Pemerintah dan DPR Beda Pandangan soal RUU Pertanahan
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat memasuki tahap akhir. Namun, sampai saat ini pemerintah dan DPR masih berbeda pandangan terkait pengesahan RUU tersebut.
Oleh
Brigitta Isworo Laksmi/Laksana Agung Saputra/Anita Yossihara
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat memasuki tahap akhir. Namun, sampai saat ini pemerintah dan DPR masih berbeda pandangan terkait pengesahan RUU tersebut.
Pemerintah menargetkan, rancangan undang-undang yang diinisiasi oleh legislatif itu akan disahkan akhir September ini. ”Posisi pemerintah tetap satu, yaitu segera menyelesaikan undang-undang ini dengan baik. Kepentingan-kepentingan sektoral telah kita akomodasi bersama sehingga masalah pertanahan ini akan lebih baik dan terukur agar memudahkan masyarakat, pengusaha, dan investor dalam hal tanah,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla, Kamis (12/9/2019), di Kantor Wakil Presiden, Jakarta.
Rapat terbatas lanjutan tersebut dihadiri, antara lain, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil, serta Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar.
Kalla mengatakan, setelah menerima draf RUU Pertanahan dari DPR, beberapa waktu lalu, pemerintah telah membuat daftar inventarisasi masalah. Pemerintah sudah selesai melaksanakan koordinasi kepentingan-kepentingan sektoral. Saat ini, pembahasan RUU Pertanahan antara pemerintah dan DPR memasuki tahap akhir.
Setiap kementerian yang memiliki urusan pertanahan, menurut Kalla, tetap memiliki kewenangan mengatur sesuai dengan peraturan yang berlaku. Meski demikian, sinergi dan koordinasi lintas kementerian juga dibangun.
Kalla menolak penilaian bahwa RUU tentang Pertanahan hanya berpihak kepada pengusaha. Kemudahan yang diterima pengusaha sebagai implikasi dari RUU tersebut bukan lantas berarti pemerintah tidak berpihak kepada rakyat.
”Kita berpihak kepada semuanya. Bahwa itu dipercepat, memang itu tujuannya. Pengusaha punya kepentingan, rakyat punya kepentingan, hutan punya kepentingan. Pemerintah harus berpihak ke semua komponen karena kalau pengusaha tidak dijaga, siapa yang akan bikin usaha,” kata Kalla.
Terkait kerangka waktu, Kalla mengatakan, pembahasan RUU tentang Pertanahan dilakukan secepatnya agar juga memberikan kepastian hukum secepatnya. ”Ini, kan, sudah lama. Kalau ditunda lagi, bisa-bisa menjadi nol lagi,” ujarnya.
Sofyan menambahkan, RUU Pertanahan diperlukan karena selama ini banyak sekali persoalan yang tidak bisa diselesaikan. Misalnya, jenis hak-hak lama dan surat-surat lama. Masalah pembebasan tanah, meski ada upaya percepatan, juga belum sesuai dengan harapan. Hak-hak di bawah tanah selama ini juga belum diatur.
”Jadi, banyak sekali persoalan yang dihadapi BPN yang kita tidak bisa selesaikan selama ini karena belum ada dasar hukum. RUU tentang Pertanahan ini bertujuan agar persoalan-persoalan itu selesai,” kata Sofyan.
Selain itu, RUU Pertanahan mengenalkan layanan elektronik dalam pengurusan pertanahan. RUU itu juga mengusulkan pembentukan Pengadilan Pertanahan dalam lima tahun. Realisasinya akan diserahkan kepada Mahkamah Agung. Dengan demikian, setiap konflik tanah bisa diselesaikan dengan tegas.
Sikap DPR
Sementara itu, mayoritas fraksi di DPR menginginkan agar pengesahan RUU Pertanahan ditunda karena masih banyak usulan aturan yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Usulan penundaan pengesahan telah disampaikan sejumlah fraksi dalam rapat Panitia Kerja (Panja) Komisi II DPR yang membahas RUU Pertanahan. Salah satunya Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP). ”Saat rapat pleno, minggu lalu, PDI-P meminta menunda. Mayoritas fraksi lain juga usul ditunda,” kata anggota Panja RUU Pertanahan dari F-PDIP, Arif Wibowo, di Jakarta, Kamis (12/9/2019).
Penundaan pengesahan diusulkan karena masih banyak substansi RUU Pertanahan yang tak sejalan dengan semangat serta orientasi UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UU PA). Padahal, F-PDIP berpandangan, UU Pertanahan semestinya melengkapi dan menyempurnakan ketentuan di UU PA.
Sejumlah usulan pasal yang dianggap tak sesuai UU PA di antaranya pasal yang mengatur tentang hak atas tanah, hak guna usaha, hak ulayat, hak pakai, dan bank tanah. ”Soal luasan HGU (hak guna usaha), misalnya, kami ingin tetap sesuai dengan UU PA. Pemerintah malah mengusulkan pemberian tambahan waktu agak panjang karena melihat pengalaman negara lain,” ujarnya.
Usulan ketentuan lain yang menjadi sorotan Panja Komisi II DPR adalah tentang penegakan evaluasi penggunaan HGU. Sesuai dengan UU PA, evaluasi HGU semestinya dilakukan tiga tahun sekali. Jika dalam tiga tahun ditemukan pelanggaran pemanfaatan lahan HGU, pemerintah harus memberikan sanksi tegas.
Tak hanya itu, fraksi-fraksi di DPR juga menginginkan agar HGU tidak otomatis diperpanjang seperti praktik yang selama ini dilakukan. UU PA mengatur HGU dapat diperpanjang, tetapi bukan berarti bisa otomatis diperpanjang tanpa pembaruan perizinan.
Penolakan juga disampaikan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), Ahmad Baedhowi. Menurut dia, RUU Pertanahan tak bisa dipaksanakan disahkan pada September karena masih banyak pasal yang perlu diharmonisasi.
Keputusan penundaan pengesahan, menurut rencana, akan dilakukan dalam rapat pleno Komisi II, Selasa pekan depan. Selain memutuskan penundaan pengesahan, rapat pleno juga diagendakan untuk menetapkan RUU Pertanahan menjadi prioritas Program Legislasi Nasional 2020.
Prinsip pembaruan agraria
Ketetapan MPR IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dinilai masih relevan untuk memberikan arah kebijakan agar ada sinkronisasi aturan perundang-undangan agraria dan menyelesaikan konflik sumber daya agraria. Namun, Rancangan Undang-Undang Pertanahan dinilai tak mengandung prinsip pembaruan agraria yang ditetapkan dalam TAP MPR itu.
Hal itu terungkap dalam diskusi ”Quo Vadis TAP MPR IX Tahun 2001 Masa Depan Pembaruan Hukum dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup”, Kamis (12/9/2019), di Jakarta.
Guru Besar Agraria dari Universitas Gadjah Mada, Maria Sri Wulan Sumardjono, mengatakan, TAP MPR itu memberikan arah kebijakan untuk mengkaji ulang dan melaksanakan sinkronisasi perundang-undangan terkait agraria, reforma agraria, pendataan tanah, dan penyelesaian konflik sumber daya agraria. ”RUU Pertanahan tak mengandung prinsip pembaruan agraria yang ditetapkan dalam TAP MPR ini,” ujar Maria.
Adanya RUU Pertanahan dinilai justru menghilangkan atau mengganti UU Pokok Agraria (UU PA), membuat tafsir menyimpang UU PA dan tak bisa meminimalkan disharmoni antarundang-undang sektoral.