RUU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara Tetap Disahkan
Dewan Perwakilan Rakyat tetap mengesahkan RUU Pengelolaan Sumber Daya Nasional atau PSDN untuk Pertahanan Negara, yang memuat pasal-pasal berisiko mengancam hak asasi manusia.
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-- Dewan Perwakilan Rakyat tetap mengesahkan RUU Pengelolaan Sumber Daya Nasional atau PSDN untuk Pertahanan Negara, yang memuat pasal-pasal berisiko mengancam hak asasi manusia. Dalam RUU tersebut, ada sejumlah pasal pidana dengan sanksi kurungan penjara bagi komponen cadangan yang menolak ketentuan mobilisasi.
Pembahasan tingkat dua RUU PSDN ini masuk dalam agenda rapat paripurna DPR RI pada Kamis (26/09/2019) di Ruang Rapat Paripuna DPR RI, Senayan, Jakarta. Dalam rapat paripurna ini, seluruh fraksi akhirnya menyetujui agar RUU PSDN ini disahkan tanpa ada intervensi dari para anggota dewan.
RUU ini mengatur bahwa warga negara Indonesia bisa mendaftarkan diri sebagai komponen cadangan yang sewaktu-waktu harus siap mengikuti aktivitas militer jika ada panggilan mobilisasi dari pemerintah. Dalam pasal 77 ayat 1, setiap komponen cadangan yang dengan sengaja membuat dirinya tidak memenuhi panggilan mobilisasi bisa terkena sanksi pidana paling lama empat tahun.
Selain itu, dalam pasal 66 ayat 2, ada pula ketentuan yang mengatur bahwa setiap pemilik atau pengelola sumber daya alam dan sumber daya buatan yang ditetapkan statusnya sebagai komponen cadangan oleh pemerintah wajib menyerahkan pemanfaatannya untuk kepentingan mobilisasi.
Kemudian, pasal 79 ayat 1 mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja atau tanpa alasan yang sah tidak menyerahkan pemanfaatan sumber daya miliknya tersebut untuk keperluan mobilisasi, akan dikenakan ketentuan pidana penjara paling lama empat tahun.
"RUU ini memang dilematis karena memuat pasal-pasal pidana bagi masyarakat yang telah mendaftar sebagai komponen cadangan secara sukarela. Namun, langkah afirmatif tersebut perlu dilakukan karena sudah menjadi kewajiban komponen cadangan untuk menjalankan perintah mobilisasi," ucap Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI-P Effendi Simbolon di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta.
Effendi mengatakan, saat ini pintu masukan bagi publik sudah tertutup karena RUU ini sudah disahkan. Nantinya, kebijakan untuk mobilisasi komponen cadangan akan ada di tangan Presiden dengan persetujuan DPR.
"Komponen cadangan ini memang bisa sewaktu-waktu dimanfaatkan oleh Presiden untuk digerakkan dalam mengatasi ancaman pertahanan negara. Oleh sebab itu perlu ada kontrol pula dari DPR terkait mobilisasi komponen cadangan tersebut," ujarnya.
Dihubungi terpisah, Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri menyayangkan masih dimasukkannya pasal pidana dalam RUU PSDN. Menurut ia, seseorang yang mendaftar secara sukarela, seharusnya bisa menolak panggilan mobilisasi jika itu tidak sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya.
"Hal ini melanggar Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik pasal 18 yang telah disetujui oleh Komisi HAM PBB. Dalam ketentuan tersebut, diatur bahwa masyarakat sipil memiliki hak untuk berpikir, berkeyakinan, dan beragama," ucapnya.
Sementara itu, dalam pasal 46 diatur bahwa masyarakat yang menjadi komponen cadangan selama masa aktif diberlakukan hukum militer. Dalam pasal 4 ayat 3, para komponen cadangan ini disiapkan untuk mengatasi sejumlah ancaman negara seperti agresi, terorisme, separatisme, pemberontakan bersenjata, bencana alam, kerusakan lingkungan, pelanggaran wilayah perbatasan, dan pencurian sumber daya alam.
Gufron menjelaskan, hukum militer yang berlaku di Indonesia belum mampu mengatasi persoalan pelanggaran HAM masa lalu dan militer tidak tunduk dalam peradilan umum. Hal ini akan membuka ruang bagi para para komponen cadangan untuk sulit diadili jika sewaktu-waktu melakukan kasus pelanggaran HAM dalam konflik horizontal antara masyarakat sipil dengan komponen cadangan.
Hukum militer yang berlaku di Indonesia belum mampu mengatasi persoalan pelanggaran HAM masa lalu dan militer tidak tunduk dalam peradilan umum
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dalam rapat paripurna DPR RI mengatakan, bahwa ketentuan terkait komponen cadangan ini sebenarnya sudah ada dalam pasal 8 ayat 3 UU no 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Namun, selama 17 tahun, pelaksanaan hal tersebut belum pernah terpenuhi.
"Oleh sebab itu, dengan adanya UU ini diharapkan negara bisa mengatasi sejumlah ancaman militer dan non militer," katanya.