Bayang-bayang Boeing MAX yang Kian Suram
Setahun hampir berlalu sejak pesawat Boeing 737 MAX 8 PK-LQP milik maskapai Lion Air jatuh di lepas pantai Karawang, Jawa Barat, 29 Oktober 2018. Alih-alih semua menjadi terang, situasi justru kian kusut dan suram.
Setahun hampir berlalu sejak pesawat Boeing 737 MAX8 PK-LQP milik maskapai Lion Air dengan nomor penerbangan JT-610 jatuh di lepas pantai Karawang, Jawa Barat, 29 Oktober 2018. Sebanyak 189 penumpang dan awak pesawat kehilangan hidup mereka saat itu, meninggalkan orang-orang tercinta.
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) sudah memaparkan hasil penyelidikan tentang penyebab kecelakaan tersebut. Namun, kabar yang kian suram dan membingungkan justru datang dari negara pembuat pesawat itu, Amerika Serikat.
Berbagai hal yang terungkap belakangan justru menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana mungkin kesalahan yang seharusnya bisa dicegah dari awal itu bisa terjadi. Nasib Boeing 737 MAX ke depan pun dilanda ketidakpastian.
Pesawat baru yang digadang-gadang Boeing menjadi penerus kesuksesan keluarga Boeing 737 ini menjadi sorotan dunia setelah tak sampai lima bulan dari tragedi Lion Air, tepatnya pada 10 Maret 2019, satu lagi Boeing 737 MAX 8 jatuh.
Baca juga: Lion Air Jatuh di Utara Karawang
Kali ini, MAX yang jatuh milik maskapai Ethiopian Airlines. Ada 157 orang, termasuk 1 WNI, yang tewas dalam kecelakaan tragis tersebut. Baik 737 MAX milik Lion Air maupun Ethiopian Airlines sama-sama baru berusia hitungan bulan. Masih baru.
Dunia pun tersentak dan tersadar, ada masalah serius pada pesawat ini. Tak lama kemudian, hampir seluruh otoritas penerbangan di dunia, termasuk Badan Penerbangan Federal AS (FAA), memerintahkan seluruh Boeing 737 MAX di-grounded hingga batas waktu yang tak ditentukan sampai masalah ditemukan dan diperbaiki.
Perhatian para penyelidik pun kemudian berpusat pada MCAS (Maneuvering Characteristics Augmentation System), salah satu fitur baru pada varian Boeing 737 MAX.
Unsur kebaruan
Untuk memahami apa itu MCAS, kita harus kembali pada awal dimulainya program 737 MAX. Seperti yang pernah Kompas ulas, salah satu unsur kebaruan pada 737 MAX dibandingkan dengan versi sebelumnya adalah mesinnya yang baru, yakni CFM LEAP 1B.
Mesin baru ini berukuran lebih besar dan lebih bertenaga dibandingkan dengan mesin CFM56-7 yang terpasang pada Boeing 737 Next Generation (NG, terdiri atas B737-800 dan B737-900). Diameternya bertambah dari 61 inci (155 cm) menjadi 69,4 inci (176 cm) dan bobotnya pun bertambah hingga 385 kilogram per satu mesin.
Boeing pun melakukan berbagai perubahan pada struktur pesawat, mulai dari memperkuat struktur sayap, kerangka (fuselage), hingga pylon alias cantelan mesin di sayap dan menempatkan mesin lebih ke depan. Dudukan roda pendarat pun diperpanjang agar posisi pesawat dari tanah lebih tinggi untuk memberi ruang mesin baru ini (Kompas, 2/11/2018).
Perubahan desain inilah yang menimbulkan masalah spesifik bagi aerodinamika pesawat. Menurut majalah penerbangan Aviation Week pada 20 Maret 2019, mesin baru ini menimbulkan daya angkat lebih besar saat pesawat lepas landas. Jika hal ini dibiarkan, pesawat bisa terbang dengan sudut terlalu mendongak dan berisiko memicu stall alias kehilangan daya angkat dan pesawat akan jatuh.
Untuk memitigasi bahaya tersebut, Boeing pun memasang MCAS, yang pada dasarnya adalah sebuah perangkat lunak pada komputer kendali penerbangan (flight control computer). Sistem baru ini akan secara otomatis menurunkan hidung pesawat jika sensor AOA (angle of attack) yang terletak di kedua sisi hidung pesawat mendeteksi sudut terbang pesawat sudah terlalu besar.
Ini adalah salah satu upaya Boeing untuk memberi pilot pengalaman menerbangkan pesawat yang tak jauh berbeda antara 737 MAX dan 737 NG. Artinya, setiap maskapai tak perlu memberikan pelatihan khusus kepada para pilotnya saat harus beralih dari menerbangkan 737 NG ke 737 MAX sehingga pengeluaran biaya akan bisa ditekan.
Efisiensi biaya ini menjadi salah satu daya tarik utama penjualan Boeing 737. Sebuah maskapai akan mendapatkan pesawat baru dengan berbagai teknologi baru tanpa harus mengeluarkan biaya ekstra untuk melatih pilot-pilotnya.
Satu sensor
Meski demikian, potensi masalah kemudian muncul saat terungkap bahwa sistem MCAS tersebut hanya mengandalkan satu masukan data dari sensor sudut terbang AOA. Padahal, ada dua sensor yang terletak di sisi kiri dan kanan hidung pesawat. Jika terjadi masalah pada sensor AOA ini, dan data dari sensor tersebut yang diinput ke sistem komputer pesawat, MCAS bisa aktif di luar dugaan pilot.
Harian The New York Times edisi 23 Oktober 2019 mengutip hasil penyelidikan KNKT yang lebih dulu disampaikan ke para keluarga korban sebelum dipublikasikan secara resmi. Dalam artikel itu dijelaskan, pada pesawat PK-LQP yang jatuh di lepas pantai Karawang, salah satu sensor AOA itu mengalami kerusakan sejak penerbangan terakhir hari sebelumnya. Sensor tersebut sudah diganti, tetapi diduga kuat tidak terkalibrasi dengan baik sehingga masalah tetap muncul.
Laporan penyelidikan yang disampaikan ke keluarga korban itu menyebut terjadi perbedaan bacaan AOA dari dua sensor sebesar 20 derajat. Menurut Kapten Teguh Susilo, pilot senior yang berpengalaman menerbangkan Boeing 737 NG, perbedaan 20 derajat ini bisa berarti sangat besar saat menyangkut sudut terbang pesawat.
Pesawat pada umumnya lepas landas dengan sudut kemiringan 10-15 derajat. ”Persoalannya harus dibedakan antara sudut pitch (sudut kemiringan pesawat dibanding dengan garis horizontal) dan sudut AOA (sudut antara kemiringan pesawat dengan arah gerak pesawat). Kalau sudut pitch, sampai 20 derajat masih aman. Tetapi, beda lagi dengan AOA, rata-rata sudut 15 derajat sudah stall,” papar Teguh.
Artinya, saat perbedaan bacaan sensor AOA mencapai 20 derajat dan FCC mendapat masukan dari sensor yang bermasalah, bisa dipastikan sistem anti-stall MCAS akan langsung aktif. Itulah yang diduga terjadi pada pesawat PK-LQP, yakni MCAS aktif walaupun pesawat sebenarnya terbang dengan sudut normal.
Boeing tidak memberikan petunjuk yang cukup tentang fitur MCAS itu, termasuk prosedur untuk mematikannya jika fitur ini aktif di luar kewajaran.
Alhasil, sistem komputer pesawat berulang kali memaksa hidung pesawat untuk turun karena mengira pesawat tengah menjelang stall. Sampai akhirnya pilot tak sanggup lagi mengendalikan pesawat dan pesawat menukik tajam menghantam permukaan Laut Jawa.
Hal ini diperparah karena Boeing tidak memberikan petunjuk yang cukup tentang fitur MCAS itu termasuk prosedur untuk mematikannya jika fitur ini aktif di luar kewajaran.
”Dengan kondisi ketidaktahuan pilot karena Boeing tidak memasukkan MCAS ini di buku petunjuk untuk pilot, ditambah dengan membanjirnya alarm indikator dan berbagai distraksi yang terjadi di kokpit saat itu, ditambah kekuatan MCAS yang sangat besar, bahkan seorang pilot yang paling berpengalaman dan sangat terlatih pun harus menghadapi tantangan besar untuk mengendalikan pesawat di detik-detik kritis,” papar Dennis Tajer, juru bicara serikat pekerja yang mewakili para pilot maskapai American Airlines, salah satu operator terbesar Boeing 737 MAX di AS, seperti dikutip The New York Times.
Padahal, menurut pengamat penerbangan dan pemimpin redaksi laman penerbangan Air Current (Theaircurrent.com), Jon Ostrower, pilot sebenarnya bisa mematikan MCAS ini dengan mengambil alih penerbangan secara manual.
Makin kusut
Situasi menjadi makin kusut lagi saat pekan lalu kantor berita Reuters dan harian The Washington Post mengungkap bagaimana para pilot penguji Boeing sudah mengetahui masalah MCAS di 737 MAX ini pada 2016, beberapa bulan sebelum FAA mengeluarkan sertifikat layak terbang untuk pesawat tersebut.
Dalam rekaman komunikasi pesan elektronik antara Mark A Forkner, Chief Technical Pilot Boeing, dengan salah satu pilot penguji bernama Patrik Gustavsson, Forkner menemukan MCAS bisa kadang-kadang aktif sendiri tanpa diduga saat dilakukan uji simulator dan hal itu ”mengerikan”.
Kabut gelap pun makin menyelimuti ratusan Boeing 737 MAX yang kini teronggok di apron bandara seluruh dunia. Kekhawatiran mulai muncul apakah pesawat ini akan bisa diizinkan terbang lagi. Kalaupun boleh, apakah para penumpang masih mau terbang bersamanya.
Pelarangan terbang 737 MAX yang berlarut-larut hingga melewati tujuh bulan ini telah memicu kerugian besar bagi para operatornya karena mereka tetap harus membayar sewa parkir pesawat. CNN menyebutkan, maskapai Southwest Airlines di AS, yang memiliki 31 unit 737 MAX, melaporkan kerugian 435 juta dollar AS selama pesawat-pesawat tersebut tak bisa dioperasikan. Angka kerugian diduga akan terus naik hingga akhir tahun ini.
Sementara American Airlines, yang memiliki 24 pesawat MAX, melaporkan potensi kerugian hingga 540 juta dollar AS sebagai akibat pembatalan 9.500 penerbangan karena larangan terbang MAX. Sementara Lion Air, yang memiliki 10 pesawat, dikabarkan berpotensi kehilangan pendapatan hingga 50 juta dollar AS.
Saat larangan terbang diputuskan pada Maret lalu, ada total 387 pesawat 737 MAX di seluruh dunia yang terdampak. Setelah pelarangan itu, Boeing masih terus menjalankan produksi 737 MAX sembari mengupayakan perbaikan pada sistem MCAS.
Menurut CNN, akan ada sekitar 400 pesawat 737 MAX yang harus diserahkan Boeing kepada para pemesannya hingga akhir tahun ini.
Total ada 387 pesawat 737 MAX di seluruh dunia yang terdampak.
Boeing pun dihantam kerugian dan penurunan profit akibat persoalan 737 MAX ini. Dalam laporan keuangan kuartal ketiga yang disampaikan Boeing pada 24 Oktober 2019 dan dikutip The Washington Post, pendapatan perusahaan raksasa itu anjlok menjadi 20 miliar dollar AS, atau turun 21 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Boeing juga melaporkan, profitnya turun 51 persen menjadi ”hanya” 1,17 miliar dollar AS.
Meski demikian, di atas segala kerugian finansial yang terjadi pada perusahaan-perusahaan ini, ada nyawa-nyawa manusia yang tak ternilai harganya. Seluruh 346 korban kecelakaan Lion Air dan Ethiopian Airlines tak mungkin kembali ke keluarga masing-masing. Tentu saja, tidak mungkin dibiarkan ada nyawa manusia yang kembali dikorbankan akibat cacat pada pesawat ini.