Waspadailah ”Uang Beracun”
Era uang “beracun” kembali muncul. Bank Sentral AS telah menurunkan suku bunga inti menjadi sekitar 1,75 persen hingga 2 persen pada hari Rabu (18/9/2019). Ini akan menaikkan uang beredar secara global.
Era uang ”beracun” kembali muncul. Bank Sentral AS telah menurunkan lagi suku bunga inti (prime rate) menjadi sekitar 1,75 persen hingga 2 persen pada hari Rabu, 18 September 2019. Ini akan menaikkan uang beredar secara global.
Keadaan ini merupakan kelegaaan sesaat bagi negara-negara berkembang yang didera cadangan devisa tipis dan rentan pada gejolak mata uang.
Penurunan suku bunga ini, menurut Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell, bertujuan merangsang aktivitas perekonomian. Ekonomi AS sedang terganggu perang dagang antara AS dan dunia, khususnya China. Namun, tujuan ini dipastikan tidak akan tercapai dan hanya menggairahkan pasar uang sesaat.
Masalah pada perekonomian AS tidak terletak pada kurangnya dana. Penurunan suku bunga ini tak bisa dipisahkan dari tekanan Presiden AS Donald Trump yang terus menekan Powell. Trump suka membanggakan perekonomian lewat indikator bagus di pasar uang dan pasar modal. Untuk itulah dia menginginkan Bank Sentral AS menurunkan suku bunga.
Trump tidak peduli pada jangka panjang perekonomian dan kesehatan fondasinya. Trump meniru Presiden George W Bush, yang terbukti membawa perekonomian mengalami resesi besar pada 2008. Bush menurunkan pajak dan menggejot pengeluaran dengan mengandalkan utang. Trump pun memiliki kebijakan serupa.
Hal itu tidak mengatasi masalah fundamental ekonomi. Maka tidak heran, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), dalam laporannya pada Kamis (19/9), menurunkan pertumbuhan ekonomi global. Ekonomi global pada 2019 akan tumbuh 2,9 persen atau turun dari 3,6 persen pada 2018.
Tumpulnya alat moneter
Pada Mei 2019 lalu, ramalan OECD memperlihatkan ekonomi dunia tumbuh 3,2 persen pada 2019. Penurunan prediksi pertumbuhan ini dipicu perang dagang. ”Perang dagang yang dianggap sementara berubah menjadi masalah jangka panjang,” kata ekonomi OECD, Laurence Boone. ”Kita ada pada era baru dengan ketidakpastian."
Pertumbuhan perdagangan yang telah menjadi motor pemulihan global sejak krisis 2008 telah menurun dari pertumbuhan 5 persen pada 2017. Boone mengatakan bahwa ada bukti kuat perang dagang telah memerosotkan sektor produksi dan memicu kebangkrutan. Perang dagang juga telah mengacaukan keyakinan pebisnis.
Laporan Bank Dunia memperlihatkan perdagangan global pada 2019 telah mirip level 2016. Terjadi penurunan pertumbuhan dalam perdagangan barang modal termasuk komponen elektronik. Produk ini bukan bukan milik satu negara, tetapi sarat dengan kerja sama global.
Solusi untuk masalah ini adalah mengakhiri perang dagang, bukan penambahan jumlah uang beredar atau penurunan suku bunga. Maka dari itu, OECD menyatakan solusi atas penurunan ekonomi global bukan dari sisi moneter. Pemanfaatan kebijakan fiskal dan reformasi struktural ekonomi menjadi hal urgen.
Gubernur Bank Sentral Eropa Mario Draghi juga sudah menyerah soal manfaat kebijakan moneter ini. ”Penting bagi kebijakan fiskal untuk memainkan peran utama.” Draghi mengatakan itu seusai mengumumkan penurunan suku bunga deposito menjadi negataif 0,5 persen dari negatif 0,4 persen.
Tekanan politisi
Politisi seperti dituliskan mantan Gubernur Bank India Raghuran Rajan, sering tidak mau menegakkan kebijakan ekonomi yang sebenarnya. Politisi lebih takut pada konstituen dan tidak berani menyarankan program penghematan keuangan negara dan restrukturisasi ekonomi.
Trump termasuk kategori takut kalah pemilu sehingga mengguyur uang demi kepentingan ekonomi sesaat. Oleh karena itulah saat memutuskan penurunan suku bunga pada hari Rabu lalu, Presiden Bank Sentral Boston Eric Rosengren dan Presiden Esther George (Kansas) menolak penurunan suku bunga.
Ekonomi AS relatif baik dalam jangka pendek, tak ada desakan menurunkan suku bunga. Ditekankan agar AS mengakhiri saja perang dagang. Trump tidak mendengar ini. Bahkan, dia telah menggali lubang keuangan negara dengan total utang yang menggunung sekarang ini di atas 22 triliun dollar AS.
Lalu apa manfaat penurunan suku bunga? Para investor menumpuk dana di bursa saham dan aset-aset berisiko, demikian The Financial Times edisi 20 September 2019. Bank Sentral AS lewat penurunan suku bunga telah memainkan peran besar untuk meningkatkan aset-aset berisiko, menurut Kathy Jones, ahli investasi dari Charles Schwab. Pasar juga akan cenderung berharap suku bunga diturunkan lagi di masa derikutnya untuk tujuan spekulatif. Trump akomodatif tentang ini menjelang pemilu 2020.
Aliran ke negara berkembang
Tak diragukan lagi dana-dana ”beracun” itu juga akan mengalir ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal tersebut di satu sisi memberikan kelegaan pada negara berkembang, menurut ekonom Bank Danamon, Wisnu Wardhana. Penurunkan suku bunga juga telah dilakukan Bank Indonesia.
Data-data aliran modal dari The Institute of International (IIF) yang dikompilasikan ABN-AMRO memperlihatkan korelasi penurunan suku bunga AS dan aliran modal sesaat ke seluruh dunia dan juga negara berkembang. Dana-dana ini menyerbu surat utang dan bursa saham, termasuk ke Indonesia. Akan tetapi, uang-uang ini bisa mendadak ”beracun”. Setiap saat bisa kembali ke negara asalnya. Sejak 2015, Indonesia bersama sejumlah negara berkembang lainnya didera depresiasi mata uang lokal akibat pelarian modal seperti ini.
Dana ”beracun” ini pada tahap berikutnya berefek kuat pada kenaikan harga-harga. Jika terjadi pelarian mendadak, dan terbukti secara empiris, akan mudah menjungkalkan rupiah. Kenaikan biaya impor adalah dampak lainnya. Inflasi impor pun dipastikan akan terjadi jika uang ”beracun” tak ditangani secara saksama.
Seperti dikatakan Kathy Jones, jangan terpana dengan uang mudah ini sebab mudah berubah menjadi ”beracun”. (AFP/AP/REUTERS)