Beban pembiayaan penyakit katastropik dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat semakin meningkat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Beban pembiayaan penyakit katastropik dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat semakin meningkat. Hampir 30 persen dana yang dibayarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan digunakan untuk membayar klaim penyakit katastropik. Karena itu, upaya efisiensi dengan pengendalian biaya perlu dilakukan untuk mengatasi defisit yang berlarut.
Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menunjukkan, pembiayaan penyakit katastropik pada 2018 terhitung mencapai Rp 20,4 triliun. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yakni Rp 18,44 triliun pada 2017 dan Rp 16,94 triliun pada 2016. Empat penyakit katastropik dengan biaya terbesar adalah jantung, kanker, stroke, dan gagal ginjal.
“Pemerintah harus berani dan konsisten membuat kebijakan konkret dan realistis untuk menyikapi tren peningkatan jumlah kasus dan pembiayaan penyakit katastropik. Paket manfaat JKN-KIS (Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat) untuk penyakit katastropik yang dibayarkan dengan skema saat ini menimbulkan defisit BPJS Kesehatan,” ujar Ketua Kompartemen Penilaian Teknologi Kesehatan (HTA) Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Santoso Soeroso di sela-sela peluncuran Buku Putih Persi: Refleksi Perjalanan 5 Tahun Era JKN di Jakarta, Selasa (1/10/2019).
Di dalam buku putih Persi tersebut tertulis sejumlah catatan terkait evaluasi terhadap pelaksanaan lima tahun program JKN-KIS. Ada enam permasalahan krusial yang menjadi sorotan Persi, yaitu aspek regulasi, pembiayaan, evaluasi tariff INA-CBGs, pengendalian penyakit katastropik, pengadaan obat dan alat kesehatan, serta sistem rujukan berjenjang.
Penyakit katastropik seperti hipertensi, stroke, serangan jantung, gagal ginjal, dan diabetes melitus merupakan penyakit yang bersifat laten dan memerlukan waktu lama untuk penyembuhan dan pengendalian. Biaya yang diperlukan pun menjadi sangat besar. Padahal, penyakit ini bisa dicegah dengan gaya hidup sehat sejak dini.
“Meningkatnya kasus penyakit katastropik bisa menjadi tanda bahwa upaya preventif dan promotif masih kurang. Hal ini tentu selain faktor lainnya, yaitu jumlah peserta JKN yang meningkat, fasilitas layanan kesehatan semakin baik, akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang makin baik, dan kesadaran masyarakat untuk berobat yang meningkat,” kata Santoso.
Ketua Umum Persi Kuntjoro Adi Purjanto menambahkan, pengendalian biaya untuk penyakit katastropik juga bisa dilakukan dengan penerapan kebijakan urun biaya, khususnya untuk peserta non-PBI (penerima bantuan iuran). Konsepnya, BPJS Kesehatan akan membayar rumah sakit sesuai tarif INA CBGs atau pembayaran dengan sistem paket berdasarkan penyakit yang diderita pasien. Urun biaya akan diberlakukan jika peserta ingin menambah layanan yang diinginkan.
Meski begitu, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Achmad Choesni mengatakan, pembenahan program JKN-KIS perlu dilakukan secara sistemik. Keberlanjutan program ini tidak hanya bisa diwujudkan melalui pembenahan di satu sisi saja. Kenaikan tarif iuran peserta JKN tidak cukup mengatasi masalah defisit yang saat ini terjadi.
Pembenahan program JKN-KIS perlu dilakukan secara sistemik. Keberlanjutan program ini tidak hanya bisa diwujudkan melalui pembenahan di satu sisi saja
“(Pembenahan program JKN-KIS) harus dilakukan secara sistemik, tidak bisa parsial. Kenaikkan tarif harus dilakukan, namun harus bersamaan dengan pembenahan tarif INA-CBGs, peningkatan mutu dan kualitas layanan kesehatan yang merata di seluruh Indonesia, juga pengendalian tarif sesuai restriksi formularium nasional,” tuturnya.
Tarif INA-CBGs mendesak evaluasi setelah tidak ada kenaikan selama tiga tahun terakhir. Sementara, dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/2016 tentang pedoman INA CBG dalam pelaksanaan JKN menyebutkan perbaikan nilai INA-CBGs dilakukan minimal dua tahun sekali. Kenaikan nilai ini diharapkan mengikuti kenaikan inflasi yang terjadi.
Terkait hal itu, Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan Kementerian Kesehatan, Mohamad Subuh menyatakan, evaluasi terkait nilai INA CBGs telah dibahas oleh pemerintah. “Saat ini sudah 40 persen pembahasan yang dilakukan. Pembahasan ini tentu melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, terutama organisasi profesi yang bersangkutan,” ucapnya.