Kementerian Tidak Boleh Pegang Kewenangan Terlalu Besar
RUU Pertanahan tak boleh memberikan kewenangan terlalu besar kepada menteri yang diberi tanggung jawab tentang hal itu. Penyusunan RUU Pertanahan ke depan harus transparan dan melibatkan para ahli.
Oleh
Brigitta Isworo Laksmi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang ada sekarang harus diperbaiki, antara lain tidak boleh memberikan kewenangan terlalu besar kepada kementerian yang diberi tanggung jawab tentang hal itu. Rancangan yang saat ini dibahas di DPR ditunda pengesahannya. Rapat untuk pengambilan keputusan tingkat I dengan pihak pemerintah kemarin batal dilakukan karena Komisi II DPR tidak mencapai kata sepakat.
Demikian diungkapkan Mardani Ali Sera, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PKS, yang ditemui seusai rapat tertutup, dan Wakil Ketua Panja RUU Pertanahan (RUUP) Arif Wibowo dari Fraksi PDI Perjuangan, Senin (23/9/2019), di Jakarta.
Menjelang rapta urut Mardani masih banyak catatan dari fraksi-fraksi yang dikemukakan dalam rapat tersebut dan akan berat untuk memperbaiki hingga batas waktu 30 September 2019 sesuai dengan masa keanggotaan DPR RI periode 2014-2019.
”Kemungkinan kami akan memberikan rekomendasi sesuai dengan undang-undang, kan, bisa carry over (melimpahkan), (RUUP) ini agar menjadi prioritas periode berikutnya. Kalau bisa, dibahas di sidang pertama untuk dituntaskan,” ujarnya.
”Karena dari DPR sebagian besar tidak setuju, maka (pembahasan) tidak bisa dilanjutkan ke rapat untuk pengambilan keputusan tingkat I antara Komisi II DPR dan pemerintah,” kata Arif.
Keberatan yang disampaikan anggota DPR dan beberapa akademisi tersebut antara lain terkait dengan diskresi (kebijakan) kepada menteri yang terlalu besar. Limitasi penguasaan lahan untuk berbagai kepentingan privat hilang dari rancangan, pengakuan tanah masyarakat adat justru menjadi semakin sulit.
”Kami mau limitasinya (penguasaan tanah) jelas. Dalam naskah akademis terdapat pembatasan, perkebunan maksimal 10.000 hektar per provinsi, untuk HGU pertanian, perikanan, dan tambak maksimal 50 hektar per provinsi dan sebagainya. Itu tiba-tiba hilang semua sesudah ampres (amanat presiden) disampaikan,” kata Mardani.
Penekanan dari Fraksi PDI-P di antaranya tentang lembaga pengelolaan tanah yang bisa menjadi ruang bagi badan spekulan yang dibiayai negara. Selain itu, tanah juga menjadi komoditas di pasar global. Ini sangat bertentangan dengan konsepsi Undang-Undang Pokok Agraria dan UUD 1945.
Perbaikan RUUP, menurut Guru Besar IPB Hariadi Kartodihardjo, harus memastikan isinya tidak multiinterpretasi, dan tidak memberikan diskresi seluas-luasnya bagi menteri yang bertanggung jawab soal itu.
”Jangan mengandung state capture corruption (korupsi yang justru dimungkinkan oleh regulasi pemerintah) karena multiinterpretasi,” kata Hariadi.
Rancangan yang baru, kata Hariadi, juga harus bisa menyelesaikan persoalan banyaknya tanah negara yang tidak terdaftar karena berpotensi hilangnya kekayaan negara.
Menurut Yando Zakaria, peneliti pada Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (Karsa), RUUP ke depan harus bisa menyelesaikan pengakuan tanah adat. ”RUUP saat ini, alih-alih lebih baik dari kebijakan yang sudah ada, justru lebih buruk. Pengakuan hak ulayat yang harus ditetapkan melalui perda lebih dulu harus mendapat persetujuan dari menteri,” ujar Yando.
Proses transparan
Dalam penyusunan RUUP mendatang, menurut Guru Besar Agraria UGM, Maria SW Sumardjono, harus dilakukan secara transparan dan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan. Proses penyusunan ini amat penting untuk memastikan berkurangnya ketidakadilan persoalan penguasaan tanah. RUU yang baru harus dilandasi naskah akademik yang dipersiapkan matang, dengan melibatkan berbagai pihak.
Maria menegaskan, RUUP ini cacat prosedur dan cacat substansi. ”Cacat prosedur karena tidak melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan dan para pakar dalam pembahasannya. Daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah merombak seluruh draf RUUP inisiatif DPR tanpa disertai naskah urgensi sama sekali. Substansi tidak menggambarkan tujuannya sama sekali.”
Isinya, sambung Maria, tidak ada kaitan antara konsiderans dan batang tubuh.
Hariadi dan Maria menekankan, RUU Pertanahan ke depan juga harus berpedoman pada Tap MPR IX/2001 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
”Yang terjadi, RUUP bukannya melengkapi UUPA, tetapi mengganti. Bukannya meluruskan tafsir UUPA, tetapi membuat tafsir sendiri yang melenceng dari asas-asas UUPA, tidak berhasil meminimalisasi disharmoni undang-undang sektoral terkait bidang pertanahan,” ujar Maria.
”Tidak perlu takut ada kekosongan hukum karena UUPA dan peraturan pelaksananya masih berlaku,” tambah Maria.
Mardani, senada dengan itu, mengatakan, ”Undang-undang ini penting, ya. Namun tidak urgen.”