Mengenakan kebaya dalam kegiatan sehari-hari tidak sekadar melestarikan identitas Indonesia, tetapi juga merepresentasikan semangat persatuan. Tantangannya kini ialah mengajak partisipasi aktif dari generasi muda.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mengenakan kebaya dalam kegiatan sehari-hari tidak sekadar melestarikan identitas Indonesia, tetapi juga merepresentasikan semangat persatuan. Tantangannya kini ialah mengajak partisipasi aktif dari generasi muda.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Pancasila Ade Iva Murty mengatakan, kebaya adalah identitas nasional bangsa Indonesia. Karakter keindonesiaan yang terkandung di dalamnya amat kuat.
Semakin banyak orang memakai kebaya, semakin banyak pula yang akan merasa memiliki bangsa dan negara sebagai suatu kesatuan.
”Ini tugas dari pemerintah dan komunitas-komunitas agar kebaya tidak dianggap busana mewah yang hanya dipakai sesekali saja,” katanya dalam Bincang-bincang Kebaya di acara Pekan Kebudayaan Nasional Jakarta, Sabtu (12/10/2019).
Menurut Iva, memperkenalkan kebaya sama artinya dengan menebarkan nilai-nilai patriotisme dan cinta tanah air. Cara yang sama juga sudah sejak lama dilakukan banyak negara, seperti Jepang dengan kimononya.
Hal yang sama disampaikan Direktur Edukasi Ekonomi Kreatif Badan Ekonomi Kreatif Poppy Savitri. Menurut dia, kebaya telah menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan Jepang.
Kebaya pernah populer dan dipakai untuk kegiatan sehari-hari setelah Presiden Soekarno menetapkannya sebagai pakaian nasional saat itu.
”Ternyata, kebaya juga memiliki dimensi politis sebagai simbol perlawanan terhadap Jepang,” ujarnya.
Dalam perkembangannya, kebaya telah menjadi sebuah busana modern lewat modifikasi yang banyak diciptakan oleh anak bangsa. Penampilan kebaya ”disulap” menjadi lebih kasual.
Menurut Poppy, hal tersebut tidak menjadi persoalan asalkan tidak terkait dengan upacara adat. ”Di era modern saat ini, beberapa kebaya bahkan dipadukan dengan celana jins agar lebih leluasa beraktivitas,” katanya.
Generasi muda
Iva mengatakan, modifikasi juga menjadi sebuah langkah untuk mengenalkan kebaya kepada generasi muda. Selama ini, mereka masih menganggap kebaya sebagai busana yang ribet dan kuno. Bukan tidak mungkin, dengan modifikasi yang dilakukan, kesan ribet dan kuno dari kebaya perlahan juga akan hilang.
”Salah satu karakter dari generasi Z, misalnya, mereka cenderung lebih suka sesuatu yang praktis. Pendekatan juga perlu dimasifkan lewat media sosial,” ujarnya.
Iva sangat mendukung kebijakan sejumlah lembaga pemerintahan yang mewajibkan pegawainya mengenakan kebaya pada hari Selasa. Terlebih, hal itu juga didukung oleh gerakan-gerakan dari sejumlah komunitas, seperti Perempuan Berkebaya Indonesia dengan ”Selasa Berkebaya”-nya.
”Kebaya juga harus menjadi perilaku yang harus dipatuhi dalam sebuah institusi. Hal ini harus diperkuat hingga ke masyarakat,” lanjutnya.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid menyebutkan, ke depan, pihaknya akan menyebarkan surat edaran kepada semua dinas di daerah yang membidangi kebudayaan untuk mengikuti gerakan berkebaya.
Dengan demikian, pemerintah provinsi dan kabupaten akan menjadi contoh bagi masyarakat. ”Itu langkah konkret yang akan kami lakukan sehingga jaringan kebudayaan juga terbentuk. Pemerintah bisa memainkan peran sebagai fasilitator,” katanya.
Hilmar berharap, gerakan-gerakan berkebaya akan memberikan resonansi yang lebih kuat. Hal tersebut, menurut dia, sudah mulai terlihat. Orang tidak lagi memakai kebaya hanya untuk acara kondangan. Ada tren yang mulai berubah pada masyarakat.
”Banyak tren dari masyarakat yang harus kita sambut asal tidak menghilangkan kebudayaan. Tren kebaya adalah salah satunya,” ujarnya.