Libatkan Masyarakat dalam Pembahasan RUU Pertanahan
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pertanahan oleh DPR periode 2019-1024 disarankan melibatkan masyarakat lebih luas untuk mendapat masukan. Rancangan yang ada memicu kontroversi dan keberatan dari berbagai pihak.
Oleh
Brigitta Isworo Laksmi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pertanahan oleh DPR periode 2019-1024 disarankan melibatkan masyarakat lebih luas untuk mendapat masukan. Rancangan yang ada memicu kontroversi dan keberatan dari berbagai pihak. Penundaan secara resmi diputuskan dalam rapat kerja antara DPR dan pemerintah pada Kamis (26/9/2019) di Jakarta.
Dalam rapat kerja itu hadir Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Menteri Agraria Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan A Djalil didampingi Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN Himawan Arief Sugoto.
”Kami ingin ke depan pembahasan RUU itu melibatkan rakyat yang akan terdampak. Mereka yang ada di dalam kelompok rentan yang belum diakui hak tanahnya,” kata Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika saat dihubungi, Senin (30/9/2019), di Jakarta.
Kami ingin ke depan pembahasan RUU itu melibatkan rakyat yang akan terdampak. Mereka yang ada di dalam kelompok rentan yang belum diakui hak tanahnya.
Dia menunjuk kepada petani, buruh tani, mereka yang tidak memiliki tanah dan kehilangan tanah, masyarakat adat, perempuan yang sering didiskriminasi dalam soal hak atas tanah karena bukan kepala keluarga, serta masyarakat miskin pada umumnya di desa dan di perkotaan.
Sementara Guru Besar Agraria Universitas Gadjah Mada Maria SW Sumardjono menyampaikan, ”RUUP (RUU Pertanahan) itu cacat prosedur karena tidak melibatkan pihak-pihak berkepentingan dan para pakar dalam pembahasannya. Daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah yang merombak draf RUUP inisiatif DPR tanpa disertai naskah urgensi.”
Dewi menambahkan, ”Pembahasan mendatang tentu harus melibatkan masyarakat sipil dan para pakar yang kredibel dan kompeten.”
Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali mengatakan, ”Sebenarnya kami undang mereka. Kami undang akademisi pakar, bahkan keliling ke beberapa perguruan tinggi. Mereka diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan, bahkan tertulis pun kami terima.”
Saat dihubungi secara terpisah, Mardani Ali Sera dari Fraksi PKS mengungkapkan, ”Pada periode mendatang, RUUP harus dibahas dengan melibatkan akademisi dari semua mazhab, masyarakat adat, dan aktivis pejuang pertanahan. Semua dibuat transparan dan kuat sosialisasinya.”
Menurut Maria, pada awal penyusunan RUU, dia dilibatkan, tetapi kemudian pada pembahasan tahun ini tak dilibatkan dan semua masukan menghilang dari draf.
Selain itu, menurut Amali, ”Ini masalahnya bukan di masyarakat, tetapi di internal pemerintah belum padu. (Sementara) Orang dimobilisasi oleh opini dan pendapat orang. Ketika saya tanya apakah sudah baca? Ternyata belum. Bagi mereka, yang penting tidak setuju saja.”
Dewi menambahkan, ”Substansi draf harus dari awal lagi tidak boleh melanjutkan draf lama. Karena RUUP terakhir sudah kacau balau akibat dari proses asal kejar target.”
Menurut Maria dan Dewi, RUUP secara ideologi dan filosofi sudah banyak melenceng dari UUPA 1960 ( Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria). ”Tim penyusun itu harus dibentuk dengan melibatkan pakar-pakar agraria berbagai universitas, organisasi masyarakat sipil, dan kelompok rentan,” kata Dewi.
Semangat reforma agraria
Kritik tersebut antara lain RUUP dinilai tidak sejalan dengan semangat Tap MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan berpotensi bertentangan dengan konstitusi.
”Reforma agraria harus menjadi spirit utama RUU Pertanahan. Karena RUU menjadi peta jalan mewujudkan keadilan agraria dan keberlanjutan hidup,” ujar Dewi.
Kritik yang dilontarkan antara lain soal proses yang semakin mempersulit pengakuan hak ulayat oleh masyarakat adat karena harus ada persetujuan dari menteri. Selain itu, prosesnya pun dinilai cacat karena tidak melibatkan masyarakat luas.
Tentang kritik terkait pengakuan hak ulayat, tanah masyarakat adat, Sofyan mengatakan, ”Seolah-olah kita antimasyarakat adat. Kita secara spesifik itu hak ulayat minta dipetakan supaya bisa kita lindungi. Sekarang tidak terpetakan dan tidak terlindungi.” Banyak kritik dan keberatan yang disampaikan tidak benar karena mereka yang melontarkan kritik tidak memahami RUUP tersebut.
Tentang hak guna usaha yang bisa berlangsung hingga 90 tahun, menurut Sofyan, hal itu tidak benar dan justru diberikan dalam jangka waktu terbatas, 35 tahun. Saat ini era post-truth atau pascakebenaran sehingga apa yang viral dianggap benar.
Dalam draf tanggal 9 September 2019 tertulis pada Pasal 26 Ayat 1b, HGU untuk badan usaha diberikan paling lama 35 tahun, tetapi dengan syarat tertentu bisa diperpanjang 25 tahun (Ayat 2), dan dalam hal tertentu bisa diperpanjang lagi 20 tahun pada Ayat 4.
Amali mengatakan, semua fraksi di Komisi II DPR sepakat pada draf RUUP. ”Sepakat, sepakat, sepakat. Saat laporan panja ke Komisi II, semua fraksi setuju, tepuk tangan semua. Diputuskan secara aklamasi.” Pada rapat Komisi II tanggal 23 September 2019, menurut Mardani dan Wakil Ketua Panja RUUP Arif Wibowo dari Fraksi PDI-P, di internal Komisi II belum ada titik temu (Kompas, 24/9/2019).