JAKARTA, KOMPAS - Perubahan sejumlah nomenklatur kementerian dalam kabinet Indonesia Maju yang diumumkan oleh Presiden Joko Widodo dipertanyakan. Pasalnya, jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, perubahan nomenklatur itu memerlukan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, Pasal 19 UU Kementerian Negara mensyaratkan agar presiden terlebih dulu meminta persetujuan dari DPR sebelum mengubah nomenklatur kementerian. Pasal 19 Ayat (1) UU Kementerian Negara itu berbunyi, "Pengubahan sebagai akibat pemisahan dan penggabungan kementerian dilakukan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat."
Merujuk pada ketentuan itu, perubahan nomenklatur tidak bisa dilakukan sebelum ada surat pertimbangan atau persetujuan dari DPR kepada presiden. Pertimbangan itu diberikan DPR sebagai balasan atas permintaan pertimbangan oleh presiden melalui surat.
"Prosedurnya, surat presiden setelah diterima pimpinan DPR kemudian dibawa ke rapat paripurna. Karena alat kelengkapan DPR belum terbentuk, maka pertimbangan diberikan oleh masing-masing fraksi di rapat paripurna kemudian diambil keputusan. Setelah itu, baru dibuat surat pertimbangan atas nama DPR yang ditandatangani oleh ketua DPR," kata Bayu, Rabu (23/10/2019) di Jakarta.
Dari nama-nama menteri dan kementerian yang diumumkan Presiden Jokowi, Rabu pagi, ada perubahan nomenklatur.
Kementerian yang namanya berubah ialah Kementerian Pendidikan Nasional yang berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan setelah digabungkan kembali dengan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Adapun kini Kementerian Ristek Dikti hanya membawahi riset dan teknologi serta merangkap kepala Badan Riset Nasional, sedangkan urusan pendidikan tinggi dikembalikan kepada Kemendikbud.
Kementerian lain yang berubah namanya ialah Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, yang sebelumnya hanya bernama Menko Kemaritiman. Begitu pula dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sebelumnya hanya bernama Kementerian Pariwisata.
Pasal 19 Ayat (1) UU Kementerian Negara itu berbunyi, "Pengubahan sebagai akibat pemisahan dan penggabungan kementerian dilakukan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat."
Bayu mengatakan, pertimbangan DPR yang dimaksud di Pasal 19 itu tidak sama dengan pertimbangan pimpinan DPR. Oleh karena itu, pertimbangan yang diberikan harus diambil keputusan atau persetujuan di dalam rapat paripurna DPR. "Tidak bisa kalau hanya diwakili oleh pimpinan DPR saja pemberian pertimbangan itu. Pertimbangan itu pun disampaikan sebelum pelantikan semestinya," katanya.
Bilamana prosedur perubahan nomenklatur kementerian itu dilakukan tidak sesuai dengan UU Kementerian Negara, menurut Bayu, hal ini menjadi preseden buruk bagi presiden dan tata laksana pemerintahan selanjutnya. Bahkan, keputusan presiden yang mengubah nomenklatur kementerian bisa digugat ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).
Posisi menteri agama
Sementara itu, terkait dengan pengisian posisi Menteri Agama dari latar belakang militer, menurut Ketua Harian Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas, menuai pertanyaan dari para kiai, termasuk kiai sepuh.
"Saya dan pengurus lainnya banyak mendapat pertanyaan terkait Menteri Agama. Selain pertanyaan, banyak kiai dari berbagai daerah yang menyatakan kekecewaannya dengan nada protes," kata Robikin.
Saya dan pengurus lainnya banyak mendapat pertanyaan terkait Menteri Agama. Selain pertanyaan, banyak kiai dari berbagai daerah yang menyatakan kekecewaannya dengan nada protes
Menurut Robikin, para kiai paham Kemenag harus berada di garda depan dalam mengatasi radikalisme berbasis agama.
"Para kiai sudah lama merisaukan fenomena terjadinya pendangkalan pemahaman agama yang ditandai merebaknya sikap intoleran. Lebih tragis lagi, bahkan sikap ekstrem dengan mengatasnamakan agama. Semua di luar kelompoknya kafir dan halal darahnya. Teror adalah diantara ujung pemahaman keagamaan yang keliru seperti ini," ujarnya.
Akan tetapi, lanjut Robikin, para kiai NU tak habis mengerti terhadap pilihan yang ada dalam kaitannya dengan posisi Menag.