Peremajaan kebun kelapa sawit rakyat yang dicanangkan pemerintah, belum memuaskan. Dari target 200.000 hektar tanaman baru, realisasinya diperkirakan hanya berkisar 50.000 hektar sampai akhir tahun 2019
Oleh
SYAHNAN RANGKUTI
·4 menit baca
BANGKINANG, KOMPAS – Peremajaan kebun kelapa sawit rakyat yang dicanangkan pemerintah dalam tiga tahun terakhir, belum memuaskan. Dari target 200.000 hektar tanaman baru, realisasinya diperkirakan hanya berkisar 50.000 hektar sampai akhir tahun 2019.
“Pemerintah sebenarnya ingin mempercepat proses (peremajaan kelapa sawit). Misalnya, memangkas persyararatan dari 14 menjadi delapan. Sistem pengajuan permohonan pun dilakukan online. Sudah ada kemajuan tapi belum sesuai target,” kata Ketua Dewan Pengawas Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) Rusman Heriawan.
Hal itu dikatakannya disela-sela acara penananam perdana peremajaan kelapa sawit kerjasama Grup Sinar Mas dengan Koperasi Unit Desa Makmur Lestari di Desa Kenantan, Kecamatan Tapung Hilir, Kabupaten Kampar, Riau, Rabu (2/10/2019).
Peremajaan lahan kelapa sawit KUD Makmur Lestari, menurut CEO Sinar Mas Grup wilayah Riau, Franciscus Costan, direncanakan seluas 1.000 hektar. Untuk tahap pertama seluas 322 hektar dengan dana kucuran dari BPDP-KS sebanyak Rp 8 miliar. Untuk menjamin proses pemeliharaan sampai panen, petani mendapat kredit dari Bank BRI Agro.
“Manfaat petani (plasma) mengikuti program ini sangat besar. Ketika panen nanti, produktivitasnya akan lebih tinggi. Petani juga akan mendapat sertifikat ISPO sebagai standar wajib tata kelola sawit berkelanjutan,” ujar Franciscus, sembari mengatakan Grup Sinar Mas di Riau memiliki luas lahan petani binaan (plasma) sebesar 32.000 hektar. Peremajaan lahan KUD Makmur Lestari adalah yang perdana dilakukan.
Aspek legalitas
Kendala utama percepatan peremajaan, kata Rusman, paling banyak terganjal aspek legal terutama surat kepemilikan lahan. Hal itu disebabkan akibat tumpang tindih lahan dengan perusahaan pemegang konsesi atau kawasan hutan milik negara.
“Dari segi pendanaan bank juga muncul masalah. Bank bersifat sangat hati-hati menyalurkan kredit kepada petani, terutama yang pernah bermasalah dengan hutang bank,” tutur Rusman.
Dari segi pendanaan bank juga muncul masalah. Bank bersifat sangat hati-hati menyalurkan kredit kepada petani, terutama yang pernah bermasalah dengan hutang bank
Untuk mempercepat replantasi atau peremajaan kelapa sawit rakyat, sejak 2016 pemerintah telah mengeluarkan kebijakan mempermudah pembiayaan petani untuk tanaman baru sampai panen. Setiap petani yang memenuhi persyaratan, diberi dana hibah sebesar Rp 50 juta untuk peremajaan seluas dua hektar. Terdapat dua jenis petani penerima dana, yaitu petani swadaya dan plasma (berkerjasama dengan bapak angkat/perusahaan).
Akan tetapi, untuk mencapai masa panen selama 3 tahun, dana Rp 50 juta masih kurang. Jalan keluarnya, pemerintah memberi kemudahan pinjaman lewat bank senilai Rp 68 juta per petani per dua hektar. Hanya saja, bank dikenal sangat ketat mengeluarkan kredit itu.
“Yang paling baik, petani peserta memiliki modal merawat tanaman sampai panen sekaligus membiayai rumah tangganya sendiri. Namun, kenyataannya lebih banyak petani yang tidak mampu. Sekarang ini saya justru khawatir karena ada penyaluran dana hibah Rp 50 juta langsung kepada petani tanpa tambahan kredit dari bank. Apakah petani amanah?” kata Rusman.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) GM Emas Manurung mengatakan, keinginan pemerintah untuk mempercepat peremajaan kelapa sawit kelompok petani swadaya di Riau, justru berjalan sangat lambat. Sampai saat ini, dari target peremajaan (Riau) seluas 24.000 hektar, dana yang dikucurkan untuk petani swadaya baru 250 hektar. Adapun kelompok plasma sudah mencapai 8.000 hektar.
“Awalnya peremajaan kelapa sawit direncanakan pemerintah adalah untuk petani swadaya tapi progres-nya justru sangat sedikit,” ujar Manurung.
Manurung mengungkapkan, pemerintah memang sudah mengurangi persyaratan legalitas lahan untuk peremajaan. Misalnya, petani hanya perlu menunjukkan surat girik lahan yang dijamin tidak bersengketa. Namun disisi lain, ada persyaratan baru yaitu berkas permohonan harus di-scan dan dikirim secara dalam jaringan (daring).
“Pola daring ini justru mempersulit petani kecil yang belum melek teknologi. Pola ini juga kurang sosialisasi dari dinas perkebunan daerah, karena petugasnya tidak memiliki dana operasional. Dengan kondisi seperti ini, target untuk petani swadaya semakin jauh,” papar Manurung.
Menurut Manurung, Riau memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 4,2 juta hektar. Namun data Dinas Perkebunan Riau hanya berkisar 2,8 juta-3 juta hektar. Adapun luas lahan petani swadaya mencapai 1,4 juta hektar.
Manurung mengakui, legalitas kepemilikan lahan petani swadaya di Riau, sangat minim. Mayoritas petani tidak mampu menunjukkan surat kepemilikan karena lahannya berada dalam sengketa atau berada dalam kawasan hutan.
Bupati Kampar Catur Sugeng Susanto mengatakan, masalah legalitas lahan semestinya menjadi perhatian utama dari pemerintah untuk mempercepat proses peremajaan. Sebagai bupati yang berlatar belakang petani kelapa sawit, Catur sangat mengerti persoalan itu.
“Tugas pemerintah (pusat) adalah berupaya mengubah lahan yang ilegal menjadi legal ditingkat petani. Kami siap memfasilitasi agar rakyat dapat sejahtera,” kata Catur.