Kesempatan masyarakat hukum adat untuk mendapatkan kembali wilayah adatnya harus tetap dibuka. Namun, Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang ada saat ini menutup kesempatan tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Pertanahan mempersulit klaim wilayah adat oleh masyarakat hukum adat. Proses berjenjang melalui peraturan daerah dipandang berat bagi masyarakat adat karena biaya tidak murah.
Rancangan Undang-Undang Pertanahan juga dinilai meneguhkan sektoralisme. Padahal, TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam mengamanatkan pembuatan undang-undang yang mengharmonisasi semua undang-undang sektoral terkait pertanahan.
Hal itu dinyatakan sejumlah narasumber, yaitu Wakil Ketua Panja Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUUP) Arif Wibowo dari Fraksi PDI-P, Guru Besar Hukum Agraria UGM Maria SW Sumardjono, Direktur Advokasi Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi Terre, serta Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka YL Franky Samperante. Mereka diminta pendapat secara terpisah pada Selasa (17/9/2019), di Jakarta.
Baik Arif, Maria, Franky, maupun Erasmus dengan tegas menunjuk bahwa RUUP tersebut menghilangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 5. Pasal tersebut menegaskan bahwa ”hukum agraria yang berlaku adalah hukum adat”.
Arif mengatakan, ”Kementerian Agraria dan Tata Ruang paham betul filosofi, spirit, dan orientasi dari UU Pokok Agraria.”
Menyetujui pernyataan tersebut, Maria menambahkan, ”Rancangan UUP itu hanya mengakui hukum negara atau hukum positif, yaitu hukum yang tertulis.” Hukum adat diperlukan ketika hukum negara belum mengatur hal tersebut.
Hal lain adalah terkait pengukuhan hak ulayat yang penetapannya harus melalui peraturan daerah provinsi atau perda kabupaten/kota (Pasal 5 Ayat (5) dan Ayat (6) RUUP versi 9 September 2019). ”Selain biaya perda besar, provinsi cukup membuat satu perda berisi hal-hal prinsip terkait penetapan hak ulayat. Pengukuhan bisa melalui surat keputusan kepala daerah dilampiri peta wilayah,” kata Maria.
Menurut Erasmus, RUUP ini menutup kesempatan masyarakat hukum adat mendapatkan kembali wilayah adatnya. Selain itu, wilayah adat yang dalam UUPA mencakup bumi, air, dan ruang angkasa serta sumber daya alam yang merupakan ruang hidup masyarakat hukum adat, direduksi menjadi hanya ”tanah”.
Meneguhkan sektoralisme
Hal lain, RUUP ini dinilai justru meneguhkan sektoralisme. Padahal amanat TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 antara lain adalah harmonisasi semua peraturan perundang-undangan, menyinkronisasi kebijakan antarsektor (Pasal 5).
Di luar pernyataan RUUP berniat mendaftar semua tanah di seluruh wilayah Indonesia (Kompas, 17/9/2019), di sisi lain, Pasal 6 menyebutkan, tanah ulayat harus diukur dan dipetakan dalam peta dasar Pendaftaran Tanah untuk kawasan yang bukan merupakan kawasan hutan. Menurut Arif, ada kerancuan berpikir di dalamnya.
”RUUP ini juga semakin meneguhkan sektoralisme, padahal semangat TAP IX MPR, undang-undang sektoral itu harus direvisi untuk kembali ke semangat, orientasi, dan tujuan undang-undang agraria. Di dalamnya termasuk ”kawasan hutan”. Arif menegaskan, hutan adalah tegakannya, sedangkan tanahnya masuk rezim pertanahan, artinya di Kementerian Agraria.
Pembahasan RUUP antara pemerintah dan DPR memasuki tahap akhir. Pemerintah menargetkan, RUU yang diinisiasi oleh legislatif itu akan disahkan akhir September ini. Namun, mayoritas fraksi di DPR menginginkan agar pengesahan RUUP ditunda karena masih banyak usulan aturan yang bertentangan dengan UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.