Isu Sensitif dalam Sejarah Perlu Dibahas di Sekolah
Pemelajaran sejarah mengenai isu-isu sensitif, bahkan kontroversial, perlu mulai dibahas pada jenjang SMA, paling tidak di kelas XII.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemelajaran sejarah mengenai isu-isu sensitif, bahkan kontroversial, perlu mulai dibahas pada jenjang SMA, paling tidak di kelas XII. Hal ini membantu siswa membangun nalar yang kritis serta wawasan kebangsaan yang lebih luas dan kompleks.
”Memang di Kurikulum 2013 untuk materi yang kompleks diajarkan dalam mata pelajaran sejarah, yaitu pelajaran wajib bagi kelompok Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS),” kata Guru Besar Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Said Hamid Hasan, ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (1/10/2019). Ia merupakan salah satu penyusun materi dasar pelajaran sejarah sebelum disadur oleh para penerbit buku teks pelajaran.
Menurut Hamid, pelajaran sejarah untuk sekolah-sekolah di seluruh dunia selalu menggunakan tafsir resmi dari pemerintah masing-masing. Hal ini karena pelajaran sejarah bertujuan membentuk karakter nasional. Pembahasan yang lebih terperinci dilakukan ketika sudah duduk di bangku perguruan tinggi.
”Akan tetapi, jika siswa mengambil peminatan IPS di bangku SMA, ia akan mulai membahas berbagai isu sejarah yang lebih rumit. Misalnya, untuk pelajaran mengenai peristiwa Gerakan Pemberontakan Partai Komunis Indonesia tanggal 30 September 1965 selain dari versi pemerintah turut ada enam tafsir oleh sejarawan dengan keunggulan dan kekurangan masing-masing,” ujarnya.
Jika siswa mengambil peminatan IPS di bangku SMA, ia akan mulai membahas berbagai isu sejarah yang lebih rumit.
Khusus untuk SMA jurusan IPS tafsir-tafsir ini dipelajari. Akan tetapi, bagi siswa di jurusan bahasa dan ilmu pengetahuan alam tidak membahas materi ini karena mereka lebih kepada mempelajari sejarah Indonesia secara umum sebagai pembentukan karakter dan wawasan kebangsaan.
Komitmen
Dalam kesempatan yang berbeda, Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia Sumardiansyah Perdana Kusuma mengatakan, dalam mengajarkan sejarah kontroversial, guru perlu membangun komitmen agar bisa memaparkan materi secara jelas dan berimbang. Butuh keberanian dan kesiapan guru untuk mengambil risiko. Pendekatan ini masih dalam proses disosialisasikan kepada guru-guru.
”Intinya, peserta didik ditanamkan ketika belajar sejarah yang kontroversial bukan untuk mencari benar dan salah saja. Perlu analisis mengenai orang-orang yang terlibat dan lokasi kejadian karena dimensi kognitif faktual sangat penting. Di samping itu juga harus ada penalaran yang kritis, kreatif, kausalitas, dan keterampilan bersejarah,” kata guru di salah satu SMA swasta di Jakarta ini.
Pemelajaran sejarah kontroversi bermakna jika siswa dititikberatkan kepada proses mencari data, fakta, dan cara mereka merangkum informasi tersebut menjadi sebuah narasi yang deskriptif sekaligus argumentatif. Siswa didorong agar bisa membaca dari berbagai sumber yang menjelaskan dari persepsi berbeda-beda.
Pemelajaran sejarah kontroversi bermakna jika siswa dititikberatkan kepada proses mencari data, fakta, dan cara mereka merangkum informasi tersebut menjadi sebuah narasi yang deskriptif sekaligus argumentatif.
Menurut Sumardiansyah, di dalam kompetensi dasar menganalisis upaya bangsa Indonesia dalam menghadapi ancaman disintegrasi materi yang dibahas selain pemberontakan G30S antara lain adalah Angkatan Perang Ratu Adil, pemberontakan Andi Aziz, dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia.
Pemelajaran sekarang juga bisa mengintegrasikan berbagai sumber yang bisa dipertanggungjawabkan, seperti makalah-makalah karya Ben Anderson, Ruth McVey, John Roosa, dan Hermawan Sulistiyo.
”Selain itu, juga bisa digabung dengan kunjungan ke situs-situs bersejarah terdekat dari sekolah. Ditambah lagi sekarang ada berbagai film, baik dokumenter maupun fiksi yang juga mengulas isu sensitif. Siswa memiliki banyak medium menarik,” katanya.
Sejarawan Anhar Gonggong mengatakan, belajar sejarah berarti mengenal identitas diri sendiri, komunitas, dan bangsa. Selain membangun kepercayaan diri atas potensi yang dimiliki, juga mengembangkan kebijaksanaan menghadapi dan menyelesaikan masalah yang terjadi.