Multikeaksaraan Mendekatkan Literasi ke Pendidikan Kesetaraan
Pemberantasan buta huruf harus diikuti dengan pemelajaran multikeaksaraan. Ini penting untuk mengasah kemampuan calistung.
JAKARTA, KOMPAS — Pemelajaran multikeaksaraan dan keaksaraan lanjutan adalah bagian penting dalam proses membangun literasi kepada masyarakat yang baru melek huruf. Tanpa program ini, orang-orang yang baru lulus ilmu aksara dasar berisiko kembali menjadi buta huruf akibat tidak menggunakan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung.
“Pendekatan multikeaksaraan lanjutan pada dasarnya ‘memaksa’ masyarakat menggunakan kemampuan calistung (membaca, menulis, berhitung) sembari melengkapi kemampuan tiga literasi dasar lainnya,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harris Iskandar di Jakarta, Kamis (29/8/2019).
Enam literasi dasar yang digaungkan oleh Forum Ekonomi Dunia sejak tahun 2015 adalah membaca, menulis, berhitung, menggunakan perangkat digital, pemahaman finansial, sains, serta kesadaran mengenai kewarganegaraan dan kebudayaan.
Direktur Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan Kemendikbud Abdul Kahar mengatakan, multikeaksaraan mencakup program usaha mandiri, yaitu dengan memberdayakan masyarakat meningkatkan kemampuan berwirausaha. Bentuknya bisa usaha rumahan hingga paguyuban pengusaha di dalam suatu wilayah seperti dusun hingga kabupaten/kota.
Multikeaksaraan mencakup program usaha mandiri, yaitu dengan memberdayakan masyarakat meningkatkan kemampuan berwirausaha.
Salah satu lembaga yang menerapkan program ini adalah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Bintang Flobamora di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kepala PKBM Bintang Flobamora, Polikarpus Do yang dihubungi dari Jakarta mengungkapkan menggunakan bisnis tenun dan kerajinan anyaman serta senjata tajam untuk pemelajaran multikeaksaraan.
“Kami banyak menggunakan istilah dalam menenun seperti ‘benang’, ‘nilam’, dan lainnya ketika mengajar kosa kata kepada peserta didik. Pembuatan kalimatnya juga berkisar kehidupan sehari-hari, misalnya secara runut menulis karangan mengenai proses menenun dari memanen kapas, memintal, hingga menghasilkan tenun,” tuturnya. Untuk bapak-bapak diminta menulis tentang pembuatan pisau tradisional atau pun kerajinan anyaman rotan.
Polikarpus mengatakan, melalui cara itu mereka bisa berpikir sistematis dan mengenal ekonomi mikro. Selama ini, warga hanya mengenal uang dari warna. Misalnya, uang berwarna biru adalah Rp 50.000. Mereka tidak mengenal angka yang tertera di atasnya. Setelah bisa membaca, warga mulai belajar berpikir tentang pemanfaatan uang yang baik.
Sambil mempraktikkan multikeaksaraan ini ia juga membimbing masyarakat agar mengikuti Paket A, B, dan C sehingga pada akhirnya memiliki ijazah setara sekolah formal. Hal ini memudahkan mereka apabila perlu meminjam uang dari koperasi maupun bank.
Masyarakat adat
Data Badan Pusat Statistik melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2018 mengatakan masih ada 3,29 juta orang atau 1,93 persen dari penduduk Indonesia yang buta huruf. Umumnya mereka berusia di atas 45 tahun, perempuan, miskin, dan tinggal di pedesaan yang jauh dari pusat kabupaten/kota.
Enam provinsi dengan angka buta huruf tertinggi adalah NTT, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua. Dari tingkat dunia, rata-rata melek huruf Indonesia sudah 98,07 persen, jumlah ini di atas rata-rata dunia yang baru 86 persen.
Enam provinsi dengan angka buta huruf tertinggi adalah NTT, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua.
Harris mengutarakan, masyarakat adat merupakan tantangan tersendiri dalam pemberantasan buta huruf. “Mereka bukan komunitas yang tertinggal oleh pembangunan, melainkan dengan sengaja dan penuh kesadaran menghindari unsur pembangunan modern menyentuh wilayah tempat tinggalnya demi melestarikan budaya leluhur,” ujarnya.
Rita Fatimah, tutor dari PKBM Nadya di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, misalnya, mendampingi masyarakat adat Amma Toa, salah satu bagian dari Suku Kajang. Melalui sambungan telepon, ia menceritakan untuk memasuki tanah adat itu, dari pusat Bulukumba harus naik kendaraan sejauh 33 kilometer. Setelah itu dilanjutkan dengan berjalan kaki sepanjang 2 kilometer tanpa mengenakan alas kaki dan wajib berpakaian hitam-hitam.
Awalnya, para tetua adat menentang pelajaran modern karena berprinsip tanpa pendidikan modern pun mereka tetap bisa mencari makan. Rita kemudian belajar bahasa Kajang dan giat membangun komunikasi personal dengan warga. Sambil mengobrol dengan mereka, ia menjelaskan nama-nama tanaman dan binatang yang ada di sekitar masyarakat Amma Toa dalam Bahasa Indonesia.
Awalnya, para tetua adat menentang pelajaran modern karena berprinsip tanpa pendidikan modern pun mereka tetap bisa mencari makan.
“Sekarang ada 100 warga yang mengikuti pendidikan kesetaraan sejak tahun 2018 dan anak-anak usia sekolah berangsur mau ikut Paket A. Saya didampingi oleh adik dari kepala desa. Pendekatannya ialah dengan belajar bukan mendatangkan modernisasi, tapi memberi warga kemampuan memahami perubahan di sekitar mereka sehingga bisa berkomunikasi dan bernegosiasi dengan dunia luar,” tuturnya.
Peralatan mengajar pun menggunakan benda-benda yang ada di sekitar karena peralatan elektronik tidak boleh masuk ke Tana Toa.