Pesan dari Boeing 737 MAX 8: Pelajari Perbedaan Teknologi pada Pesawat Baru
Pesawat baru dilengkapi fitur-fitur terbaru. Pelaku jasa penerbangan perlu memastikan pilot, teknisi, dan awak pesawat lainnya memahami setiap fitur tersebut. Ini jadi salah satu kunci untuk mencegah kecelakaan pesawat.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J/AGUIDO ADRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem manuver dalam pesawat Boeing 737 MAX 8 PK-LQP milik maskapai Lion Air bernomor penerbangan JT-610 yang jatuh akhir Oktober 2018 merupakan fitur terbaru. Ke depan, pelaku jasa penerbangan perlu menelisik, mempelajari, dan memahami perbedaan teknologi pada pesawat baru yang dibeli sebelum pesawat tersebut dioperasikan.
Menurut Presiden Direktur Aviatory Indonesia Ziva Narendra, setiap kali membeli pesawat baru, apalagi jenis pesawat itu berbeda dengan pesawat yang dimiliki sebelumnya, pelaku jasa penerbangan harus memastikan pilot, teknisi, dan awak pesawat lain memahami setiap fitur yang dimiliki pesawat.
”Meskipun pesawatnya sama-sama diproduksi Boeing, Boeing 737 MAX 8 merupakan varian baru yang memiliki fitur terbaru. Fitur-fitur ini perlu dipahami dan dipelajari secara menyeluruh oleh pilot, teknisi, dan awak pesawat,” katanya saat dihubungi berada di Singapura, Sabtu (26/10/2019).
Secara teknis, Ziva menyatakan, teknisi, pilot, dan awak pesawat harus melakukan simulasi berulang kali. Khususnya pilot, perlu ada pelatihan dan modul tersendiri.
Berdasarkan hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) atas jatuhnya Boeing 737 MAX 8 dengan nomor penerbangan JT-610 di lepas pantai Karawang, 29 Oktober 2018, salah satu faktor penyebab jatuhnya pesawat adalah pilot tidak memiliki panduan dalam mengendalikan pesawat ketika sistem Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) aktif.
Sistem MCAS aktif secara otomatis karena adanya masukan data perbedaan kemiringan dari sensor Angle of Attack (AOA) di sisi kiri tubuh pesawat. Perbedaan kemiringan sisi kiri dan kanan yang sebesar 21 derajat itu disebabkan oleh kesalahan kalibrasi ketika sensor tersebut diperbaiki di Amerika Serikat sekitar 1-2 tahun sebelumnya.
Ketidakakuratan itu tidak diketahui oleh pilot. Boeing 737 MAX 8 tidak memiliki indikator bertuliskan ”AOA DISAGREE” yang memberi tahu pilot terdapat kesalahan pembacaan data oleh sensor AOA.
Saat ini, Ziva menyatakan, pihaknya tengah mengkaji kedalaman pengetahuan pilot terkait MCAS. Kajian itu meliputi pelatihan kondisi praaktivasi MCAS, MCAS aktif, hingga pasca-keadaan manuver yang tidak bisa dikendalikan pilot.
Ziva juga mengharapkan, Federal Aviation Administration (FAA) dan Boeing terbuka terkait sertifikasi dan perincian fitur teknologi pesawat kepada negara pembeli. Salah satu wujudnya ialah pembaruan pada buku prosedur yang ditujukan untuk pilot.
Sebelumnya, Presiden dan CEO Boeing Dennis Muilenburg menyatakan, korporasi sudah memperbarui sistem MCAS agar dapat mengecek perbedaan kemiringan di kedua sensor AOA, baik di sisi kiri maupun sisi kanan. Pembaruan buku panduan dan teknik pelatihan terkait MCAS juga disiapkan.
Ketua Konsumen Indonesia David Tobing mengatakan, dari kesimpulan KNKT terbukti adanya faktor kekurangan dan kesalahan mulai dari proses pembuatan dan kelengkapan pesawat hingga pengoperasian pesawat berupa petunjuk, yang diperlukan pilot apabila terjadi keadaan tertentu.
Komunitas Konsumen Indonesia berharap, produsen pesawat betul-betul memperhatikan faktor keselamatan sejak mendesain pesawat ataupun desain seluruh perangkatnya, dan setelah itu memberitahukan dan mengajarkan fitur-fitur terbaru pada pesawat kepada pilot yang akan menggunakannya.
Faktor pemeliharaan pesawat dan perbaikan pesawat, apalagi terhadap kerusakan yang sama, harus betul diperhatikan sehingga keamanan pesawat tak diragukan.
”Perlu diingat bahwa tugas produsen tidak selesai ketika barang yang diproduksi sudah dijual ke pemakai, tetapi harus terus-menerus mencari kelemahan dari produksinya tersebut untuk disempurnakan. Jangan sampai konsumen dalam hal ini dirugikan,” kata David.
Untuk diketahui, pesawat Boeing 737 MAX 8 PQ-LQP milik Lion Air dengan nomor penerbangan JT-610 yang jatuh di lepas pantai Karawang, 29 Oktober 2018, menewaskan 189 penumpang dan awak pesawat.