Dorong Pertumbuhan Komunitas Penggiat HAM di Papua
Dalam upaya menjaga situasi Papua yang damai, perlu didorong pertumbuhan komunitas penggiat hak asasi manusia. Hal ini dimaksudkan agar kejadian-kejadian seperti konflik horizontal dapat dicegah.
Oleh
SAMUEL OKTORA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS - Dalam upaya menjaga situasi Papua yang damai, perlu didorong pertumbuhan komunitas penggiat hak asasi manusia. Hal ini dimaksudkan agar kejadian-kejadian seperti konflik horizontal dapat dicegah dengan kehadiran peran komunitas ini.
Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi menyampaikan hal ini dalam rangkaian acara seminar tentang Internet Sehat dan Pencegahan Ujaran Kebencian di Aula Barat Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (6/9/2019).
Seminar yang dibuka oleh Wakil Gubernur Jabar, Uu Ruzhanul Ulum itu menampilkan tiga pemateri, yakni Kepala Pusat Studi Kebijakan Kriminal Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Widati Wulandari, Kepala Seksi Kerja Sama dan Bilateral Direktorat Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Gina Santiyana, Direktur Kerja Sama HAM Kementerian Hukum dan HAM, Bambang Iriana Djajaatmadja.
“Saat ini pascakericuhan di Papua, Kanwil Hukum dan HAM di sana melakukan komunikasi intensif dengan para pihak untuk mewujudkan suasana damai, dan diupayakan agar di kawasan Papua dan Papua Barat tumbuh penggiat HAM di kalangan pelajar, pemuda dan mahasiswa, sehingga tidak mudah meletup konflik-konlfik horizontal seperti yang terjadi baru-baru ini,” kata Mualimin.
Mualimin juga menuturkan, kericuhan yang terjadi di Papua dari aksi unjuk rasa tak lepas dari pengaruh konten berita bohong dan ujaran kebencian yang tersebar melalui media sosial. Bahaya dari penyalahgunaan internet dan media sosial ini perlu menjadi perhatian semua pihak.
“Oleh karenanya perlu sejak dini diberi pemahaman yang baik pada kalangan pelajar, termasuk mahasiswa seperti dalam seminar ini untuk bijak dalam penggunaan internet dan media sosial. Manfaatkan internet untuk hal-hal yang positif dan produktif,” ujarnya.
Mualimin juga mengingatkan, di era digital ini meski terbuka kebebebasan berekspresi dan berpendapat, tapi tidak bisa dilakukan semena-mena karena tetap ada batasan, yakni peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karenanya perlu sejak dini diberi pemahaman yang baik pada kalangan pelajar, termasuk mahasiswa seperti dalam seminar ini untuk bijak dalam penggunaan internet dan media sosial. Manfaatkan internet untuk hal-hal yang positif dan produktif, ujar Mualimin
“Ada perlindungan pada diri pribadi, sehingga kalau seseorang menyerang kehormatan orang lain, itu bertentangan dengan undang-undang. Implementasi HAM harus memperhatikan hak asasi orang lain,” ucap Mualimin.
Gina Santiyana berpendapat, dalam upaya mengantisipasi dampak negatif penyalahgunaan media sosial perlu literasi digital pada masyarakat. “Kurikulum literasi digital perlu diaplikasikan di sekolah-sekolah karena siswa SD pun kini sudah dapat mengakses internet,” ujar Gina.
Menurut Gina, kerawanan dan potensi konflik akibat ujaran kebencian lewat media sosial di Indonesia relatif besar. Diperkirakan jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2018 sekitar 123 juta orang, dan dari jumlah penduduk lebih kurang 268 juta jiwa, angka penggunaan layanan operator telepon seluler mencapai 355,5 juta pengguna.
Kurikulum literasi digital perlu diaplikasikan di sekolah-sekolah karena siswa SD pun kini sudah dapat mengakses internet, ujar Gina.
Hal ini menunjukkan persentase pengguna ponsel lebih dari 133 persen dari jumlah masyarakat Indonesia karena sebagian orang Indonesia mempunyai lebih dari satu ponsel.
“Jumlah pengguna medsos mencapai 150 juta, dan pengguna medsos yang menggunakan ponsel sekitar 130 juta pengguna,” kata Gina.
Menakutkan investor
Sementara itu Widati Wulandari mengingatkan, perlu diantisipasi daerah rawan konflik karena kondisi demikian akan menakutkan bagi investor.
“Oleh karenanya juga diperlukan penyelesaian konflik yang handal, dan stabilitas keamanan penting bagi investor. Ujaran kebencian dan berita bohong lewat media sosial yang dapat memicu kericuhan dan konflik perlu diantisipasi,” ujar Widati.
Widati juga menyinggung bahaya ujaran kebencian yang dapat memicu “hate crimes”, tindakan kejahatan karena kebencian pada suku, agama, ras, dan kelompok tertentu.
“Ini seperti kericuhan di Papua, yang awalnya dari tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur, lalu merambat ke Papua dengan aksi unjuk rasa yang menimbulkan kericuhan. Pemicunya salah satu adalah pengaruh hasutan yang kuat dari berita bohong di media sosial,” katanya.
Untuk itu kata Uu, kalangan pelajar perlu dibekali literasi digital karena mereka mudah terbawa pengaruh konten negatif media sosial.