Dominggus (50) datang membawa botol berisi madu berwarna keruh kekuningan. Ia mengambilnya langsung dari sarang. ”Ini kalau dijual bisa laku Rp 50.000,” katanya. Lebah madu itu hanya sedikit dari berkah Gandang Dewata.
Oleh
Aris Prasetyo
·4 menit baca
Dominggus (50) datang membawa botol berisi madu berwarna keruh kekuningan. Ia mengambilnya langsung dari sarang. ”Ini kalau dijual bisa laku Rp 50.000,” katanya. Lebah madu itu hanya sedikit dari berkah Gunung Gandang Dewata.
Sehari-hari, Dominggus bercocok tanam di kebun dan sawah. Seperti kebanyakan warga Desa Buntu Buda, Kecamatan Mamasa, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, pertanian dan perkebunan merupakan mata pencarian pokok mereka. ”Kalau ada tamu yang naik gunung, saya dan beberapa teman kerap menjadi pemandu sekaligus pembawa barang-barang selama pendakian,” ucap Dominggus.
Dominggus dan kedua temannya, Tandi Karaeng (48) dan Deppa Sule (34), adalah pemandu Gunung Gandang Dewata yang andal. Selain tangguh membawa beban ke puncak gunung dengan medan terjal, mereka juga cekatan untuk urusan membangun tenda, memasak, hingga membuat api unggun. Peneliti, turis asing, dan juga turis lokal sudah mereka layani, termasuk Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas saat mendaki Gandang Dewata pada pertengahan Agustus 2019.
Bagi warga yang tinggal di kaki Gandang Dewata, gunung dengan ketinggian 3.074 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu bukan sekadar bentang alam biasa. Turun-temurun, warga di sana bergantung pada hasil hutan yang ada di gunung tersebut, seperti kayu, berbagai jenis tanaman obat, madu hutan, getah damar, dan sumber air yang tak pernah kering sepanjang masa.
Dalam adat Mamasa, gendang dibunyikan saat ada kematian seseorang. Sepulang dari hutan, pemburu mendapati salah satu kerabat mereka meninggal.
Nama Gandang Dewata diambil dari pengalaman para pemburu di hutan. Lewat penuturan turun-temurun, pemburu kerap mendengar suara gendang bertalu-talu saat berburu di dalam hutan. Padahal, perkampungan terdekat cukup jauh, yaitu berjarak dua-tiga hari perjalanan dari hutan. Dalam adat Mamasa, gendang dibunyikan saat ada kematian seseorang. Sepulang dari hutan, pemburu mendapati salah satu kerabat mereka meninggal.
Di masa lalu, Gandang Dewata juga menjadi tempat perburuan fauna endemik Sulawesi, yakni anoa pegunungan (Bubalus quarlesi). Binatang yang mirip perpaduan sapi dan kerbau dengan sepasang tanduk runcing ke atas tersebut ditangkap dengan jerat yang banyak dipasang di dalam hutan.
”Dalam sekali perburuan berkelompok, kami bisa mendapat 10 anoa. Selain anoa, warga juga berburu babi rusa,” kenang Thimotius Sambominanga (91), juru kunci Gunung Gandang Dewata.
Rapuh
Gandang Dewata yang memiliki keanekaragaman hayati luar biasa akhirnya ditetapkan sebagai taman nasional lewat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bernomor SK.773/MENLHK/Setjen/PLA.2/10/2016. Taman nasional tersebut memiliki luas 189.208,17 hektar dan membentang di empat kabupaten di Sulawesi Barat, yaitu Mamuju, Mamuju Utara, Mamuju Tengah, dan Mamasa.
Dengan wilayah seluas itu, Gandang Dewata hanya dijaga lima personel jagawana. Akses masuk ke Gandang Dewata yang sulit dan berat menjadi penyelamat keutuhan kekayaan sumber daya hayatinya. Kemiringan 45 derajat sampai 70 derajat dan permukaan tanah berselimut lumut licin membuat payah siapa pun yang mendakinya.
”Sebagai taman nasional yang baru dibentuk, kami memang sedang berbenah. Untuk pengamanan kawasan, kami prioritaskan di daerah yang berbatasan langsung dengan permukiman warga,” ujar Kepala Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan Thomas Nifinluri.
Potensial
Di mata ilmuwan, Gandang Dewata adalah laboratorium alam raksasa. Selain menjadi habitat bagi flora-fauna endemik Sulawesi, gunung tersebut menyimpan beragam jenis tanaman dan satwa yang berpotensi sebagai jenis baru, seperti jenis jahe-jahean, tikus, katak, dan anggrek.
”Gandang Dewata bisa disebut habitat asli kawasan Wallacea yang paling utuh. Ekosistemnya yang unik melahirkan beragam flora dan faunanya yang khas. Sayangnya, belum banyak penelitian ilmiah di Gandang Dewata,” ujar Profesor Ngakan Putu Oka, pakar ekologi pada Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Gandang Dewata juga memiliki hutan lumut yang menawan bak hutan purba. Hutan lumut tersebut bisa ditemui mulai dari ketinggian 2.000 mdpl. Kawasan itu berpotensi dikembangkan sebagai obyek wisata minat khusus. Dalam laporan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Gandang Dewata pada 2016 ditemukan berbagai jenis flora dan fauna yang berpotensi sebagai jenis baru. Selain itu, identifikasi sumber daya hayati di Gandang Dewata diharapkan mampu menemukan potensi sumber bioenergi, pangan, ataupun obat-obatan.
Gandang Dewata yang letaknya terpencil dan sunyi merupakan rumah terakhir flora-fauna Wallacea yang harus dijaga keutuhannya.
Kendati Alfred Russel Wallace, naturalis asal Inggris yang menjelajahi Nusantara pada 1854-1862, tak pernah menginjakkan kakinya di Sulawesi bagian barat, ia menyimpan kekaguman pada kekayaan sumber daya hayati Sulawesi. Dalam bukunya berjudul The Malay Archipelago yang terbit pada 1869, Wallace terpesona oleh satwa endemik Sulawesi, seperti monyet hitam Sulawesi (Macaca nigrescens), tarsius, anoa, dan babirusa. Ia menyebut bahwa Sulawesi adalah pulau menarik untuk studi persebaran geografis fauna di dunia.
Seperti kebanyakan kawasan konservasi di Indonesia, Gandang Dewata harus benar-benar dalam perlindungan untuk menghindarkannya dari kerusakan akibat perburuan liar, perambahan hutan, dan tambang ilegal. Gandang Dewata yang letaknya terpencil dan sunyi merupakan rumah terakhir flora-fauna Wallacea yang harus dijaga keutuhannya.