Terempas oleh 5.300 Kelokan di ”Pulau Bunga”
Pengalaman di Bena setidaknya mengobati suasana hati. Hati yang sering teriris melihat perilaku egoistis elite di negeri yang katanya mengusung semangat solidaritas dan gotong royong.
Alfred Russel Wallace memasukkan Pulau Flores ke dalam lingkaran imajinasinya, sebagai salah satu pulau di Nusantara yang dihuni beragam flora dan fauna endemis.
Cerita Wallace menuntun tim Kompas menyusuri sebagian sisi di pulau seluas 14.231 kilometer persegi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) itu. Perjalanan jurnalistik yang dilakoni Kompas setelah lebih dari satu abad kedatangan Wallace di bumi Nusantara ini dinamakan Ekspedisi Wallacea.
Kamis (1/8/2019), roda pesawat yang ditumpangi Tim Ekspedisi Wallacea menyentuh landasan Bandara Komodo di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat. Bandara termegah di NTT itu cukup untuk memberikan gambaran betapa dianggap pentingnya daerah ini.
Di seberang bandara terdapat Pulau Komodo, habitat reptil purba bernama komodo yang konon sudah ada sejak 130 juta tahun lalu. Hewan ini menjadi salah satu ikon wisata Indonesia.
Wisatawan asing dan domestik hilir mudik masuk melalui Bandara Komodo. Tahun 2017, misalnya, terdapat 76.645 orang yang berkunjung ke daerah itu, termasuk legenda MotoGP asal Italia, Valentino Rossi.
Sementara kami dari tim Kompas dalam perjalanan ekspedisi ini tidak mengunjungi komodo yang sudah sangat populer itu. Kompas mencoba menggali sisi lain Flores. Sebab, Flores tak hanya komodo.
Labuan Bajo di ujung barat Flores menjadi titik awal perjalanan tim dengan tujuan akhir Maumere, Kabupaten Sikka. Dua kota itu terpisah jarak sekitar 530 kilometer atau setara dengan 3,5 kali jarak Jakarta-Bandung. Di antara Labuan Bajo dan Maumere terdapat lima kabupaten yang tentu dengan keunikannya mulai dari Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo, hingga Ende.
Lintas Flores merupakan satu dari delapan segmen dalam rangkaian Ekspedisi Wallacea. Tim Kompas yang terlibat dalam segmen Flores adalah Aris Prasetyo, Luki Aulia, Lucky Pransiska, Priyombodo, dan Frans Pati Herin. Segmen lain dalam zona Wallacea yang dipilih adalah Kepulauan Maluku, Sulawesi, dan Nusa Tenggara.
Di hari kedua, tim Kompas meninggalkan pesisir Labuan Bajo menuju Puar Lolo yang berada pada ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut. Di sana terdapat komunitas ibu rumah tangga yang mengabdikan diri untuk menjaga alam sekitar. Mereka mencegah penebangan liar, melawan perburuan burung, menolak alih fungsi hutan, dan menanam pohon untuk mengalirkan kembali mata air yang mulai mengering.
Di tengah suhu sejuk, mereka menyambut kehadiran kami dengan kopi panas dan pisang goreng. Dalam tradisi masyarakat Flores pada umumnya, setiap tamu yang datang harus disuguhi kopi. Barangkali ini karena kopi banyak ditemukan di sana. Rupanya kehadiran kami sudah mereka ketahui dari Tiburtius Hani, perwakilan dari lembaga Burung Indonesia yang mendampingi komunitas tersebut dalam 10 tahun terakhir.
Komunitas yang berada dalam kawasan bentang alam Mbeliling itu menguak sebuah pesan penting. Pesan mengenai balasan alam terhadap keserakahan manusia. Penebangan hutan yang terjadi puluhan tahun silam dirasakan dampaknya oleh generasi mereka sekarang berupa berkurangnya debit air. Cerita di Puar Lolo itu tiba-tiba menarik ingatan pada kerusakan alam di belahan lain di Nusantara yang dilakukan atas nama pembangunan.
Tak hanya di Puar Lolo, alih fungsi lahan juga banyak terlihat di sepanjang jalan selepas tim Kompas meninggalkan Puar Lolo. Kerusakan hutan tentu mengusir habitat yang ada di dalamnya sehingga memunculkan tanya, apakah keanekaragaman di zaman Wallace masih terjaga sampai sekarang? Pertanyaan itu mengendap dalam kepala yang mulai mual lantaran mobil melaju di jalan berkelok menuju Ruteng, ibu kota Manggarai.
Malam hari, kami disambut suhu dingin Ruteng. Kopi panas yang dijual di kedai tak sanggup merayu dingin yang menyentuh 12 derajat celsius saat itu. Dalam satu hari yang sama, kami mengalami dua suhu berbeda: terik pagi di Labuan Bajo dan dingin yang menusuk di Ruteng. Keesokan harinya kami bergerak ke situs penemuan manusia purba Homo floresiensis di Liang Bua, sekitar 14 kilometer dari Ruteng.
Temuan itu adalah hasil kerja keras sebuah tim ahli gabungan dari Indonesia dan Australia. Meski hingga sekarang masih dalam polemik panjang karena hasil penelitian diumumkan secara sepihak oleh peneliti Australia, para ahli mencatat temuan tersebut sebagai pembuka tabir evolusi manusia Indonesia, khususnya manusia Flores.
Adalah tim ahli dari University of New England, Australia, pimpinan Mike More bergabung dengan tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) pimpinan RP Soejono. Tim gabungan ini, sekitar September 2003, melakukan serangkaian ekskavasi di Liang Bua.
Hasilnya baru diumumkan setahun kemudian (akhir Oktober 2004) dan langsung menghebohkan dunia karena menemukan fosil manusia kerdil dari Liang Bua (Kompas, 25/2/2005).
Situs itu penting untuk didatangi. Tak hanya tentang manusia. Para arkeolog juga mengungkapkan, di tempat itu terdapat jejak satwa purba. Ada bekas cakar komodo. Sebelum Homo floresiensis tiba, Liang Bua itu dikuasai tikus. Peneliti di Liang Bua, Maty Tocheri, mengatakan begini: Liang Bua adalah seperti goa tikus, Homo floresiensis hanya tamu.
Memang, hingga saat ini belum terkuak asal-usul Homo floresiensis. Apakah berasal dari Homo erectus yang datang dari Afrika atau berasal dari jenis yang lain. Namun, satu hal yang pasti bahwa manusia yang ada di Flores ataupun di bumi Nusantara lainnya berasal dari berbagai ras. Cerita Liang Bua memperkaya sisi lain ekspedisi itu. Ekspedisi tersebut mengulik flora, fauna, dan manusia di dalamnya.
Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur yang berada di pesisir selatan. Borong menjadi tempat transit. Untuk sejenak, kami menghirup udara Laut Sawu sebelum kembali lagi ke pegunungan dan bertemu dingin. Tujuan kami adalah kampung adat di kaki Gunung Inerie, Kabupaten Ngada. Kami berencana bermalam di sana untuk mengikuti keseharian warga setempat.
Perjalanan kami terhenti di Kampung Bena yang tak asing lagi. Ternyata di kampung itu akan digelar upacara pemasangan atap. Momentum itu tergolong langka. Pergantian atap setiap rumah adat biasanya berlangsung paling cepat 30 tahun sekali. Kami beruntung datang pada saat yang tepat. Selain meliput, kami juga menjadi saksi sejarah pemasangan atap. Tradisi itu ada sejak perkampungan megalitikum tersebut mulai dibangun sekitar 12 abad silam.
Di Kampung Bena terdapat 45 bangunan rumah adat milik sembilan suku, yaitu Bena Dizi, Dizi Azi, Ngada, Deru Lalulewa, Deru Solomai, Watho, Tazi Kae, dan Kopha. Rumah adat itu berbentuk panggung dengan bahan dari kayu dan atap alang-alang.
Bangunan itu ditopang 4 tiang utama, 150 lembar papan, dan 540 tusuk alang-alang. Hingga proses peresmian, anggaran yang dikeluarkan sekitar Rp 500 juta. Warga di kampung berpenduduk 370 jiwa ini bergotong royong mengerjakan atap tersebut.
Momentum pemasangan atap ini memberikan pesan tentang kesetiaan warga merawat budaya gotong royong yang kini mulai terkikis egoisme. Perilaku gotong royong yang paling nyata adalah setiap laki-laki dewasa menyumbang dua tusuk alang-alang. Pengalaman di Bena setidaknya mengobati suasana hati. Hati yang sering teriris melihat perilaku egoistis elite di negeri yang katanya mengusung semangat solidaritas dan gotong royong.
Selepas dari Kampung Bena, kami bergerak kembali ke Ende, ibu kota Kabupaten Ende yang berada di pantai selatan Flores. Di kota itu kami transit sebelum melanjutkan perjalanan ke Gunung Kelimutu. Banyak orang bilang, belum ke Flores kalau tak singgah di Ende.
Kenapa? Karena bapak bangsa kita yang juga Presiden pertama RI Soekarno pernah diasingkan di sana. Dalam pengasingan itulah Soekarno menemukan ide Pancasila.
Pancasila tidak muncul begitu saja. Itu lewat perenungan dari kehidupan nyata yang dialami Soekarno di Ende. Setiap waktu, Soekarno melihat praktik gotong royong hidup dalam kehidupan masyarakat Flores.
Ia juga menyaksikan umat Islam dan Katolik hidup berdampingan di Ende. Dari fakta keseharian itu, barangkali mendorong Soekarno mencetuskan ide Pancasila. Di ”Kota Pancasila” itu dibuat monumen patung Soekarno yang sedang duduk termenung.
Setelah dari Ende, perjalanan dilanjutkan ke Kelimutu. Tujuan utama adalah mengamati burung endemis di sana, yakni kancilan flores atau yang biasa disebut burung arwah. Butuh perjuangan berat untuk bisa memotret burung itu. Perjuangan tersebut berujung hadiah melihat danau tiga warna, Kelimutu. Foto di puncak sambil menikmati kopi jahe buatan ibu-ibu dari suku Lio.
Perjalanan kami pun berakhir di Maumere. Di tengah kegembiraan menyelami Flores selama lebih kurang 10 hari itu, ada satu hal yang selalu menghantui setiap perjalanan, yakni jalanan yang berkelok. Banyak orang mengakui, Flores yang oleh pelaut Portugis dinamakan ”Pulau Bunga” itu memiliki ribuan kelokan.
Dalam 1 kilometer, seperti pada lintasan Ende-Maumere, terdapat lebih dari 20 kelokan ke kiri dan ke kanan. Terbayang, kan, seperti apa rasanya jika mobil yang dikendarai berkecepatan minimal 40 kilometer per jam? Perut pun terkocok.
Sementara itu, perjalanan kami di Jalan Trans-Flores selama ekspedisi ini mencapai 530 kilometer. Dengan hitungan kasar untuk setiap 1 kilometer terdapat 10 kelokan, itu berarti kami telah melahap 5.300 kelokan!