wajib melaporkannya ke instansi berwenang di bidang kebudayaan paling lama 30 hari setelah ditemukan.
Ternyata kegiatan ini dilarang, ya? Kami datang cuma untuk cari makan.
Berdasarkan UU Cagar Budaya pula, lanjut Eko, bagi orang yang tanpa izin pemerintah daerah mencari cagar budaya dapat dijerat sanksi pidana paling lama 10 tahun penjara dan denda Rp paling banyak Rp 1 miliar (Pasal 103). Adapun yang tidak melaporkan temuan dapat dipidana paling lama lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp 500 juta (Pasal 102).
Eko juga menyiagakan dua polisi untuk menjaga lokasi agar tidak lagi didatangi para pemburu harta karun itu. Namun, ternyata tak semua pemburu harta atau warga tahu itu. Witri (20), warga Dusun Sungai Kelese, Kecamatan Tulung Selapan, itu belum tahu ada larangan terkait itu. ”Ternyata kegiatan ini dilarang, ya? Kami datang cuma untuk cari makan,” ujarnya yang datang melimbang bersama suami dan anaknya.